Prologue I - Avenger (Part I)

485 19 2
                                    





Part I

Dan malam itu adalah malam dimana semua telah terlelap di dalam mimpi. Orang-orang tak akan bangun ketika jarum panjang jam menunjuk angka sebelas malam. Hanya para begundal dan sampah masyarakatlah yang mencari hiburan di tengah dunia monoton ini. Kala tak ada mentari, maka para penjahatpun menyusuri jalanan.

(Kecuali satu.)

Jalanan liar nan sepi. Dikala dingin menyerbu, tak ada satupun mampu menahan tusukkannya pada kulit manusia. Bahkan meski peradaban sekarang tak lagi mengenal kekerasan, kejahatan akan selalu ada. Bukankah itulah yang dinamakan dunia? Orang-orang memilih berada di dalam rumah aman mereka. Tidur lebih baik daripada harus berpatroli.

Kecuali satu.

Itu adalah seorang perempuan. Ia adalah seorang gadis yatim piatu, tinggal di dalam kekristenan dan bergantung kepada gereja untuk hidup. Meski begitu, ia tak pernah mengeluh. Ia bersyukur dapat hidup sampai sekarang. Dan untuk suatu alasan, anak perempuan berdiri sendiri di tengah pabrik yang kosong.

Hanya sedikit cercah cahaya lampu menerang redup dari atas sana. Dalam posisi berdoa, sang suster muda berbisik kepada para malaikat untuk menyampaikan harapannya. Kalimatnya dipenuhi oleh harapan.

Tumbuh di dalam gereja, sang gadis mengambil jalan hidup sebagai suster. Tiada dorongan, bahkan sang pastur yang merawatnya hingga sekarang pun tak pernah memaksakkan kehendak kepada anak itu. Semua ini murnilah dari keinginan sendiri.

Hidup dalam kepahitan semenjak umur 8 tahun. Namun dengan keteguhan hatinya, dia masih dapat bangun dan membuka mata. Sama halnya dari posisi berlutut dan kini berdiri menatap kepada tanah berlukiskan sebuah bintang penuh tulisan sihir.

Ketika Joseph, sang ayah angkat sekaligus pastur yang merawatnya, membicarakan sesuatu tentang Cawan Suci, Elana tak dapat menahan dirinya dan bertanya kepada sang pastur. Saat jawaban yang dikiranya adalah sebuah main-main, rupanya berakhir dengan pandangan serius dari Joseph sendiri. Benda mahakuasa yang dapat mengabulkan segala keinginan. Itulah Cawan Suci yang dibicarakan oleh Joseph.

Namun, untuk meraihnya bukanlah persoalan yang mudah. Tes demi tes akan selalu diberikan. Membunuh, merampok, mencuri, berhianat, apapun itu harus dipenuhi. Keinginan akan Cawan sendiri ialah memilih seseorang yang pantas untuk dikabulkan. Tentu tidak mudah bagi seorang biarawati seperti Elana untuk maju sendiri melawan orang-orang mengerikan yang bisa saja jauh lebih cerdik dan licik darinya.

Untuk itulah ia berdoa. Untuk itulah ia meminta rahmat kepada Tuhan agar sang gadis dapat melewati ujian penuh sengsara ini dengan keadaan utuh. Hatinya begitu bersih. Sejak awal, tak ada keinginan buruk seperti uang ataupun menguasai dunia. Ia bukanlah Stalin, apalagi Hitler. Elana juga bukanlah seorang egois yang rela membuang apapun demi uang.

Altruisme telah lama melekat di dalam dirinya. Dan untuk itulah, hanya dengan memberi, maka Elana akan merasa bahagia. Tak perlu banyak hal. Apa yang ia lakukan sekarang tidaklah lebih dari sekedar rasa penasaran.

Ia bergumam. Kesiapan hatinya terganggu akibat ironi kecil yang tertawa di dalam batin. Kendati begitu, sang gadis tak memiliki niat untuk berhenti. Bibir mungilnya menggumam, dan terus menggumam.

Darah jatuh di atas lantai berlukis merah. Warna itu pelan-pelan memberikan cahaya biru yang kontras. Tiap kali menetes, semakin terang pula sinarnya. Memenuhi beberapa ubin dengan lukisan dan aksara dari sebuah buku di dekat lingkaran sihir. Elana harus bersusah payah menggambarnya seharian hanya untuk memenuhi rasa ingin tau.

Ia bukanlah seorang magus, itulah kenyataannya. Namun, bukankah Gereja sendiri mengajarkan sedikit teknik sihir dalam ajarannya? Bukan bermaksud menyesatkan umat, tapi doa sendiri adalah sihir putih dari sang Ilahi. Elana tak perlu menggunakan magic crest hanya untuk menciptakan fenomena kecil di atas realita. Yang ia perlukan hanyalah sedikit cara untuk mengubah iman menjadi mana.

Itulah alasan mengapa buku tersebut tergeletak dengan keadaan terbuka di samping lingkaran sihir yang Elana buat. Sihir kelas rendah mungkin tak memiliki nilai untuk para penyihir lain di Asosiasi Clock Tower. Bila dibandingkan dengan si pendeta dari Fuyuki, sudah jelas Elana ada di bawah rata-rata. Beladiripun hanya sedikit saja dari kemampuannya, dan menghajar orang dengan sihir bukanlah bagian dari keahlian.

Singkat kata, Elana adalah master terlemah dalam perang kali ini. Walau begitu, niatan dan keteguhan hati sudah tak dapat diganggu gugat. Dan ketika ia selesai mengutarakan mantera terakhir, cahaya biru memilih untuk merubah warna. Dari biru yang hangat dan ramah, menjadi merah yang marah.

Elana terkejut ketika warna merah itu meledak ke atas langit-langit sana. Satu-satunya cahaya sebelum adanya sinar merah itupun mati seketika dikala kalah dengan sihir pemanggilan. Dan kini, warna merah itu memudar menjadi biru yang remang.

Namun, hanya ada satu cahaya yang bersinar lebih terang dibandingkan sinar dari lingkaran sihir itu. Cahaya tersebut datang dari seorang yang berpostur seperti manusia—tidak, dia memang manusia. Namun kata 'manusia' itu sendiri tidaklah pas untuk mendeskripsikannya.

Roh, lebih baik disebut roh, yang datang setelah dipanggil. Lingkaran sumber terang berwarna kebiruan mulai meredup, diikuti oleh warna merah pada tubuh sang roh. Pelan-pelan, detik demi detik, akhirnya pabrik tua tersebut diisi oleh kegelapan, dan hanya nyala merah dari sekujur tubuh sang roh.

Hanya cahaya rembulan yang menembus masuk dari lubang langit-langit. Dengan dramatisnya, orang itu disinari oleh sang bulan sendiri. Ia adalah seorang pria. Kulitnya coklat, dan pakaiannya tampak begitu kuno. Hanya jubah berwarna kehitaman disertai merah, serta perban putih yang menutupi tubuh atasnya. Celana tua nan kusam panjang menyusuri kaki telanjang.

Mata Elana tak berkedip. Napasnya berhenti. Dalam diam, ia memandang ke arah sang laki-laki. Bukanlah takjub yang ia dapatkan, melainkan sedikit rasa takut. Rambut panjang berwarna hitam terurai dihembuskan angin. Wajah bengis nan ganas menatap balik ke arah Elana yang terdiam di dalam kegelapan.

Hawa kebencian selalu menyertainya. Sejak awal, ia bukanlah seorang pria yang suka memaafkan. Penghianatan adalah satu hal yang paling ia benci. Tanpa bicarapun, Elana mengerti.

Diam.

Satu kata penuh makna. Selain diam, ada juga kata bernama takut. Elana mencoba menguatkan hati kecilnya. Netra Elana memandang tubuh pria itu dari atas hingga ke bawah. Seluruhnya dipenuhi oleh cahaya yang membentuk sebuah simbol-simbol satanis yang bisa ia temukan di buku di dekat sana.

Ah benar juga. Buku itu terbuka. Meski ingin mengambilnya, Elana masih ragu untuk keluar dan menunjukkan rupa. Tinggi sang pria sudah jelas lebih tinggi beberapa kali dibandingkan tubuh kecil Elana. Bila dibandingkan dengan rata-rata orang Eropa, Elana bisa terbilang cukup pendek dan mungkin seukuran dengan normalnya gadis Asia.

Ketika mata pria itu terbuka, iris berwarna keabuan ditutupi oleh awan-awan penuh kebencian. Ia adalah perwujudan dari dendam terhadap dunia. Dan pria pun menghembuskan napasnya. Atmosfer di sekitar menjadi terasa lebih berat dibanding sebelumnya. Rasanya Elana bisa pingsan kalau tidak kuat menahan.

Mata sang lelaki menilik di dalam kegelapan. Ia mencari sosok yang telah memanggilnya ke dalam dunia fana ini. Hingga tidak lama, ia menemukan sosok penyihir yang ia cari. Bagai geraman langit yang mengguntur kepada bumi, suaranya terdengar.


"Apa kau masterku?"

Fate/Cryptid GenesisWhere stories live. Discover now