True Ending

27 10 0
                                    

Saat ini aku sedang menulis di buku catatanku. Sejak siang tadi hujan tak berhenti mengguyur jalanan. Walaupun untuk duduk saja rasanya sakit sekali, aku tetap bersikeras untuk menulis. Meskipun bisa dibilang, keadaanku saat ini benar-benar mengenaskan. Aku bahkan tak mampu lagi duduk di kursi roda. Aku menatap keluar jendela, mereka tak kunjung kembali. Perlahan rasa sakit menyayat hatiku. Apa mereka membenciku? Apa mereka kecewa padaku? Segelintir pertanyaan muncul di benakku. Tapi aku membuang semua pertanyaan itu. Masih ada hari esok. Aku masih bisa bertemu mereka. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Aku sangat berharap itu mereka. Tapi yang datang justru orang lain.
"Oh, jadi kamu yang namanya Shira."
Seorang gadis kecil seusiaku datang sambil tersenyum lebar. Ia memakai jaket berwarna putih dengan sepatu bot coklat. Ketika melihat gaun biru yang ia pakai di dalam jaketnya, aku baru sadar, hanya jaketnya saja yang kering. Sepertinya dia habis bermain hujan. Kami saling bertatapan, ia melihatku sinis.
"A-ada apa?" tanyaku gagap, "Aku sedang menunggu Kak Zahra dan teman-teman. Jika kau,"
"Kau sangat menyayangi mereka, ya?" tanyanya tanpa mendengarkan ucapanku. "Kalau kamu ngga mengatakannya sekarang nanti kakak ngga tahu, lho! Kakak itu ngga pe-ka!"
Apaan sih anak ini. Ia berbicara seakan ia sangat mengenal Zahra dan mengetahui siapa aku. Ia melihat ruanganku seakan tak pernah ke rumah sakit sebelumnya. Tapi caranya berbicara dan tersenyum mirip seperti Zahra. Walau ia terlihat lebih menjengkelkan dan kudet.
Ia kembali melihatku. Tapi dengan senyuman yang terukir di wajahnya. "Setelah aku berbicara dengan kakak, aku akhirnya tau dia bahagia. Meski nanti kakak dan aku tak bisa selalu melakukan hal bersama, kalau aku berjuang keras tanpa bantuannya, dia bahagia."
"Kau ini siapa, sih!"
Dia sepertinya agak kaget dan menggelengkan kepalanya. Seakan seharusnya aku tahu siapa dia. Bukannya menjawab pertanyaanku dia justru berkeliling dan membuat lantai basah. Ia terus berkeliling sampai akhirnya dia berhenti di samping tempat tidurku. Ia melihatku sambil tersenyum kemudian dia membalikkan badannya.
"Namaku Salwa Ade Oktalyna. Kita ini sama-sama adiknya Kak Zahra. Bedanya aku tak punya hubungan darah dengan kakak. Aku jadi iri padamu."
Sontak aku kaget, mulutku menganga lebar. Jadi dia, adik yang sangat dibanggakan Zahra. Entah mengapa, walaupun dia sudah berbalik, tapi aku dapat meresakan kesedihan yang ia tahan dari nada bicaranya. Sedikit perasaan kesal di hatiku. Harusnya aku yang iri dengannya. Ia selalu bersama Zahra dan mendapatkan kasih sayang seorang kakak dari kecil. Tapi aku justru...
"Makanya kamu harus kuat. Setelah itu luapkan seluruh perasaanmu. Aku ngga akan kalah darimu."
Setelah berkata begitu ia langsung pergi dari hadapanku. Mudah baginya untuk berkata begitu, umurnya masih panjang sedangkan aku. Aku membenamkan kepalaku, berpikir keras. Tentang apa yang harus kulakukan saat ini. Ngga! Betul apa yang dia bilang, aku harus kuat! Segera aku menulis di buku catatanku. Jika besok aku tiada, setidaknya buku ini bisa menyampaikan perasaanku. Aku tersenyum, "Selesai!" gumamku dalam hati.
Aku menutup buku itu dan hendak menaruhnya keatas meja. Sebelum semuanya terasa berputar-putar. Buku itu terjatuh bersama dengan beberapa tetes darah. Darah keluar dari hidungku. Rasa sakit di kepalaku semakin memuncak. Aku terjatuh dan tergeletak di atas lantai. Hal terakhir yang kudengar adalah suara teriakan suster sebelum semuanya menjadi gelap.
***
Kami semua turun dari mobil dengan penuh kebahagiaan. Sambil tetap menenteng senyum kami tertawa bersama, walau rasa letih belum secuilpin hilang. Semua anggota DM 10 dinyatakan lulus walaupun nilai Nabila hampir membuatnya harus mengulang kelas. Lebih hebatnya lagi, Alvi berhasil mendapatkan juara tiga dari seluruh murid qira'ati yang ada di Batam. Saat kami semua sedang di penuh kebahagiaan, tiba-tiba telepon Dandi berdering.
"Tunggu sebentar, ya!"
Dandi menyingkir dari kami. Pertama, dia menerima telepon itu dengan penuh senyuman. Namun lama-kelamaan raut wajahnya berubah drastis. Setelah menutup telepon itu, ia menatap kami dengan tatapan tak percaya.
"Shira sedang sekarat di ruang operasi." Setelah berkata begitu, Dandi langsung berlari meninggalkan kami. Kami juga berlari mengikuti Dandi dari belakang. Kekhawatiran jelas terukir di wajahnya. Kami berlari dengan sangat cepat menyusuri setiap koridor. Ia tak perlu bertanya pada suster dimana ruangannya. Rumah sakit ini sudah seperti mainan baginya. Berkali-kali kami minta maaf pada setiap orang yang ditabrak Dandi ketika dia berlari, meskipun kekacauan yang kami timbulkan lebih besar dari kekacauan yang dia timbulkan. Saat tiba di ujung jalan, kami belok ke arah kanan untuk menuju ke ruang operasi. Dandi yang sebetulnya mengharapkan belokan yang mulus justru terpeleset dengan posisi menyamping. Teman-teman segera bergegas menolongnya. Tapi perhatianku teralihkan karena ada seorang gadis yang lebih dulu sampai daripada mereka, sedang bolak-balik di depan pintu operasi sambil memeluk buku diary berwarna pink.
Aku menelan ludahku dengan susah payah. Gadis itu mirip sekali dengan Shira. Tanpa kusadari Dandi sudah berdiri di sampingku. Dia berlari tapi agak sedikit terseok-seok. Dandi menghampiri gadis itu sambil memegang bahunya. Kami berjalan perlahan mengikuti Dandi. Saat melihat Dandi, gadis itu langsung menangis dan menghambur di pelukan Dandi. Hanya satu yang aku ketahui saat itu. Kami sama sekali tidak mirip.
Setengah jam telah berlalu, semua yang ada disini sedang berdoa. Sampai saat ini, belum ada satupun dokter yang keluar. Aku menatap lampu operasi yang menyala. Aku sama sekali tak tertarik dengan hal ini. Shira pantas untuk mendapatkan hal ini. Aku merogoh sakuku dan mengeluarkan foto yang kudapat di kamar Shira. Gara-gara dia, Sakurako sampai bereaksi dan akhirnya Koemi muncul di tengah-tengah mereka. Kalau saja Koemi menceritakan apa yang terjadi, kemungkinan besar Sakurako akan muncul. Jika benar dia muncul, mungkin tubuh ini akan mati.
"Dokter!" teriak Vira.
Teriakan itu mengagetkanku.mengagetkanku. Aku langsung menaruh foto itu ke sakuku secepatnya dan berkumpul bersama mereka. Tapi sebelumnya aku menyempatkan diri untuk kembali melihat lampu operasi yang sudah mati. Rasanya ada sesuatu yang sedang menyayat hatiku. Rasanya sakit. Sakiiit sekali. Mereka menatap dokter itu dengan penuh harap. Tapi saat dokter itu menggelengkan kepalanya perlahan, harapan mereka seketika menghilang.
"Tidak," bisik gadis itu perlahan. Aku bisa mendengarnya dengan jelas karena dia berada tepat di sampingku. "tidak. Tidak! TIDAK! TIDAAAK!!!" ucapnya sambil menggelengkan kepalanya.
Semua mata tertuju padanya. Dandi mengulurkan tangannya hendak mengelus kepala gadis itu. Tapi gadis itu justru menepis tangan Dandi hingga membuat tangannya lecet. Mata gadis itu terlihat sembab dan berkaca-kaca. Ia mendorong semua orang yang menghalangi jalannya untuk masuk dan melihat keadaan Shira. Kami mengejarnya dari belakang.
Disana, tepat di atas tempat tidur, terbaring tubuh kaku dan pucat yang sedang menunjukkan senyum termanis yang dia miliki. Para gadis dan Nicolas langsung menutup mulut mereka dan keluar sambil menahan tangis. Mereka tak kuat menatap hal seperti ini. Para lelaki sedang mengelus punggung Dandi berusaha melapangkan hati Dandi walaupun nyatanya merekalah yang lebih membutuhkan hal itu.
Gadis itu tersenyum di hadapan tubuh kaku Shira. "Sh-shira? Kau ingat aku, kan? Ini aku, Elena. Saudarimu." tak terdengar balasan dari tubuh kaku itu. Air mata perlahan mulai turun dari mata gadis yang memanggil dirinya Elena. "Aku tau. Kau marah padaku, kan? Makanya kau tak mau berbicara padaku, kan? Maaf, ya? Aku tau! Ketika kau sehat nanti, aku akan membawamu ke tempat yang kau inginkan. Kau sangat suka stroberi, kan? Kita juga akan pergi ke kebun stroberi. Makanya bangunlah. Kumohon bangunlah!"
Ia mencoba tersenyum walaupun air mata mengalir deras membasahi pipinya. Ia menggoyangkan tubuh kaku Shira sambil terus memanggil namanya. Semua orang yang melihat hal ini hanya bisa memalingkan wajah sambil menahan tangis. Elena terduduk dan membenamkan wajahnya di antara lututnya. Tangannya memeluk erat kedua kakinya. Ia sudah tak bisa melakukan apa-apa. Saudari kembarnya benar-benar sudah meninggalkannya. Entah mengapa, aku sama sekali tak merasakan apapun. Rasanya kosong.
Kematian Shira langsung di umumkan di masjid-masjid terdekat. Besoknya pemakamannya segera dilaksanakan. Saat Shira dikuburkan, orangtuanya hanya menghadiri sebentar kemudian pergi sebelum acaranya berakhir. Sepertinya mereka sama sekali tak mengenalku. Ingin rasanya aku menghajar mereka ketika mereka beranjak pergi dan memasukkan mereka ke salah satu kuburan yang ada disini. Tapi aku terus berusaha menenangkan diriku. Mereka pasti akan mendapatkan balasannya suatu hari nanti. Aku akan menjamin hal itu.
***
Semua orang masih dalam keadaan berduka. Kecuali diriku. Hari ini aku sendirian di rumah. Aku memakai baju tidur berwarna putih dengan jilbab yang juga berwarna sama. Aku berusaha untuk memakan mie cup yang ada di depanku. Alih-alih memakannya, aku justru hanya melihatnya saja sejak tiga puluh menit yang lalu. Kalau Koemi pasti makanan ini sudah habis daritadi. Rasanya ada yang kurang dariku. Sakit, kosong, hampa, bahkan untuk tidurpun aku malas. Ada apa denganku?
Ting! Tong! Suara bel yang memekakkan telinga membuat semua lamunanku buyar. Aku segera memakai sandal dalam rumahku yang biasanya hanya kupakai di dalam kamarku. Aku berjalan dengan malas menuju pintu. Walaupun sudah lusuh, tapi sandal berbentuk buaya dengan mulut terbuka ini adalah sandal kesukaanku. Walaupun aku sudah dibelikan sandal lain, aku tetap memakai sandal ini sampai akhirnya ibu sendirilah yang akan membuangnya. Ya, kejadian seperti ini sudah sering terjadi. Aku pernah tetap bersikeras memakai tas yang sudah bolong dan resletingnya sudah rusak. Padahal ibu sudah membelikan tas baru. Akhirnya saat malam hari ibu membuang tas lamaku dan memindahkan semua barang-barangku ketas baruku. Paginya bukannya mencari dan menangisi tas lamaku, aku justru cengegesan sambil memamerkan tas baruku. Ketika ditanya mana tas lamaku aku hanya tersenyum sambil memamerkan gigiku. Sejak hari itu ibuku selalu menanamkan teknik itu dalam dirinya. Walaupun sebenarnya aku tau ibuku membuangnya di tong sampah perumahan.
Baru saja aku membuka pintu, Nabila dan Nisa melompat ke arahku. Membuatku jatuh dan punggungku sakit. Citra dan Nahwa ikut menimpaku. Kurasa mereka takkan berdiri jika Laras tidak mengomel dan mengancam akan menjewer mereka semua. Barulah mereka menyingkir dan aku bisa bernafas dengan leluasa. Willy membantuku untuk berdiri. Sepintas, aku merasa senang mereka ada disini. Tapi itu tak bertahan lama sampai aku melihat Elena sedang tersenyum di samping Dandi sambil membawa buku yang sama seperti yang ia bawa dari rumah sakit.
Aku mempersilakan mereka untuk masuk dan duduk. Ikhwan dan Yoris segera bermain playstation yang selalu aku taruh di bawah tv. Nicolas dan Anggi membantuku membuatkan makanan. Untungnya ada persediaan makanan lain selain mie cup. Bisa malu aku menghidangkan mie cup untuk tamuku. Akhir-akhir ini, aku merasakan mereka lebih dekat dari sebelumnya. Mereka bisa membuat kue dengan cepat bersama. Sebaiknya aku jangan ganggu mereka.
Aku meninggalkan dapur menuju ruang keluarga. Karena orangtuaku sedang keluar, jadi tidak akan ada yang mengganggu mereka. Sebetulnya sudah sering aku membawa mereka ke ruang keluarga walaupun orangtuaku ada disana. Tapi akhirnya mereka sendiri yang merasa tak enak dan mengatakan mainnya di ruang tamu saja. Mereka beranggapan kalau orangtua perlu waktu untuk istirahat karena mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk mencari uang bagi kami. Makanya mereka lebih tenang bermain di ruang tamu. Tapi karena orangtuaku sedang tidak ada di rumah, mereka setuju untuk main di ruang keluarga.
Suara berisik terdengar jelas dari dapur. Saat aku sampai di ruang keluarga, aku melihat Willy sedang bertengkar dengan Alvi karena berusaha untuk merebut mainan Vira. Sedangkan Yoris sedang menarikan tarian kemenangan karena poinnya lebih unggul dari Ikhwan. Sedangkan Ikhwan terus-menerus mengatakan kalau Yoris curang. Aku menggelengkan kepalaku. Kemudian aku melihat Elena sedang duduk di lantai sambil tertawa melihat kekonyolan mereka berempat.
Aku segera berjalan kesana dan menarik telinga Yoris dan Ikhwan. "Kalian tak bisa diam sedikit, ya?"
Melihat hal itu Willy dan Alvi segera duduk sambil memainkan pok ame ame. Hal itu membuat semua orang yang berada di ruangan ini tak bisa menahan geli. Mereka tertawa sampai terpingkal-pingkal. Tak lama kemudian datanglah Anggi bersama Nicolas membawakan brownis coklat yang masih hangat dengan teh sebagai pendampingnya.
"Kami khawatir. Sudah lama kau tidak keluar. Makanya kami menjengukmu." bisik Rizki.
Aku tersenyum kecil. Padahal aku tau mereka kesini untuk menghilangkan rasa sedih atas kepergian Shira yang belum lama dengan cara bermain bersama. "Tenang saja. Aku kuat!" ucapku sambil memperlihatkan ototku padanya.
Rizki tertawa kecil, "Ya! Aku tahu itu."
Elena sibuk memperhatikanku daritadi. Aku tak tau mengapa. Faktanya, Dandi belum memberitahukan pada orang-orang kebenaran bahwa kami bersaudara. Dandi takut jika beritanya menyebar sampai ke telinga orangtuanya, mereka akan mencariku dan kembali menyiksaku. Jadi dia hanya memilih untuk diam. Kami mengobrol walaupun rasanya ada sesuatu yang berbeda dari obrolan kami hari ini. Seperti ada tembok yang membatasi kami untuk lebih terbuka. Elena yang daritadi memperhatikan tampaknya menyadari hal itu. Ia sedikit kesal. Ia menggebrak meja yang membuat semua perhatian tertuju padanya.
"Bukan! BUKAN INI YANG SHIRA MAU!!!"
Kami semua langsung tertegun dan terdiam. Beda. Rasanya benar-benar berbeda. Kami semua menyadari hal itu. Tapi kami tak tau kenapa. Ruangan yang tadinya seperti kapal pecah mendadak diam. Sakit. Rasanya masih ada sesuatu yang berlubang yang tak bisa mengisi hati kami. Aku juga tak tau mengapa. Tiba-tiba tangisan Faiza memecahkan keheningan.
"Aku juga tak mau begini. Rasanya seperti ada jarak. Yang kumau hanyalah kalian yang dulu! Kalau begini terus, apasih arti sahabat bagi kita?"
Pertanyaan Faiza membuat semua orang gelagapan. Tak mengerti dan bingung. Faiza membuat raut kekecewaan di wajah manisnya. Tak ada satupun yang menjawab. Saat Faiza mulai kembali menangis, Elena menyodorkan buku diary pink yang daritadi ia bawa kepada Faiza. Faiza menerima buku itu dengan sedikit bingung. Tapi saat ia membuka buku itu, air mata kembali mengalir. Tapi kali ini air mata kebahagiaan. Disitu, tertulis "MILIK SHIRA! YANG CURI, D-O-S-A!!!"
"Bacalah!"
Faiza mengangguk. Kami ikut mengerumuni Faiza. Semua orang kaget melihat buku itu kecuali aku. Tapi kaget itu akhirnya berubah menjadi senyuman. Setiap lembar halaman diary Shira tertulis puisi yang dia buat. Awalnya kami sedikit kecewa karena tidak ada nama kami disana. Semua hanya puisi sampai akhirnya mata kami terbelalak pada empat lembar kertas terakhir.
8 Agustus, diary Shira-chan!
Hari ini aku memutuskan untuk bunuh diri. Aku tau itu dosa dan itu tak diperbolehkan. Untungnya aku menemukan, tidak! Ditemukan oleh seseorang yang menyilaukan. Cahayanya memberikanku kesempatan untuk mengubah diriku. Dia adalah matahari, yang membawa bintang-bintang lainnya bersamanya. Aku mencintai mereka.
9 Agustus, diary Shira-chan!
Sore ini mereka datang lagi membawakanku banyak makanan yang lezat. Tapi aku paling suka crepe! Aku tak tahu rasanya enak sekali. Tapi aku masih tak bisa mengatakannya pada Kak Zahra. Aku mencintai mereka.
10 Agustus, diary Shira-chan!
Kak Zahra memang orang yang luar biasa! Sinarnya sangat terang. Ia baru saja mengucapkan kata-kata yang luar biasa. Aku harap aku bisa hidup lebih lama. Aku akan menulisnya disini agar tidak lupa. Mereka semua membuat hidupku jadi lebih berarti. Mereka adalah cahaya dunia keduaku. LihgTWorld. Apa aku harus menyembunyikan fakta bahwa kesehatanku semakin memburuk? Aku mencintai mereka.
11 Agustus, diary Shira-chan!
Aku telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku. Padahal aku hanya ingin cahayanya menjadi milikku. Aku merasa sangat lemah. Kepalaku pusing dan aku tak kuat lagi untuk berjalan. Tapi aku tetap memaksakan diriku melihat keluar jendela. Aku harus kuat! Begitulah yang Salwa katakan padaku. Aku mencintai mereka.
Selang infus di tanamkan di seluruh tubuhku. Mereka tak datang. Aku juga berharap mereka tak melihatku dalam keadaan seperti ini. Tapi hatiku juga sakit. Sekujur tubuhku terasa membeku. Hidupku sudah tak lama lagi. Tapi aku harus menulis di buku kecil ini. Aku ingin mereka tau aku selalu menunggu dan menyayangi mereka. Terima kasih dan sampai jumpa. Walaupun aku sudah tak berada disini, cintaku... Akan selalu bersama kalian.
Kami semua menangis membaca setiap kata, yang dipenuhi oleh cinta. Lubang di hati kami perlahan mulai terisi. Cinta itu begitu menakutkan, ya? Cinta bisa membuat orang merasakan sakit dan hangat dalam satu waktu. Cinta mampu menggetarkan perasaan setiap orang. Dan saat ini, kami sedang digetarkan oleh sesuatu yang bernama cinta itu. Saat membalik halaman terakhir, selembar kertas terjatuh. Rifaldi langsung memungutnya. Kami membaca kertas itu perlahan.

DM 10 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang