munaqosah

53 13 0
                                    

Semuanya sekarang telah baik-baik saja. Bahkan hujan yang tadi turun telah berhenti. Bunga sakura berhasil menunjukkan pada bunga terompet arti kebahagiaan yang sebetulnya. Zahra, Anggi, Lala dan teman-teman lelakinya sedang berganti pakaian. Katanya mereka ingin memperlihatkan sesuatu.
"Teman-teman lihat!" Semua orang segera melihat mereka lalu tertawa.
"Kamilah! Naruto 3D!"
Mereka memakai jaket bergaya Naruto. Yoris memakai jaket hoodie susano'o yang membuatnya tampak gagah, Nicolas memakai jaket vest anime Naruto Sage yang membuatnya semakin manis dan imut, Rindu memakai jaket bijuu mode Naruto yang sesungguhnya membuatnya semakin konyol, Zahra memakai blazer akatsuki dengan dalaman baju berwarna hitam yang membuatnya semakin tomboy, Ikhwan memakai Uchiha Sasuke new polo shirt, Dandi memakai jaket hoodie akatsuki, Willy memakai jaket anime harajuku rikudo, dan yang paling keren adalah... Rifaldi! Ia memakai jaket anime double zipper Anbu black.
"Ih! Lihat, kak! Kak Anggi manis banget!" seru Citra.
Anggi menatap Citra garang. Ya, Anggi memang tampak sangat manis. Ia memakai jaket hoodie Sakura. Sedangkan Lala memakai jaket hinata. Kami terlihat seperti cosplayer! Kami semua segera mengumpulkan kayu yang tadi telah Yoris cari.Setelah itu Rindu langsung membantu kami membuat api unggun.
Kami sangat senang sekali! Ikan yang tadi mereka pancing sangat banyak. Cukup untuk kami semua. Kalau lagi ngga mau ikan, ada banyak buah yang bisa dimakan. Kami makan semua makanan yang ada dengan lahap. Yoris pergi ke dalam tenda dan keluar membawa gitar.
"Mau request lagu apa, nih?" tanya Yoris pada kami semua.
"Delon Feat. Irene - indah pada waktunya!" seru Lala.
Yoris mengangguk, Ia mulai memainkan gitarnya. Kami mendengar sepenuh jiwa. Willy dan Zahra berbisik. Lalu mereka tiba-tiba menarik semua orang untuk mengelilingi api unggun. Kami semua bergembira dan menyanyi bersama.
"Jika memang ini saatnya
Mimpiku akan menjadi nyata
Ku percaya kuatnya cinta
Semua akan menjadi indah pada waktunya
Hadirmu semangat jiwaku karenamu
Kelembutan cintamu
Semua jawaban kudambakan
Kini hanya satu yang ku percaya
Kau membuatku bahagia"
Mungkin bagi orang-orang lagu ini biasa saja. Tapi bagi kami apalagi Lala, lagu ini memiliki arti lain bagi kehidupan kami. Arti yang membuat kami bersatu kembali. Zahra menari sambil memutari api unggun. Ia melihat Lala duduk didekat tenda sambil membaca buku. Sebetulnya Lala sangat cantik memakai jaket hinata. Ia sebenarnya lembut, anggun, dan pemalu. Tapi mengapa Ia lebih memilih menjadi bunga terompet, ya? Zahra berjalan mendekati Lala. Lalu Ia duduk di dekatnya. Ternyata itu bukan buku biasa. Itu album foto.
"Dulu kami keluarga bahagia. Aku, mama, dan papa. Tapi suatu hari terjadi kecelakaan yang menimpa keluarga kami. Papa dan aku selamat. Tapi mama.... Mama meninggal," kata Lala yang sepertinya menyadari kedatanganku. Matanya berair, "Papa sangat syok. Beberapa hari kemudian papa memperkenalkanku, dengan wanita lain. Aku yang ketika baru berumur tiga tahun sangat sedih. Aku menangis di loteng berhari-hari. Tapi pernikahan tetap berlangsung saat itu juga. Beberapa bulan kemudian adikku dari wanita lain itu lahir. Sejak itu Papa tidak pernah memperhatikanku. Bahkan sekarang meninggalkanku. Lalu akhirnya, kuputuskan untuk menjadi bunga terompet. Agar aku bisa menjadi racun untuk mereka. Ah! Maaf, aku terbawa perasaan," kata Lala sambil menghapus air matanya.
Zahra sangat tersentuh mendengar cerita Lala. Ternyata Ia berbuat jahat karena kehidupan masa lalunya yang suram. Zahra menjadi berpikir, apakah Ia bisa dalam umur sekecil itu mendapat cobaan sebesar itu.
"Menurutku kau lebih cocok menjadi bunga lavender," celetuk Zahra.
Lala berpikir sebentar, "Ya! Bunga terompet ini akan segera menjadi bunga lavender," Lala menaruh tangannya di kepala Zahra, "Sebentar lagi kau akan mekar bunga sakura. Dan aku sangat menantikan mekarnya dirimu, yang akan membawa kebahagiaan bagi kita semua."
Zahra mengangguk, "Ya, sebentar lagi aku akan mekar. Kakak!"
"Zahra!" panggil seseorang.
Zahra menoleh dan segera berdiri. Tapi Lala menahan Zahra dengan memegang tangannya. Ia menatap Zahra penuh kesedihan, lalu Lala menarik nafas dan mengeluarkannya. Zahra kembali duduk. Sepertinya ada hal berat yang harus di sampaikan Lala. Lala mengenggam kedua tangan Zahra.
"Aku hanya ingin kau tahu. Adik tiriku, Rafli. Sangat merindukanmu, maafkan aku yang telah membuat kalian berpisah," ucapnya dengan serius.
Zahra tertegun. Lalu Ia kembali tersenyum, "Yang telah lalu biarlah berlalu. Aku sudah memaafkanmu dari dulu."
Lala sangat terharu. Belum pernah Ia mendapatkan kasih sayang setelah Ibunya meninggal. Ia memeluk Zahra, "Terima kasih!" bisiknya.
Zahra membalas pelukan Lala, setelah itu mereka masuk ke dalam tenda. Malam itu kami tidur diantara suara-suara hutan, dan gemericik air sungai mengenai bebatuan. Malam itu adalah malam yang membahagiakan dan tidak akan pernah mereka lupakan.
***
Semua menunggu diluar dengan harap-harap cemas. Mereka sedang menantikan seseorang. Tiba-tiba pintu terbuka, seorang anak perempuan keluar dengan raut wajah kesedihan. Semua orang langsung mengerumuninya.
"B-bagaimana hasil ujiannya, Zahra?" tanya Alvi gemetaran.
Semua orang sudah ketakutan melihat Zahra keluar dengan lemas seperti itu. Zahra mengangkat wajahnya dan menggeleng. Semua orang langsung lemas.
"aku... LULUS!!!" teriak Zahra tiba-tiba.
Vira kaget, "Ah! Yang bener kak?"
Zahra mengangguk, "Aku resmi menjadi anggota kesembilan kelas Ghorib!"
Semua orang meloncat gembira mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Zahra tadi. Semuanya kecuali Lala. Dia hanya diam saja sambil tersenyum.
"Berarti tinggal Nabila sama Mbak Lala!" seru Laras.
Nabila cemberut sementara Lala menggeleng, "Aku ngga ikut," kata Lala.
Semua orang terkejut mendengarnya. "Kenapa Kakak?" tanya Zahra.
Lala tersenyum pahit, "Papaku bilang aku sudah terlalu lama sendirian di Batam. Papaku menyuruhku untuk bergabung dengan papa di Amerika. Makanya... Aku akan mengungkapkan salam perpisahan pada kalian sekarang," kata Lala sambil menahan tangis.
"T-tapi kita baru saja berteman, kenapa harus pergi secepat itu?" tanya Anggi.
Baru saja Lala ingin bicara, tiba-tiba Seseorang memakai jas dan berkaca mata datang. Ia memberi hormat pada Lala. "Nona muda! Semua sudah di siapkan. Waktunya pergi Nona."
Lala mengangguk Ia berjalan menuju mobilnya. Zahra menggeleng, Ia berlari mengejar Lala dan memeluknya. Yang akhirnya di ikuti oleh semua anak DM.
"Kakak jangan pergi! Zahra ngga mau kakak pergi. Jangan pergi, kak!" ucap Zahra. Ia tak bisa menahan air matanya.
Lala menatap kami semua Ia tak kuasa melihat kami. Ia menangis sesegukan. Padahal Ia baru saja mendapatkan kebahagiaannya kembali. Tapi takdir begitu cepat mengambil kebahagiaan itu darinya.
"Nona muda!" teriak orang ber-jas itu sambil menunjuk jam tangannya.
Lala menatap kami semua, "Dengerin kakak ya, kakak pergi ke Amerika bukan untuk pergi selamanya. Kakak menyayangi kalian, dan akan selamanya begitu. Jika Kakak sudah pergi jangan lupa belajar yang rajin, ya! Insyaallah, jika Allah menghendaki. Kita pasti akan bertemu lagi. Makanya, jangan nangis, ya!"
Kami semua mengangguk dan menghapus air mata kami. Lala segera memasuki mobil. Sebelum menutup pintu mobil, Ia menatap kami sekali lagi. Sebelum pintu yang membatasi jarak di antara kami tertutup. Mobil itu segera berjalan. Kami mengikutinya sebelum mobil itu pergi selamanya.
"Kakak! Aku pasti akan segera mekar dengan sempurna! Aku akan menjadi bunga sakura yang layak dinantikan semua orang! Sampai saat itu, tunggulah aku!" teriak Zahra sambil melambaikan tangannya.
Persahabatan mereka dengan Lala adalah persahabatan yang singkat. Tapi telah mengajarkan banyak hal! Mengajarkan tentang arti cinta, kebahagiaan dan persatuan. Berkat Lala, Zahra mengerti bahwa Ia sekarang tidak sendirian. Terima kasih, Kakak!
***
Semakin lama, Zahra akan menginjakkan kakinya ke sebuah sekolah yang baru. Sekolah yang orang sebut SMP. Tapi syarat pertama untuk mendaftar SMP di Batam adalah harus mempunyai izajah munaqosah bagi agama islam atau ijazah bagi agama yang lain.
Kenangan-kenangannya bersama Lala masih teringat jelas setiap detailnya di kepala setiap anak DM. Padahal Lala cuma sebentar bersama mereka, tapi telah banyak kejadian manis yang terjadi. Zahra harap, Ia bisa di pertemukan lagi dengan Lala. Tapi Ia tidak akan larut dalam kesedihan, sesuai janjinya Ia akan menjadi bunga sakura yang mekarnya selalu ditunggu orang.
Aku berjalan ke masjid dengan muka suntuk bersama intan. Hari ini kami datang lebih awal karena kami akan di hukum jika datang ke masjid terlambat lagi. Rumahku dengan rumah intan cuma batasan pohon jambu saja, makanya kami selalu datang bersama. Tapi kami ngga menganggap kalau kami ini berteman.
Kami lihat seorang guru yang sangat ku kenali memandang ke arah kami. Siapa lagi kalau bukan Bu Siti. Guru yang satu itu kan lain dari yang lainnya. Aku berjalan di belakang intan dengan agak was-was.
"Zahra! Intan! Kemari kalian!"
Aduh! Ini pasti ngga aman kalau kayak gini. Intan mempercepat langkahnya, sedangkan aku memperlambat langkahku. Bukannya sombong walaupun orang tuaku lebih kaya dari intan, tapi orang tuaku tidak bisa dijilat. Sedangkan di masjid kami, siapa yang kaya dan pintar menjilat orang, dialah yang menang. Ironis memang, tapi itulah salah satu sifat manusia, yang tak pernah puas dengan apa yang Allah berikan.
"Tolong bantu Ibu catat siapa saja yang mau ikut munaqosah minggu depan. Nanti suruh mereka bawa foto 2x4 dan 3x6 satu lembar sama fotocopi akte satu lembar," ucap Bu Siti seraya memberikan selembar kertas dan pena pada kami, "Jangan sampe salah, ya! Terutama kamu Zahra!"
Zahra mengabaikan guru yang sangat membenci dan di bencinya itu.Bu Siti segera beranjak dari tempat itu dan segera pergi menaiki motor mio-nya yang berwarna hijau.
Intan dan Zahra berkeliling dari kelas Qira'ati Pra TK sampai kelas tertinggi saat ini yaitu kelas Ghorib. Kurang lebih ada anak yang mengikuti munaqosah. Zahra, Intan, Anggi, Alvi, Laras, Adis, Dedek blok A, Dedek Dhea, Redilla, Caca, Asrani, Aini, Fitri, Tasya, Ghazi, Farhan, Aidil, dan Fathur.
"Woi, Za! Cuma bawa foto sama fotocopi akte aja, ya? Materi munaqasah apa aja?" tanya dedek blok A.
Zahra mengangguk lemas, "Manalah Zahra tahu. Yang SD swasta islam kan kamu, bukan Zahra."
Dedek hanya mengangguk ringan saja. Setelah mencatat nama semua anak yang akan mengikuti munaqasah plus alamat dan nama sekolahnya, Zahra segera menuju ke kelasnya sedangkan Intan menyerahkan kertas itu pada Bu Siti. Zahra sangat ketakutan sekali. Ujian ngaji? Bagaimana ini...
***
Sabtu sore ini setelah selesai mengaji, kami semua yang akan mengikuti ujian munaqosah minggu besok. Kami di berikan soal munaqosah yang akan di ujiankan. Asal kalian tahu, nengok soal munaqosah sebanyak itu membuatku sakit kepala.
"Hari ini bapak akan memberi tahu kalian jawaban soal munaqosah. Kalian nanti malam pelajari, ya!" pinta Pak Fathur.
Pak Fathur membaca jawaban soal itu dan kami harus segera menulisnya di atas kertas. Aku menulisnya dengan cepat. Karena Aku tahu kalau Aku sendirian, Aku tidak akan bisa menyelesaikan soal itu.
Mungkin bagi kalian soal ini mudah. Soalnya terdiri dari Tauhid, Fiqih, Aqidah, Tajwid, Akhlak, dan Tasinul Kitabah. Kalian semua mungkin bisa menyelesaikannya dengan cepat. Tapi entah mengapa kalau ujian ngaji otakku serasa tak bekerja. Padahal sebelum ujian Aku sudah hafal semuanya di luar kepala, justru ketika waktu ujian semua yang Ku hafal tiba-tiba hilang begitu saja.
Beda sekali dengan ujian sekolah. Tanpa belajarpun Aku bisa menjawab semua soal itu dalam waktu sekejap dan hasil yang sangat memuaskan. Makanya... Aku selalu benci dengan ujian ngaji.
Kalau kalian tanya bagaimana ujian Qira'ati itu? Aku akan menjawab dengan mantap, "Luar biasa!" ujian Qira'ati berbeda dengan ujian ngaji pada umumnya. Ujian Qira'ati hanya ujian kenaikan jilid, tidak ada fiqih, tauhid, atau pelajaran yang memusingkan lainnya. Tapi jangan kalian kira mudah. Untuk sampai khatam, kalian harus lulus beberapa jilid Qira'ati. Mulai dari Pra TK, Qira'ati 1, Qira'ati 2, Qira'ati 3, Qira'ati 4, Qira'ati 5, Juz 27, Qira'ati 6, Ghorib, Tajwid, Finishing, dan Khatam. Apa yang kalian pikirkan ketika melihat beberapa jilid Qira' ati? Pusing? Pasti!
"Kalian nanti harus sudah ada di Masjid Darul Ihsan nato jam tujuh. Pergi sendiri-sendiri, ya... Masjid ngga bisa ngantar. Pakai baju kotak-kotak hijau, kaos kaki, sama sepatu. Bawa uang untuk pegangan kalau lapar. Jaga perilaku! Jangan malu-maluin Masjid, belajar sungguh-sungguh, jangan sampai ada yang ngga lulus," celoteh Pak Fathur panjang lebar.
Setelah itu kami di suruh pulang ke rumah masing-masing. Tapi sebelum pulang Aku, Intan, Tasya, Redilla, Asrani, Caca, Fitri, dan Aini berkumpul terlebih dahulu untuk membicarakan bagaimana kami pergi ke Masjid Darul Ihsan Nato.
"Kita pergi bareng aja, yuk! Daripada sama orangtua. Nanti kita nyusahin orangtua aja, lho!" seru Tasya.
"Ngumpul di mana, nih? Jam berapa? Zahra ngga mau kalau ngga tepat waktu,"
"Di depan rumahku, jam setengah tujuh!" jawab Intan yang sudah sangat mengerti sifatku.
Intan bertanya apakah mereka semua setuju. Ternyata semua orang mengangguk setuju. Kami akhirnyabetul-betul pulang ke rumah kami. Sesampainya kami di rumah, tanpa basa-basi segera membuka lembaran demi lembaran soal-soal yang menumpuk. Hanya ada satu hal yang akan orang lakukan di saat seperti ini. Yaitu berusaha tapi, kalau ngga bisa juga... Berdo'a dan pasrahkan semuanya kepada Allah.
***
Pagi-pagi sekali Ibu membangunkanku yang masih terlelap dalam mimpi. Ibu menyuruhku untuk cepat-cepat bersiap. Aku jadi mengerti satu hal, dalam keadaan seperti ini. Jika seorang anak mengalami ujian untuk menentukan lulus atau tidaknya Ia, yang paling khawatir itu Orangtua, bukan anaknya.
Aku segera berjalan ke kamar mandi. Dalam waktu beberapa menit, Aku sudah keluar dari kamar mandi. Ku pakai baju yang telah di siapkan oleh Ibuku. Setelah itu Aku segera shalat subuh, selesai shalat subuh Aku turun ke ruang keluarga untuk makan sambil membawa soal munaqosah.
Kulihat Ibu tengah sibuk membuatkan sarapan untukku. Aku tersenyum melihat Ibuku lalu membaca ulang kertas soal munaqosah. Aku duduk perlahan sambil tetap membaca soal itu. Ibuku menggeleng, ia mengambil kertasku dan menyuruhku untuk tetap fokus makan dulu sekarang.
"Nanti aja dulu sarapannya, bu! Kalau Zahra ngga lulus gimana?" keluhku.
Ibuku tampak cuek saja. Ia memasukkan kertas soal dan mukenaku di tasku bersamaan dengan berbagai makanan ringan dan juga botol minumku. Lalu Ibu menutup tasku dan menaruhnya di sofa. Dengan muka cueknya Ibu berjalan ke dapur untuk duduk tepat di sampingku, Ibu melotot ke arahku. Aku selalu bingung dengan tingkah laku Ibuku.
"Urusan lulus atau ngga itu nanti. Percuma kamu belajar kalau ada makanan masuk ke perutmu. Sudah! Cepat habisin makanannya," celoteh Ibuku.
Akhirnya Aku makan semuanya sampai habis tak tersisa. Aku sih sebenarnya ngga sukak sarapan kalau lagi ngga mood. Tapi mau gimana lagi? Ibuku berada di sampingku dan terus melotot sampai Aku menghabiskan semua makanannya. Kalau ngga habis, pasti Ibuku bakal merepet. Tapi Aku suka mendengarnya berceloteh dan memarahiku. Karena... Itu cuma bisa kudengar sekali di dunia ini sampai maut menjemputnya. Andai ku tahu kapan itu, Aku lebih memilih Aku saja yang di jemput dari pada Ibuku.
Setelah ku habiskan makanannya, Aku segera pergi untuk menyiapkan kebutuhan lain yang di perlukan. Ini pertama kalinya Aku menjalani ujian munaqosah, akankah Aku bisa menjawab semua soalnya dengan betul? Semoga saja bisa.
Tok! Tok! Tok! Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Kulihat jam baru saja menunjukkan pukul enam, cepet banget mereka datang? Ah, sudahlah! Aku segera berjalan ke arah pintu. Ketika Aku akan membuka pintu, pintunya agak macet, susah sekali membukanya. Perlu waktu hingga akhirnya pintu itu bisa ku buka. Kulihat di depan pintu teman-temanku sudah berpakaian rapi dan siap berangkat.
Aku menghitung jumlah mereka. Sepertinya ada yang kurang, "Asrani, Aini, sama Caca kok ngga ada, sih?" tanyaku.
Mereka mengangguk santai seperti tidak mempedulikan tiga orang itu. Oh, ya! Aku lupa. Mereka hanya suka orang yang selevel sama mereka. Makanya orang yang ngga selevel sama mereka ngga akan mereka pedulikan, bagi mereka orang seperti itu hanya menganggu saja.
"Aku ngga suka kalau begini...," ucapku kesal.
Intan menarikku ke luar, "Sudahlah! Tinggalkan saja mereka, lagipula Asrani tau tempatnya kok. Udah jam segini, buruan aja yuk!"
Sekarang Aku tahu kenapa mereka datang secepat ini. Mereka sengaja! Agar mereka ngga berjalan dengan tiga orang itu. Aku mendecak kesal, mereka memaksaku untuk pergi saja tanpa tiga orang itu. Asrani, Aini, caca maaf ya! Sambil berjalan ku terus melihat ke belakang karena siapa tau, mereka sudah menyusul kami di belakang.
Kami berjalan terus dan terus. Lama sekali kami berjalan... Ku lihat arloji coklatku, jam menunjukkan pukul 06:30. Sudah sekitar tiga puluh menit kami berjalan tapi kami belum juga sampai ke tempat tujuan. Entah berapa lama lagi kami harus berjalan. Keringat mulai membanjiri tubuhku. Perjalanan munaqosah aja sudah merepotkan, apalagi munaqosahnya.
Tiba-tiba ku lihat kubah masjid yang masih di semen. Hati ku bersorak gembira, kami sudah hampir sampai! Kami semua mempercepat langkah kami, hingga akhirnya kami betul-betul sampai di Masjid Daarul Ihsan Nato. Ternyata yang lainnya telah lebih dulu sampai di sana. Tapi tidak ada tanda-tanda Asrani, Caca, dan Aini di sana.
"Hei! Kalian yang baru datang cari nama kalian ada di ruang mana baru minta kartu ujian kalian." ucap Dedek blok A memberi tahu.
Di masjid kami ada dua nama Dedek dan mereka sama-sama ikut munaqosah. Yang satu Dedek blok A karena tinggal di blok A, sedangkan yang satu lagi Dedek dhea karena pacarnya itu teman SD ku Kak Dhea. Agak sulit membedakan mereka karena sama-sama kurus, tinggi, dan belok. Tapi Dedek dhea hitam sedangkan Dedek blok A putih.
Kami menuju pintu masuk Masjid Daarul Ihsan Nato. Ternyata memang ada pengumuman yang ada di sana. Ku cari namaku ketemu! Aku ada di ruang tujuh dengan nomor ujian dua puluh sembilan Aku satu ruangan dengan Anggi, Dedek blok A, dan Intan. Aku segera menuju guru yang membagikan kartu ujian. Guru itu melihatku agak sinis, "Cih! Anak DM!" katanya ketika melihatku.
Seorang pria berteriak menyuruh seluruh Masjid untuk berbaris. Setiap Masjid di tuntun oleh gurunya masing-masing, kami bingung mau baris di mana. Jika kalian tanya pada kami, saat itu kami betul-betul seperti anak ayam kehilangan induknya. Akhirnya pria separuh baya yang menyuruh seluruh Masjid untuk baris itu, menuntun kami di barisan yang tepat. Seluruh Masjid datang naik angkut umum bersama gurunya. Ya, kami? Boro-boro sama guru, dari rumah ke sini aja jalan kaki.
Asrani, Caca, dan Aini tampak berlari ketika melihat kami semua telah baris. Dengan nafas tersengal-sengal dan badan penuh keringat mereka sampai di barisan kami. Aku tersenyum melihat mereka telah datang. Di belakang kami ada rombongan dari Masjid Al-Istiqomah dengan guru pendampingnya Ustadz Bakhti. Sebetulnya Pak Bakhti dulu mengajar di Masjid kami. Tapi karena dia tidak mau ikut rombongan orang-orang yang suka nyilep duit, perlahan-lahan Ia di usir dari Masjid Kami untuk selamanya.
Hidup itu memang menakutkan, ya? Kadang kau harus rela di cemooh orang untuk mempertahankan pendapatmu yang benar. Tapi jika kau terus mempertahankan pendapatmu tentang kebenaran, kau harus lera pergi dengan membawa kebenaran di pundakmu. Sama halnya seperti Pak Bakhti. Karena dia di usir untuk tetap mempertahankan pendapatnya itu. Tapi Pak Bakhti kini menjadi guru yang sukses dan bahkan pernah mengikuti lomba tartil tingkat nasional! Subhanallah... Roda memang selalu berputar.
Kami di beritahu banyak hal ketika kami berada di barisan. Sejujurnya, Aku ngga dengar apa yang di katakan bapak-bapak separuh baya yang ada di hadapan kami semua. Sampai sekarang belum juga Pak Fathur atau Bu Siti datang mendampingi kami. Kami betul-betul mengurus semuanya sendiri.
Setelah Bapak-bapak separuh baya itu selesai bicara, kami semua di persilakan menuju ruangan masing-masing untuk mengikuti ujian pertama. Seluruh anak DM menaruh tas-nya di bawah jendela di dekat pintu keluar ruanganku. Aku mengambil kotak pensil biruku dan segera masuk ke ruanganku, ruang tujuh.
Ruanganku mungkin ruangan paling buruk di seluruh masjid ini. Lantainya hanya semen, bukan keramik. Dan sepertinya lantainya belum di sapu. Katanya sih, ini ruangan baru. Tapi kan harusnya di persiapkan terlebih dahulu kalau ada acara penting seperti ini. Di ruangan ini tidak di persiapkan meja, jadi kami terpaksa ujian hanya beralaskan semen.
Ada dua orang Guru yang mengawasi jalannya ujian. Yang satu memakai jilbab hitam panjang dan sepertinya Guru penting, sedangkan yang satunya memakai jilbab merah dan berkeliling membagikan kertas ujian. Ujian pertama Fiqih, selama kurang lebih satu jam. Kemudian di lanjutkan dengan ujian ke dua Tauhid.
Aku membaca basmallah sebelum membuka soal Fiqih itu. Dengar gemetaran ku buka soal itu. Seketika itu badanku terasa lemas, soalnya seperti yang aku takuti. Aku lebih memilih mengerjakan lima puluh soal matematika daripada dua puluh soal Fiqih. Tapi Aku tetap kerjakan semua soal itu sebisaku.
Setelah satu jam Guru berjilbab merah itu mengambil kertas ujian kami. Aduh! Aku deg-degan banget. Banyak soal yang asal ku jawab. Setelah itu Guru berjilbab merah itu kembali membagikan kertas ujian Tauhid. Seperti ujian pertama, ada soal yang bisa ku jawab dan ada soal yang asal ku jawab. Setelah selesai kami semua di persilakan untuk istirahat selama tiga puluh menit.
Semua anak DM berkumpul untuk istirahat dan membahas ujian tadi. Kami membuka soal yang di berikan Pak Fathur, dan mengoreksi jawaban kami. Aku terkulai lemas sambil membuka-buka soal. Perutku sakit sekali! Anggi yang dari tadi melihatku tertawa.
"Lapar ya, Za?" tebak Anggi.
Aku mengangguk mantap. Anggi dan Laras tertawa, buat mereka Aku orang yang terlalu jujur. Mungkin ada benarnya, sih... Mereka segera menarikku dan mengajakku ke halaman Masjid Daarul Ihsan Nato. Oh, ya! Pak Fathur sudah datang dan dengan santainya ia menyapa Kami seakan Ia tak berdosa. Tapi itu lebih baik daripada Bu Siti yang terlalu nge-sok!
"Di sana ada yang jualan siomay dan es kelapa. Mau beli?" tanya Anggi.
"Siomay mungkin...," Zahra berpikir lagi dan Ia merinding, "Es kelapa?! Tidak!"
Aku, Anggi, dan Laras sama-sama membeli siomay. Tapi Aku tidak membeli es kelapa, bagiku itu tidak terlalu enak. Setengah jam istirahat kami habiskan untuk makan juga belajar Aqidah dan Akhlak. Kami semua bosan dan capek! Entah jam berapa kami harus pulang.
Tiba-tiba suara bel tanda ujian segera di mulai berbunyi memekakkan telinga. Kami semua kaget dan tergesa-gesa menyiapkan peralatan ujian. Lalu kami masuk ke ruangan masing-masing. Jujur saja, Aku agak takut pada saat itu. Aku sangat lemah pada pelajaran Aqidah dan Akhlak. Kulihat Guru berjilbab merah kembali membagikan lembaran soal dan lembaran kertas untuk menjawab.
Satu jam terasa seperti baru beberapa menit, seperti itulah kita jika menghadapi soal yang amat sangat sulit bagi kita. Waktu telah habis tapi masih banyak soal yang belum selesaiku jawab. Guru berjilbab merah itu tanpa basa-basi mengambil semua kertas ujian. Terpaksa Aku harus menjawab asal sisa soalku. Aku bingung sekali! Walaupun Aku sudah berusaha belajar sebaik mungkin, tapi Aku tetap tidak bisa menjawab keseluruhan soalnya.
Waktu terus berjalan. Ku lihat di ruangan yang bersebelahan dengan ruangan kami, banyak anak yang membawa soal di belakang papan ujian. Aku menggeleng, bagaimana mungkin hal buruk seperti itu di lakukan dan tidak ada guru yang menegurnya? Lebih baik seperti diriku, walaupun ku tahu nilaiku pasti kecil, tapi Aku tetap mengerjakannya dengan jujur.
"Waktu habis!" ucap guru berjilbab hitam panjang itu.
Guru berjilbab merah segera mengambil jawaban ujian kami sambil membagikan kertas ujian berikutnya. Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Entah mengapa Aku baru sadar, untuk memasuki ke jenjang sekolah baru ternyata melalui tahapan ujian yang benar-benar membuat kepala pecah, ya? Tapi Aku sangat menyukainya, kecuali ujian ngaji seperti ini.
Setelah selesai ujian kami semua berjalan lemas ke tempat kami menaruh tas. Kami semua langsung terduduk lemas tak berdaya. Astaga! Ujian ini benar-benar membuat kami lapar. Ku lihat arlojiku, jam menunjukkan pukul dua belas, tidak berapa lama adzan mulai berkumandang. Kami semua segera berdiri dan pergi mengambil wudhu.
"Ayo, we! Shalat! Shalat!" ucap Anggi meneriaki kami.
Setelah kami mengambil wudhu, kami segera mengambil mukena yang ada di tas kami masing-masing. Tanpa basa-basi lagi kami segera menuju ke dalam masjid untuk shalat. Kami semua shalat dengan khusyuk. Bu Anis bilang, kalau kita shalat dengan khusyuk, pahala kita akan di tambah oleh Allah. Setelah selesai shalat, kami kembali berjalan tanpa tenaga menuju ke tempat semula.
Kami lihat semua anak dari masjid lain sedang menikmati makanannya masing-masing. Perut kami perlahan berbunyi membuat suatu melodi baru. Kami memutuskan untuk tetap diam sambil menunggu bala bantuan datang membawa rezeki yang paling nikmat yaitu makanan.
"Lihat! Itu Bu Siti sudah sampai!" teriak Intan.
Kami semua segera bangun. Ternyata benar, Bu Siti memang datang membawa makanan. Kami semua bersorak gembira, baru kali ini kami sangat gembira melihat kedatangan Bu Siti. Setelah Bu Siti selesai memarkirkan motornya, Ia langsung di kerubungi oleh anak-anak yang telah kelaparan.
Bu Siti menyuruh kami untuk baris agar Ia dapat membagikan makanannya dalam jumlah yang tepat. Kami semua baris dengan tak sabar sampai tiba giliranku untuk mendapatkan kotak makanan. Setelah mendapatkan kotak makanan Aku segera duduk dan membuka kotak itu. Di dalamnya terdapat ayam goreng, terasi, lalapan, dan tempe goreng yang sudah lebih dari cukup untuk membuatku kenyang.

DM 10 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang