End for Koemi

17 9 0
                                    

Aku memegangi kepalaku. Ternyata yang terjadi pada Shira juga terjadi pada kakak. Tanpa sadar kami sudah berada di balkon rumah sakit. Gadis itu berhenti tiba-tiba yang membuatku menabraknya dan terjatuh. Pantatku rasanya sakit sekali. Bukannya menolong dia hanya melihatku dengan tatapan kosong. Mataku membulat tak percaya. Walaupun hanya beberapa detik, aku sempat melihat senyuman terukir di wajahnya. Kemudian wajahnya memasang ekspresi serius dan kembali melanjutkan pembicaraan kami.
"Sakurako dilarang keluar dari ruangan itu kecuali saat mandi dan ada undangan untuk mengikuti lomba. Walaupun akhirnya semua piagam, uang, dan trophy yang ia dapat akan langsung dihancurkan didepan matanya. Anak itu, walaupun begitu, ia tetap tersenyum. Kalau berhak memilih, aku memilih untuk tidak muncul sebagai sebuah kepribadian. Aku muncul ketika Sakurako tertekan saat dipukuli ayahnya. Maka dari itu aku terobsesi akan rasa sakit. Bagaimana tidak? ia yang saat itu masih kecil, selalu berjuang sendiri. Berusaha untuk diakui. Walaupun ia tahu orangtuanya tetap tak berpaling. Dan wanita yang kau anggap ibumu itu, wanita tua itu, jelas aku sangat tahu siapa dia. Dia yang selama ini selalu membohongi keluarganya dan tak pernah peduli pada anaknya, mana pantas disebut seorang ibu!"
Aku juga, memikirkan hal yang sama dengannya. Selama ini yang kulihat ibu rela melihat Shira disakiti ayah tanpa melirik sedikitpun. Saat aku dan Elena berlutut di hadapannya, memohon ampun dan memintanya untuk menghentikan ayah memukul Shira, ia justru langsung menendang perut kami sambil memasang wajah jijik. Padahal ia yang telah melahirkan kami. Wajahnya sangat puas saat melihat Shira kesakitan. Waktu itu aku sangat berharap aku memiliki orangtua seperti di buku bergambar yang waktu itu aku baca. Tapi kenyataanya itu hanya imajinasi belaka. Gadis itu duduk untuk menyamakan tinggi kami. Kemudian dengan lembut ia membelaiku.
"Aku, Koemi Alifiya felita. Aku diciptakan tuhan untuk Sakurako agar ia tertawa dan kembali memiliki yang namanya keluarga. Aku memang terobsesi dengan penderitaan. Penderitaan orang-orang yang telah menyiksa Sakurako. Aku ingin melihat mereka berlutut dengan wajah bersimbah darah di hadapanku." dia berdiri dan tersenyum. "Tapi itu dulu."
Dia berbalik. Perlahan ia berjalan sambil menutup mata dan merentangkan tangannya. Membiarkan angin dan hujan menghajarnya. Untung saja ada dinding yang dibangun di bibir balkon. Sehingga aku tak perlu takut dia akan jatuh. Merasa sudah berada di bibir balkon, dia membuka matanya. Dia melepaskan pita merahnya satu-persatu. Dia memegang pitanya dengan tangan kanan dan dengan tangan satunya dia mengambil korek api yang ada di sakunya.
"Seorang adik yang berarti bagiku berkata, aku bisa membuatnya tertawa, saat aku menjadi bagian dari keluarganya. Kalian juga pasti akan selalu menjaga dan membuat Sakurako tertawa. Oleh karena itu," air mata perlahan mulai membasahi pipinya. "tugasku selesai!"
***
Aku mendengar suara rintik hujan turun dengan derasnya di tengah kesunyian ini. Apa aku sedang tertidur? Atau aku sedang terbangun? Yang ku ketahui hanyalah aku sedang tenggelam di dalam alam bawah sadarku. Aku tenggelam, tapi tidak bisa mati. Dan rasanya hati ini sakit sekali. Sepertinya bagian dari diriku akan pergi. Saat aku membuka mataku, aku sedang duduk di tengah ruangan gelap. Sunyi dan damai. Ada tiga cermin tepat lima meter di hadapanku, tapi salah satunya sudah retak parah. Dan sebuah pintu tak jauh di belakangku. Gelap! Rasanya kepalaku mulai berdenyut-denyut. Aku takut! Aku tak mau keluar. Kalau aku keluar aku akan disiksa mereka.
Aku mencoba untuk mengatur nafasku dan menenangkan pikiranku. Rasanya kepala ini mau pecah. Aku mengurut-ngurut pelan kepalaku. Saat aku melihat pita merah di jari tengah tangan kananku, aku baru sadar pita itu mulai menghilang. Lalu aku memeriksa pita lain di pergelangan kaki kiri dan yang berada di leherku seperti choker. Setiap pita itu terhubung ke setiap kepribadianku. Jika pita itu hilang, maka kepribadian yang terhubung lewat pita itu juga akan hilang.
"Tugas Koemi sudah selesai, ya?" aku mengangguk perlahan.
"Dia memang harus pergi. Tugasnya sudah selesai, dia tak dibutuhkan lagi." saat dia mengatakan hal itu, entah mengapa sesuatu yang berada di dalam dadaku rasanya sakit sekali.
Dari dalam dua cermin muncul bayangan. Di cermin pertama terlihat seorang gadis kecil berparas imut dengan rambut ala ponytail. Walaupun imut, tapi matanya memancarkan kepintaran yang luar biasa yang membuatnya terlihat sangat licik dan culas. Di cermin kedua terlihat seorang gadis kecil dengan gaya rambut country style. Matanya sangat memperlihatkan kesombongannya. Dia penuh dengan kepercayaan diri yang membuatnya terlihat sangat menjengkelkan. Saat kedua bayangan keluar dari cermin, secara bersamaan cermin itu pecah berkeping-keping.
"Kau jahat sekali Zahra." ucap gadis dengan gaya rambut country style. Lalu dia menatapku sinis. "Yah, memang pada akhirnya kita hanyalah boneka." rasa sakitnya bertambah parah.
"Kau memang hanyalah boneka pembawa kebahagiaan. Bersikaplah sesuai kegunaanmu. Jangan berpikir aku tak tahu jalan pikiranmu, Farfa!" tukas gadis yang dipanggil Zahra ini.
"Farfalla Nirvana! Namaku Farfalla Nir-"
Aku mengangkat tanganku, untuk membuat mereka berhenti berdebat. Tapi yang diucapkan Farfa itu memang benar. Memang pada akhirnya aku seperti memperalat mereka. Aku memang pengecut yang tak berani menghadapi kenyataan. Aku tidak berani melangkah untuk merubah hidupku. Aku justru membawa mereka ke dunia ini hanya untuk kebahagiaanku. Semua yang mereka dapat baik itu teman, keluarga, dan cinta. Pada akhirnya aku yang akan mengambil semua itu dari mereka. Aku manusia yang sangat egois. Terdengar suara langkah kaki dari balik pintu. Cermin yang sudah retak itu mulai bercahaya. Cermin itu menunjukkan apa yang sedang dilihat Koemi saat ini. Tapi aku tak menyadarinya. Aku sedang tenggelam di dalam penyesalanku. Apa aku pantas hidup di dunia ini?
"Kakak!"
Semua lamunanku buyar. Suara yang nyaring itu menyadarkanku. Terlihat seorang gadis manis dengan balutan hijab hijau yang membuatnya terlihat jauh lebih manis lagi. Dia dan orang-orang yang berada di sekelilingnya semuanya basah kuyup. Aku memincingkan mataku. Apa itu? Kenapa mereka bisa dengan mudah menunjukkannya. Padahal badan mereka menggigil karena kedinginan. Tapi mengapa mereka bisa... Tersenyum? Jantungku berdetak begitu kencang. Apa ini? Mengapa hanya dengan melihat mereka aku juga merasakan kebahagiaan mereka? Mereka seperti virus! Tapi bila virus menularkan penyakit, mereka menularkan kebahagiaan. Gadis itu mengambil plastik dan mengeluarkan surat yang berada di dalamnya. Kemudian ia menyerahkan surat itu pada Koemi sambil tersenyum manis.
"Nih! Aku masih menyimpannya, lho! Surat dari kakak!"

DM 10 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang