Aku berjalan menuju tangga tempat pintu keluar gerbang Rumah Sakit. Setelah Shira tertidur pulas, barulah aku bisa pergi dari kamarnya. Dia bersikeras aku harus menemaninya, jadi apa boleh buat. Kruyuuuuk! Aku memegangi perutku yang dari tadi berbunyi keras meminta makanan. Sebetulnya tadi aku sudah pergi ke kantin Rumah Sakit bersama yang lainnya. Tapi rata-rata makanan disana adalah bubur dan makanan yang tidak aku ketahui jenisnya. Rizki bilang di dekat sini ada toko roti bernama Sun Bread. Makanya sekarang aku bergegas agar bisa segera menenangkan perutku yang sudah keroncongan ini. Shira juga tadi meminta cemilan. Akan ku berikan dia crepe strawberry, makanya aku harus segera bergegas. Tapi ketika memasuki jalan menuju gerbang tempat orang keluar-masuk di Rumah Sakit ini, aku berjalan agak pelan untuk menikmati pemandangan yang disuguhkan disepanjang jalan menuju gerbang. Sesungguhnya suasana ini benar-benar menenangkan hati. Khususnya bagi orang-orang yang sedang dirawat disini. Pepohonan yang ada di sepanjang jalan seakan sedang memayungi setiap orang yang sedang berada dibawahnya. Terdapat semak-semak yang sedang mengeluarkan bunga kecil dan cantik beraneka warna. Ada yang berwarna pink, putih, dan kuning. Suguhan dari warna warni alam yang alami tapi juga menenangkan hati. Bahkan ada semak-semak mawar merah yang dikelilingi berbagai bunga cantik bak ratu. Aku berhenti dan terdiam.
"Benar juga...," ucapku lalu kembali berjalan.
Sudah cukup lama aku tak bertemu dengannya. Aku selalu memikirkan, bagaimana nanti bila kami bertemu. Apakah dia akan mengingatku? Aku tertawa kecil. Setelah semua yang aku lakukan padanya mustahil baginya untuk memaafkanku. Air mata perlahan mengalir di pipiku. Kenapa? Ada apa ini? Aku berhenti di depan tangga sambil mengusap air mataku. Payah, ah! Ternyata aku masih sangat menyayanginya. Saat aku melihat ke bawah, sepuluh anak tangga telah menantiku, menghubungkanku dengan takdirku. Perlahan aku menuruni anak tangga sambil mengucapkan sesuatu.
"Aku berdoa agar aku bisa bertemu dengannya. Dengan waktu, perasaan...," aku mengambil nafas panjang.
"Dan juga harapan!"
Aku kaget dan segera berhenti. Siapa itu? Yang mengatakan hal yang sama dengan yang aku katakan. Aku segera berbalik. Aku melihat punggung seseorang yang tadi mengucapkan hal yang sama dengan yang aku katakan. Ia memakai jas hitam dan terus berjalan dengan santai. Aku berbalik sambil tersenyum. Dasar bodoh! Mana mungkin itu dia. Rasanya dadaku sakit sekali. Aku segera berlari secepat yang aku bisa. Aku tak ingin patah hati dan berharap lebih dari ini.
***
"Terima kasih, silakan datang kembali!"
Aku tersenyum seraya mengambil bon kembalianku. Udara hari ini cukup dingin. Aku memakai jas hitamku yang tebal dan syal abu-abu yang telah kusematkan bros bunga mawar untuk menghangatkanku. Beberapa hari ini aku sering pergi membeli kue di toko roti bernama "Sun Bread" ini. Aku selalu kesini untuk membeli kue strawberry cheesecake kesukaan Shira. Segera setelah mengambil bon itu aku langsung berbalik dan berjalan keluar. Aku melihat arlojiku. Ah! Keluhku kesal. Aku mempercepat langkah. Sebetulnya, hari ini sebelum aku menemui Shira, aku ada janji bertemu dengan dokter Rara. Dia adalah seorang dokter psikologi yang mengetahui penyakit yang diderita Zahra selama ini, yang selalu membuatku kewalahan. Jam sudah menunjukkan pukul satu, aku semakin mempercepat langkahku. Jika tidak, aku akan terlambat. Ah! Aku terhenti ketika melihat seseorang yang sedang melukis bunga sakura di pinggir jalan. Bunga yang indah, ya? Bunga yang takkan lagi bisa ku gapai. Perlahan aku menyunggingkan senyumku dan kembali melanjutkan perjalananku dengan langkah gontai.
Andai saja diriku bertemu dengannya. Lalu bagaimanakah takdir kita nantinya? Aku kesal dan menendang batu kerikil di depanku. Seharusnya aku tidak pernah pergi saat itu, aku bahkan belum mengucapkan selamat tinggal atau sampai jumpa padanya. Aku ini pengecut! Keluhku dengan mata berair. Aku bahkan tak bisa menolongnya saat itu. Pengecut!
Jika dihitung, sudah lama sekali. Padahal aku ingin bertemu dengannya. Melihat senyumannya, wajahnya, caranya memanggilku, dan waktu yang kami habiskan bersama. Walau sekeras apapun aku berusaha untuk melupakannya, tapi kenangan tentang dirinya masih membekas dalam hidupku. Aku bagai buku, dan ia adalah pena. Sekeras apapun usaha yang kita lakukan, akan susah untuk menghapusnya. Walaupun terhapus, tapi bekasnya masih ada. Aku memikirkan banyak hal hingga tanpa sadar aku sudah berada di depan tangga Rumah Sakit. Aku melihat ke atas, sepuluh anak tangga siap untuk kunaiki. Aku menyunggingkan senyumku lagi. Ternyata kita takkan bisa membuat waktu mengejar kita. Kitalah yang mengejar waktu. Entah itu masa lalu, sekarang, ataupun masa depan, waktu tetap akan terus berputar, menyaksikan kehidupan. Ia takkan marah. Walau orang mengeluh akan waktu yang terlalu cepat atau lambat. Baginya itu takkan merubah apapun. Ia akan terus berputar, sampai saatnya nanti ia berhenti. Dan pada saat itu, dunia juga akan berhenti berputar. Perlahan aku menaiki satu persatu anak tangga. Aku selalu berdoa, agar bisa bertemu dengannya. Dengan waktu, perasaan... Aku menghela nafas dan mengucapkan sesuatu.
"Dan juga harapan!"
Saat aku mengucapkan kata itu, secara bersamaan ada seseorang yang juga mengucapkan kata yang sama. Aku tercengang, tapi aku tetap berjalan. Suara yang bening dan menyegarkan, sama seperti suara yang memanggilku dulu. "Rafli!" tiba-tiba sekelebat bayangan melayang di kepalaku. Aku berhenti ketika aku telah sampai di depan gerbang. Siapakah gerangan? Suara yang membuatku bagai pungguk merindukan bulan. Bagaimana jika itu benar-benar dia? Perlahan aku berbalik sambil berharap, itu adalah dia. Tapi jika itu benar dia, apa yang akan aku lakukan? Haruskah aku meminta maaf? Haruskah aku menangis dan memeluknya? Ah! Semakin banyak aku berpikir, semakin sedikit aku bertindak. Akhirnya aku memutuskan untuk nanti saja berpikirnya. Tapi takdir mempermainkanku, tidak ada siapa-siapa disana. Aku tersenyum dan kembali berbalik. Aku terlalu berharap, ya? Seperti orang bodoh saja. Sepertinya aku terlalu merindukannya. Sampai aku menghalusinasikan yang tidak-tidak. Tanpa kusadari air mata mengalir, membasahi pipiku. Baru kusadari, rindu itu menakutkan. Aku tetap berjalan, sambil terus bertanya-tanya. Suara desakan orang-orang dan hilir mudiknya suster dan dokter tak membuatku sadar. Suara tadi masih mengiang-ngiang di dalam otakku. Air mata masih saja terus mengalir. Aku merapatkan jas hitamku. Jika ada orang yang melihatku pasti mereka berpikiran kalau aku sudah gila. Tiada rasa seaneh ini yang pernah ku rasakan. Takut, rindu, bahagia, dan kecewa rasanya bercampur aduk. Tida-tidak! Tujuanku kesini adalah untuk mengetahui penyakit Zahra selama ini. Aku menepuk pipiku dan mengelap air mataku. Benar! Aku takkan menemukan Michaella Zahraku jika terus menangis. Aku merogoh sakuku dan mengambil buku bersampul hitam kesukaanku
***
"Jangan melangkah kesana."
"Diam, DIAM! DASAR MONSTER!"
Sejak saat itu, aku lebih baik diam. Tapi semakin lama, kekuatan ini semakin meningkat. Kekuatan yang perlahan akan menggerogoti tubuhku. Yang membuatku di jauhi oleh orang-orang. Ibuku selalu bilang tidak apa-apa, sambil mengelus kepalaku. Padahal aku tau dia berbohong. Kekuatan yang merupakan kutukan ini hanya bisa berhenti jika si pembawa tanda menemukan jawaban dari takdirnya sebelum takdir itu memanggilnya. Setiap saat, ketika aku melihat seseorang, seketika aku melihat bayangan tentang hal buruk apa yang akan menimpa orang itu di masa depan. Ya, mungkin aku memang adalah monster.
![](https://img.wattpad.com/cover/119270632-288-k825110.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DM 10 [COMPLETED]
SpiritualKenalkan, namaku Michaella zahra ammelia. Panggil saja aku zahra. Aku sangat pintar dalam mata pelajaran maupun olahraga. Tapi aku benar-benar bodoh dalam mengaji! Aku terkenal sebagai pembuat masalah di tempatku mengaji, Daarul Maghfirah yang disin...