We

244 20 0
                                    


☀☀☀☀

Senja menghela napas panjang, tangannya mengelap bulir-bulir keringat yang ada di wajahnya. Hukuman yang dia jalani akhirnya selesai juga, berkat Pa Soni, penjaga sekolah yang membantunya membereskan ini semua.

"Pak, makasi loh ya. Maaf Senja udah ngerepotin bapak kaya gini." Senja menghampiri Pak Soni yang sedang duduk di rerumputan. Mendengar ucapan Senja, Pak Soni tersenyum. Terlihat keriputan di sekitar matanya.

"Gapapalah neng Senja, bapak seneng kok ngebantuin kamu. Kamu itu jadi ingetin bapak sama anak bapak."

"Emang anak bapak sekarang dimana?" mendengar pertanyaan Senja membuat Pak Soni terlihat murung. Senja pun merasa bersalah telah bertanya sesuatu yang seharusnya tidak Senja tahu. "Maaf pak, Senja udah lancang nanya privasi bapak."

Pak Soni tersenyum, membuat perasaan Senja menghangat. Demi Tuhan Senja ingin menangis sekarang juga. Dia sangat amat merindukan ayahnya saat ini.

"Anak Bapak udah sukses sekarang." sebelum melanjutkan kata-katanya Pak Soni menghela napas panjang. "Tapi, kesuksesannya yang buat dia lupa sama bapak. Bapak gatau dia sekarang tinggal di mana. Tapi bapak selalu berdoa semoga kebahagiaan ga pernah lepas buat anak bapak."

Senja terkejut mendengar cerita Pak Soni. Dia merasa geram sendiri, bisa-bisanya dia meninggalkan orang tuanya yang sudah separuh baya ini. Seharusnya dia yang bertanggung jawab mengurusnya.

Benar-benar anak durhaka! Untung Pak Soni baik, coba aja kalo Pak Soni ngutuk anaknya jadi batu? Kan ngeri

"Bapak tenang aja. Masih ada Senja, Senja siap jadi anak tiri bapak." ucapan Senja berhasil membuat Pak Soni tertawa. Ya semoga saja dengan adanya Pak Soni Senja bisa mengobati rindunya pada sang ayah.

"Permisi Pak Soni." Pak Soni dan Senja menghentikan tawanya. Mereka berdua menatap 2 orang yang sedang berdiri di hadapannya, kemudian Senja bergegas berdiri. "Mentari boleh bawa Senja nya sebentar pak? Ada yang mau kita omongin."

Senja melirik Fajar yang sedang membuang muka, membuat Senja mengernyit bingung emang gue semenjijikan itu ya? Pikirnya.

Setelah mendapat izin dari Pak Soni, Mentari mengajak Senja untuk meneruskan berbincang-bincang di kantin. Fajar pun mengikuti mereka berdua di belakang. Selama mereka menuju kantin, hanya keheningan yang menyelimuti. Entah kenapa suasana menjadi canggung, Senja benci keadaan seperti ini, dia sangat risih.

"Lo mau makan?" Tanya Mentari pada Senja saat sudah sampai di kantin, mereka memilih duduk di meja paling pojok, membuat suasana sedikit hening.

"Ga usah, gue ga laper." Mentari menganggukan kepalanya, kemudian melirik Fajar yang sibuk dengan ponselnya.

"Lo mau makan?" Fajar menggeleng, matanya tidak lepas menatap layar ponsel. Mentari tahu sebenarnya Fajar tidak benar-benar bermain ponsel, dia hanya memencet tombol menu, kemudian kembali ke home. Fajar melakukan itu berkali-kali.

"Lo mau ngomong apa?" Senja mulai membuka suara. Sungguh dia muak berada di kecanggungan seperti ini. Mentari menoleh, kemudian tersenyum. Senja mengakui bahwa Mentari itu sangat cantik, apalagi dengan senyumannya yang tulus, Senja yakin banyak lelaki yang tidak akan pernah menolak ajakan Mentari untuk berpacaran.

MENTARI, FAJAR & SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang