.:7:.

5.9K 1.4K 149
                                    

Jarum jam sudah menunjukkan lewat tengah malam. Helen memelankan laju mobilnya – ia baru saja pulang dari acara makan malam di rumah Aram dan adiknya itu masih setajam biasanya.

Makan malam berlangsung dengan meriah, terutama karena keempat pasangan itu berkumpul untuk merayakan ulang tahunnya. Hanya saja, kemeriahan itu terancam berubah menjadi perang jika saja para istri tidak mendukung alibi yang Helen berikan.

Bagaimana tidak, Helen hampir saja menyebutkan bahwa ia besok harus bekerja, sedangkan keempat pria itu tidak tahu apa-apa mengenai kehidupan baru yang Helen jalani sekarang.

Jadi Helen terpaksa mengarang cerita tentang si tua Ron yang harus ia kunjungi besok – untunglah ia cukup tahu mengenai Ron, hanya berjaga-jaga jika salah satu di antara keempat mantan bujangan itu curiga dan menyewa detektif swasta untuk menyelidikinya.

Semoga saja mereka tidak bertindak sejauh itu.

Setelah sampai di rumah dan memarkir mobilnya di pinggir jalan, Helen turun dari kendaraan itu, menguncinya dan berjalan menuju rumah.

Tapi langkahnya terhenti saat melihat sosok yang tak asing baginya.

"Luke?"

Meskipun terlihat samar karena penerangan yang cukup minim, Helen cukup yakin dengan tebakannya. Dan benar saja, setelah Helen menyebutkan nama itu, sosok itu menoleh ke arahnya.

"Apa yang kau lakukan di sini??"

"Hey, Helen..."

Suara Luke. Astaga, untung saja ia menolak tawaran Aram untuk mengantarnya pulang tadi. Helen meneruskan lagkahnya, semakin mendekati Luke, "Kau belum menjawab pertanyaanku, Luke."

"Ah...aku...aku juga tidak tahu apa yang membawaku kemari." Luke tersenyum saat mengatakannya.

Helen menatap wajah pria itu beberapa saat, lalu berkata, "Jangan tersenyum disaat kau sedang tidak ingin, Luke."

Dan senyum itu perlahan memudar.

Helen tidak tahu bagaimana mengartikan ekspresi Luke saat itu. Cahaya lampu di setiap teras rumah juga tidak banyak membantu, malah semakin memburamkan raut wajah di hadapannya.

Luke menunduk, memandangi tanah yang ia pijak. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku. Helen bagaikan memandang anak kecil yang sedang sedih karena dihukum atau dimarahi oleh orang tuanya, hanya saja karena perbedaan tinggi mereka yang cukup jauh, Helen masih harus sedikit mendongak saat memandangnya.

Wanita itu sedikit merundukkan badan, melongokkan kepalanya dari bawah, sedikit mendekati pria itu agar Luke memandangnya, "Luke?"

Pria itu masih menunduk, hanya saja kali ini yang ia lihat adalah wajah penasaran dan ekpresi khawatir yang Helen tunjukkan. Senyum itu kembali muncul – dan masih bukan senyuman khas Luke yang biasa ia tunjukkan.

Helen menghembuskan napas panjang. Ia lalu kembali berdiri tegap. Kedua tangannya kini terulur, menyentuh kedua sisi wajah Luke dengan lembut. "What's wrong?"

Manik pria itu masih menyimpan kabut yang membatasi penglihatan Helen ke hati Luke – membuat sebuah tembok penghalang yang tidak bisa ditembus, mengaburkan apa yang sedang dirasakan oleh pria itu.

Luke mengangkat tangannya, menggenggam kedua tangan Helen yang masih berada di pipinya. Tangan wanita itu terasa hangat, terasa nyaman meskipun di suatu malam saat musim panas. Luke memejamkan matanya perlahan, mencoba mengingat setiap inci sentuhan yang terasa di wajahnya. Lambat laun tangannya menuntun tangan kanan Helen, mendekatkan telapak tangan wanita itu ke bibirnya, mengecup lembut kulit sensitif itu – samar tercium bau coklat dan wine, memabukkan indra penciumannya.

My Unintended [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang