Ada beberapa orang yang sangat tergila-gila dengan idolanya sehingga ia akan melakukan apapun agar mirip orang tersebut. Yah, bisa dibilang itu orang yang gagal. Bukan maksudku mengejek, tapi kadang orang yng seperti itu adalah orang yang kebingungan akan jati dirinya. Ini hanya pendapatku, jika keberatan aku tidak masalah. Tapi jika itu memang jati dirinya, mau apalagi?
Zahra... Yah, dia hanya gadis imut yang pemalas dan berantakan. Ia berlaku nakal karena ia sedang mencari-cari siapakah dia. Mungkin kalian tidak terlalu mempedulikannya, tapi ia termasuk orang yang beruntung. Mengapa? Karena ia akan menemukan jati dirinya. Ia akan segera mekar dan kalian akan menyadari apa yang kurang dari diri kalian sendiri.
***
"Saktah! Saktah ialah, berhenti sekedar dua alif tanpa bernafas. Di Al-qur'an ada empat."
Hujan deras mengguyur masjid kami. Membuat udara terasa dingin sampai ke tulang. Sebetulnya Zahra ngga mau ngaji, tapi ia terpaksa karena intan datang menjemputnya. Zahra mulai menguap di mejanya, ia membenamkan wajahnya diatas meja dan akhirnya ia tertidur.
Sekarang Zahra dan teman-temannya berada di kelas finishing. Tidak ada yang berubah sama sekali dari mereka, hanya saja Zahra, Anggi, Laras, dan Alvi telah masuk ke jenjang yang lebih tinggi yaitu SMP. Zahra dan Alvi masuk SMP Negeri 16, sedangkan Anggi dan Laras masuk MTS Fidliyah Batam.
Kami berempat menjadi lebih sibuk dari biasanya, ditambah dengan sekolah kami yang full day membuat kami kecapekan ketika berangkat mengaji. Bu Annis adalah guru yang akan membimbing kami mulai sekarang. Guru yang paling sabar dan manis itu cocok mengajar kami yang super ribut.
"Zahra, jangan tidur! Nahwa sama Citra, fokus!" seru Bu Annis.
Zahra kaget dan segera terbangun mendengar namanya dipanggil, tapi kemudian ia kembali tidur seperti tadi. Nahwa dan Citra cuma diam sepuluh menit, habis itu mereka ribut kembali seperti sedia kala. Padahal mereka bertiga duduk paling depan. Tapi mereka tetap aja bikin masalah.
Bu Annis geleng-geleng melihat muridnya. Padahal mereka murid yang pintar dan cerdas. Tapi mereka lebih memilih untuk bersenda gurau daripada belajar. Bu Annis memikirkan sesuatu, sebagai guru mereka, apa yang harus ku lakukan? Apa yang bisa ku lakukan untuk membuat mereka menjadi orang sukses, bukan monster ribut seperti saat ini!
Pintu tiba-tiba terbuka. Anggi dan Laras muncul dari luar pintu. Mereka berjongkok dan satu-persatu mulai menyalami Bu Annis. Mereka agak telat dari biasanya.
"Kok telah Nggi?" tanya Bu Annis.
Anggi tersenyum, "Iya, Bu! Tadi Pramuka sebentar, pembagian kelompok untuk persami. Anggi jadi ketua panitia persami lho, Bu!"
Bu Annis tertawa. Yah, cuma Anggi murid paling serius disini. Itupun ngga serius-serius amat. Anggi dan Laras berjalan menuju mejanya. Bu Annis melihat Anggi, coba ini seperti Pramuka bisa pembagian kelompok. Mereka tau akan Imtas,Imtastapi tapi mereka tetap saja cuek. Kalau begini terus... Bu Annis memikirkan ucapan Anggi tadi. Tunggu dulu? Pramuka? Bisa!
Bu Annis memukul meja yang membuat semua murid terperanjat. Bahkan Zahra sampai jatuh dan kali ini ia benar-benar terbangun. Nahwa dan Citra juga segera berhenti tertawa. Semua pandangan mengarah ke Bu Annis.
"Ada apa, Bu?" tanya Alvi pelan-pelan.
Bu Annis menatap kami semua dengan senyum misterius yang membuat kami kebingungan. Bu Annis mengambil kertas, memotongnya menjadi bentuk persegi, kemudian menuliskan sesuatu di dalamnya. Nabila perlahan berdiri.
"Jangan mengintip!" seru Bu Annis.
Nabila kaget dan kembali duduk. Bu Annis menggulung kertas itu, kemudian membagikan kertasnya pada setiap murid. Zahra mengambilnya dan segera membuka gulungan kertas itu.
"Ghorib...?" gumam Zahra kebingungan.
Setelah membagikan kertas itu Bu Annis berdiri di hadapan kami semua, "Kertas itu menunjukkan bakat kalian. Kalian tahu, kan sebentar lagi kalian akan ujian Imtas bukan?" kami semua mengangguk. "Setiap murid mendapat satu kertas sesuai tugas masing-masing. Setiap minggu kalian akan belajar kelompok secara bergantian. Dan tentu saja... Ibu akan memberi kalian hadiah kalau lulus. Gimana?"
Mereka semua berteriak dan segera mendiskusikan semuanya. Hanya Zahra yang tetap memegang kertasnya dengan tangan gemetaran. Entah apa yang apa yang di pikirkannya sekarang.
Anggi mengangkat tangannya, "Bu! Punya saya kok tulisannya leader aja?"
"Itu berarti kamu yang mengurus dan memimpin semuanya," jelas Bu Annis.
"Wah! Selamat ya Kak Anggi!" teriak Nisa.
Bu Annis tersenyum bangga. Mungkin mereka memang monster ribut yang imut. Tapi mereka sangat sportif dan setia kawan. Kemudian Bu Annis menatap Zahra, gadis kecil yang perlu diajari kasih sayang.
***
Semua anak sudah pulang. Tinggal Zahra sendiri yang masih duduk di tangga masjid dengan kepalanya ia senderkan di dinding. Ia sedang memikirkan sesuatu dan pemikiran ini belum menemui jawabannya. Perlahan Zahra menghela nafasnya.
Dari jauh terlihat Bu Annis keluar dari kelasnya. Ia baru saja selesai menghitung data murid-muridnya yang akan Imtas. Rasa capek masih terasa di bahunya, makanya ia memutuskan untuk pulang.
Bu Annis sangat kaget melihat sebuah sosok yang tengah duduk bersandar di tangga masjid. "Lho? Zahra...?" Bu Annis memutuskan untuk pergi menemuinya.
Bu Annis berjalan perlahan menuju tangga. Ketika ia telah sampai, Bu Annis segera menaiki tangga tersebut dan duduk di tempat yang lebih tinggi dua anak tangga dari Zahra. Zahra hanya menoleh sebentar tanpa senyum lalu kembali lagi pada pemikirannya.
Bu Annis menatap Zahra lembut. Ia menjadi teringat kenangan sewaktu Zahra kecil. Waktu itu ia lebih nakal dari ini. Dulu, ia ngga mau ngaji kalau ngga dirayu, tapi ketika ia sudah selesai mengaji ia akan segera pulang tanpa salam dan basa-basi. Bu Annis tersenyum geli. Inilah anak yang sering dibulluy, inilah anak yang tak pernah dianggap, dan nanti inilah anak yang akan menang.
Sambil tersenyum, Bu Annis mengusap lembut kepala Zahra. Anak kecil yang dulunya menyebalkan telah berubah menjadi gadis remaja cantik yang sama nakalnya dengan dulu. Zahra hanya diam saja mengetahui kepalanya tengah diusap.
"... Kerang itu aneh ya, Zahra?"
Zahra yang mendengarnya kaget dan langsung menoleh kebelakang. Ia melihat Bu Annis tersenyum menatapnya. Tapi Zahra hanya memberikan tatapannya yang tajam dan wajahnya yang dingin.
"Maksud ibu?" tanya Zahra.
"Mereka berbeda-beda, berkilau disinari matahari senja. Dan mereka cantik, cantiiik sekali. Walaupun begitu mereka selalu bersembunyi dibalik pasir. Menutup diri, tak pernah percaya akan kecantikannya sendiri. Oleh karena itu orang-orang jadi tidak sadar akan keberadaan mereka."
Zahra terdiam dan tetap memasang wajah dinginnya. Lalu Zahra memejamkan matanya. Bu Annis harap, Zahra mau mendengar dan mengerti ucapannya barusan. Zahra murid yang pintar dan cemerlang. Kata-kata kecil tadi pasti ia bisa mengerti dengan mudah.
"Walaupun begitu masih ada orang yang mau bersusah payah mencari mereka," ucap Zahra lalu kembali membuka matanya. "Berbeda denganku, tidak ada orang yang mau mencariku,"
Zahra memalingkan wajahnya. Ia melepaskan pandangannya pada lapangan hijau disamping masjid. Lapangan dimana semua anak sering bermain dan ia hanya duduk melihatnya. Tanpa ada satupun anak yang mau mengajaknya bermain. Zahra itu manusia yang terperangkap dalam bayang-bayang kesepian.
Bu Annis senang mengetahui anak muridnya mengerti apa yang ia ucapkan. Tapi pemikiran Zahra itu salah. Pasti ada seseorang yang akan mencarinya. Seseorang yang dulu selalu bermain dengannya. Tapi siapa? Sekelebat bayangan terlintas di ingatannya.
"Lalu apakah Rafli tidak akan mencarimu?"
Zahra terbelalak. Ia tak tahu Bu Annis masih mengingat sosok Rafli. Anak lelaki yang pertama kali mau menhadi temannya. Zahra memegang dadanya yang kini terasa sakit. Sakit teramat dalam mengingat ia tidak akan pernah bisa bertemu dengan Rafli karena dirinya sendiri.
"Aku dan Rafli hanya kenangan masa lalu," ucap Zahra membohongi dirinya sendiri. "Tidak ada yang namanya Rafli dan Zahra lagi sekarang," ucap Zahra sambil terisak.
Bu Annis sudah geram dengan kelakuan Zahra, "Kalau kau berhasil melupakan Rafli, berarti kau bisa melupakan semua pemikiran buruk itu, kan!?"
"Ngga bisa! Rafli telah meninggalkan kenangan manis untuk Zahra. Tapi masjid ini," Zahra mengepalkan tangannya, "Masjid ini ini hanya pernah memberikan penderitaan! Penderitaan yang terus berkelanjutan!" bentak Zahra.
Bu Annis sangat kaget melihat Zahra seperti itu. Apa ia sudah terlalu jauh mengingatkannya? Zahra yang merasa sangat bersalah segera berbalik. Ia menghapus air mata yang mulai mengalir di pipinya.
"Zahra...," ucap Bu Annis lembut. "Iya, hidup itu pilihan. Lurus ataupun berliku. Baik ataupun buruk. Hitam ataupun putih." Bu Annis menelan ludahnya, "mencintai ataupun melupakan."
Mendengar ucapan Bu Annis Zahra semakin terisak. Ia sadar ia telah memikirkan dan melakukan hal bodoh. Zahra menjadi merasa sangat kecil. Keciiil sekali. Bagaimana mungkin orang sepintar dirinya bisa memikirkan hal sebodoh itu. Zahra menjadi sangat menyesal.
"Maaf!" ucap Zahra tulus. "Hanya saja, aku merasa tak yakin. Aku yang dulunya tak pernah lulus ujian mengaji, kini harus mengikuti ujian Imtas yang sesusah itu? Apalagi kalau ngga lulus, harus mengulang dari Pra Tk."
Bu Annis tertegun. Ia mengerti perasaan muridnya sekarang. Bu Annia juga takut bila ada salah satu anak muridnya yang ngga lulus. Dan yang lebih parahnya lagi, semua orang dengan seenaknya berkata Zahra tidak akan lulus. Pasti perasaan Zahra sedang terombang-ambing sekarang.
"Aku...," ucap Zahra getir.
Jantung Bu Annis berdetak kencang. Padahal ia telah berjanji agar Zahra tak tersakiti. Tapi sekarang Zahra menjadi stress seperti ini. Bu Annis merasa sangat berasalah karena telah melanggar janjinya.
"Harus gimana...,"
Janji yang ia buat bertahun-tahun yang lalu. Janji besar yang dibuat oleh seorang anak kecil. Ia bahkan tak mengira anak sekecil itu akan memikirkan hal sepenting ini. Coba dulu ia mendengarkan anak kecil itu.
"Menghadapi semua ini?"
Jika dulu ia mendengarkam perkataan anak kecil itu, maka Zahra takkan pernah menjadi seperti ini. Kenapa ia dulu begitu bodoh? Apa yang akan ia lakukan sekarang? Harus ingat sesuatu, harus. Oh, iya!
Bu Annis pergi meninggalkan Zahra sendiri. Zahra yang melihatnya tersenyum pahit kemudian memeluk kakinya dan menopang kepalanya dilutut. Ternyata tak ada satupun orang yang bisa menjawab pertanyaanku, tangis Zahra dalam hati. Tiba-tiba ada seseorang yang menyodorkan bunga mawar didepannya. Zahra menoleh.
"Kau hanya terlalu terpaku pada Pangeran Bunga Mawarmu itu! Ingat! Kau juga harus segera mekar!"
Mata Zahra berbinar, ia tersenyum seraya mengambil bunga itu. Perlahan Zahra menghirup aromanya, "Dialah orang pertama yang mengakui keberadaanku...,"
Bu Annis mengangguk mantap, "Ya! Dia sangat memikirkanmu sampai-sampai dia bahkan meminta ibu berjanji untuknya. Di umurnya yang sekecil itu dia sangat, ah, bukan! Dia terlalu menyayangimu. Kau itu lebih berharga dari bunga mawar manapun baginya."
Zahra kaget dan mengerutkan dahinya. Tatapannya membulat seakan tak percaya. Ia tak pernah tau Rafli membuat janji untuk dirinya. Hanya untuk dirinya.
***
Malam sudah hampir menyapa. Matahari akan segera terbenam, tapi Aku masih saja menyelesaikan perkerjaanku yang belum selesai. Udara semakin bertambah dingin. Untung saja Aku sudah membuat secangkir kopi untuk berjaga-jaga.
Aku mengambil sebuah kertas dengan tangan kiriku. Kertas itu berisi pengajuan perpindahan salah satu keluarga. Yah, Aku itu seorang RT yang menjabat sebagai guru ngaji. Tak heran kesibukanku membuatku lupa waktu.
Krieeet. Suara pintu terbuka. Seorang anak lelaki berambut coklat masuk dengan santainya. Ia berjalan memakai tongkat karena salah satu kakinya patah. Ia harus mengikuti terapi di luar negeri dan saat ini aku sedang mengurus perpindahannya.
"Rafli?" ucapku bingung, "Ada apa?"
Manik coklatnya menatapku serius. Dia menatapku dengan tatapan yang seharusnya tidak dimiliki seorang anak kecil. Ia seperti seorang tentara yang memiliki tanggung jawab besar dan sebentar lagi akan memasuki medan tempur. Aku semakin bingung dibuatnya. Ia menundukkan kepalanya dan mengambil nafas panjang.
"I-itu...," ucapnya gugup. Tiba-tiba ia membungkukkan badannya dengan sangat cepat yang membuatku begitu kaget. "Bu kumohon! Jagalah Zahra!"
"Apa maksudmu sayang? Ayo cepat berdiri tegak!" pintaku.
"Tidak akan sebelum Ibu berjanji untuk menjaganya!"
Ruangan saat itu juga menjadi hening seketika. Aku bingung, benar-benar bingung. Tapi karena Aku tak memiliki pilihan lain Akupun menyutujuinya, untuk berjanji menjaganya. Ia terlihat sangat senang, awalnya aku bingung.
"Mungkin Aku tak akan pernah muncul lagi dihadapannya. Tapi Aku ingin ia tetap tersenyum walaupun aku tak berada disisinya lagi. Aku tidak ingin melihat ia disakiti atau tersakiti. Walaupun terlihat kuat, sebenarnya ia rapuh. Yang ia butuhkan hanya orang untuk berbagi rasa sakit dengannya." jelasnya sambil tersenyum.
Mendengar penjelasan anak kecil itu Aku jadi sedikit mengerti, mengapa ia rela datang, hanya untuk membuatku berjanji. Aku memberikan sekotak kue dan teh hangat untuknya. Dia terus menceritakan tentang Zahra sambil terus tersenyum. Saat dia berhenti bicara, aku menanyakannya satu hal.
"Mengapa Kau ingin sekali Aku menjaganya? Dia hanyalah anak yang selalu membuat masalah," ucapku sambil memakan sepotong kue.
"Jangan bicara seperti itu! Mungkin dia memang bertindak keterlaluan, tapi itu hanya untuk mendapatkan teman! Tidak lebih! Justru kalianlah yang membuat dia seperti itu! Apa kalian tak pernah memikirkan sakitnya hati seseorang yang terus menerus diejek hanya karena ingin memiliki teman?!" bentaknya.
Aku kaget. Sangat-sangat kaget. Melihat anak sekecil ini bisa memikirkan hal sebesar itu. Anak itu segera menghabiskan teh itu dengan cepat.
"Maaf!" katanya, "Hanya saja... Hal yang membuatku paling bersyukur adalah karena pernah berdiri bersamanya, walau aku takkan bisa memiliki dirinya. Maka dari itu...," dia mengambil tanganku, "kumohon jagalah dia!"
Setelah mengucapkan terima kasih dia pergi begitu saja. Seakan yang penting dalam hidupnya hanyalan anak perempuan kesepian itu. Aku tidak terlalu memikirkannya tapi...
"Ah! Itu hanyalah perkataan anak kecil."
***
Kali ini Zahra tersenyum bahagia. Lalu lama kelamaan ia terkikik kemudian tertawa kencang. Zahra tak percaya setelah terluka parah karena kejadian yang mengenaskan itu, ia tetap saja memikirkan dirinya. Padahal luka dikakinya cukup serius. Rafli benar-benar keras kepala dan nekat.
"Makanya," Bu Annis menaruh tangannya di kepala Zahra, "Teruslah tersenyum. Karena Rafli hanya ingin melihat senyumanmu, bukan tangisanmu!"
Zahra terdiam sebentar sambil menatap bunga mawarnya. Ia kemudian mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih...,"
Zahra menaruh bunga itu di telunganya, kemudian ia menatap langit. Langit biru dipenuhi awan berarak dengan sinar mentari meneranginya secerah hatinya saat ini. Kini hatinya berbisik, Rafli Aku menunggumu.
***
"Citra salah, takbiratul ihram itu kalau perempuan tangannya di bawah telinga sejajar dengan bahu!" celoteh Zahra.
Minggu ini latihan imtas di rumah Zahra. Karena nilai praktik shalat Zahra sempurna, maka Zahra memimpin kelas ini bersama Nahwa. Daritadi Zahra terus saja marah-marah. Citra memang ngga konsen, ia lebih banyak main daripada serius.
"Aduh Kak Citra! Rukuk itu punggungnya membentuk sudut 90°, bukan melengkung. Kepala juga harus lurus sejajar dengan punggung dengan tangan menempel di lutut!" ucap Nahwa kesal seraya membenarkan posisi Citra.
Kelas praktik sholat dilanjutkan dengan Citra yang terus-menerus salah. Nisa dan Nabila bahkan tidak jadi shalat karena sibuk menahan tawa melihat Citra. Pada akhirnya, Citra menjadi kesal dan mogok dari kelas latihan imtas. Kami terus-menerus membujuknya. Walaupun susah, akhirnya berhasil juga.
Zahra yang tengah duduk di sofa tertawa melihat tingkah laku teman-temannya itu. Akhirnya mereka melanjutkan kembali kelas latihan imtas yang sempat tertunda gara-gara Citra. Sekarang mereka sedang mempelajari Ghorib kemudian dilanjutkan dengan Tajwid, Fashohah, Tartil, Wudu, Hadist, dan Surat-surat pendek.
"Zahraa!!!" tiba-tiba terdengar suara teriakan yang sangat memekakkan telinga.
Zahra menoleh, ternyata itu teriakan dari Nicolas dan Willy yang menyebalkan. Mereka datang sambil membawa karung di pundak mereka dan berpakaian ala sinterclaus. Anggi menatap Zahra, Zahra membalasnya dengan mengangkat bahu. Entah bagaimana gerombolan Yoris and the geng bisa datang ke rumah Zahra disaat seperti ini. Zahra menepuk jidatnya.
Nicolas dan Willy menaruh karung itu dengan bangga tepat di atas meja. Kami semua segera mengahambur dan mengelilingi mereka berdua.
"Bang, Abang bawa apa?" tanya Vira penasaran. Willy dan Nicolas hanya tertawa.
Bukan hanya Vira saja, kami semua juga penasaran dibuat oleh mereka. Zahra dan Anggi menatap Yoris sambil mengerutkan dahi. Yoris tersenyum nakal dan membalas dengan mengangkat bahu juga. Zahra dan Anggi kebingungan, akhirnya mereka saling menatap satu sama lain lalu kembali mengangkat bahu masing-masing.
"Kami membawa sesuatu yang akan membuat kalian bersemangat!" seru Nicolas dengan wajah imutnya.
"Iya! Walaupun kami bukan orang islam, tapi kami tetap akan mendukung kalian semua sekuat tenaga!" ucap Willy bersemangat.
Kami semua tertawa mendengar ucapan mereka. Mereka mulai mengeluarkan isi karung tersebut. Zahra yang melihatnya terbelalak dan tak bisa berhenti menganga. Sebenarnya apa sih yang dipikirkan dua monyet ini. Zahra menghela nafas panjang melihat apa yang mereka bawa.
Zahra maju untuk dapat lebih melihat apa yang mereka bawa. Yoris hanya senyam senyum sendiri. Zahra yang melirik daritadi sempat menaruh curiga pada yoris. Kemudian Zahra mensejajarkan dirinya dengan Yoris. Zahra menyenggol bahu Yoris.
"Yor!" panggil Zahra.
Yoris bersedekap sambil mengangkat alisnya, "Hm?"
Zahra melirik Yoris dengan ekor matanya kemudian ia berkacak pinggang, seraya mendekatkan wajahnya ke telinga Yoris. Takut Nicolas dan Willy mendengar ucapannya. Zahra membisikkan sesuatu.
"Apa mereka tahu yang mereka bawa hanya makanan bertema strawberry?" tanya Zahra.
Yoris tertawa pelan dan menggelengkan kepalanya. "Ntahlah?" kemudian ia menatap Zahra dengan tatapan khas cowok playboynya, "Tapi manis, kan? Semua yang manis akan berakhir dengan manis dan menarik!"
Zahra mengangguk tak mengerti. Kemudian ia mengangkat alis dan bahunya bersamaan. Yoris hanya tertawa melihat Zahra. Aneh? Sebenarnya memang sangat aneh. Lalu ia menatap Willy dan Nicolas yang terlihat sangat senang membagikannya. Mereka memang peduli dan setia kawan. Mereka rela melakukan apapun, walaupun uang mereka harus habis.
Zahra tersenyum, "Yah... Manis juga, sih!"
Zahra menatal semua makanan yang dibagikan mereka. Lalu ia cengar-cengir sendiri. Yah, tapi ngga gini juga kali! Zahra mengabsen makanan yang mereka bawa dari kanan ke kiri. Ada puding stroberi, pai stroberi, shortcake stroberi, kue tart stroberi, teh stroberi, coklat stroberi, mille-fuille, daifuku stroberi, dan parfait stroberi. Zahra menjadi lemas sekali, ini sih jamuan stroberi. Zahra menghela nafas lagi yang entah sudah ke berapa kalinya.
"Silakan dimakan!" teriak Willy dan Nicolas bersamaan.
Willy mengambil potongan shortcake stroberi dan parfait stroberi. Lalu ia membelikannya kepada Zahra. "Onee-chan! Ini untukmu" katanya sambil menaruhnya ditangan Zahra. Lalu ia memukul punggung Zahra, "Sudah! Sudah! Tidak usah memikirkan hal lain! Makan dan nikmati saja!" ucapnya lalu pergi.
Semua orang segera mengambil makanan yang mereka suka. Melihat hal itu Zahra menjadi pasrah dan langsung melahap parfait stiberinya. Lagipula mana pernah Zahra menolak yang namanya makanan. Tapi Zahra masih curiga dengan mereka.
"Hm... Asam!"gerutu Faiza.
Kami semua tertawa. "Namanya juga stroberi!' seru Nisa.
"Tengokin aku biar manis," goda Rifaldi.
"Ih, apaan sih! Uuh payah, ah!" omel Faiza.
Nabila tertawa terbahak-bahak, "Kakak lucu!"
Kami akhirnya tertawa lagi bersama. Hanya Anggi yang diam saja tanpa mengambil satupun makanan. Zahra teringat sesuatu, oh, iya! Bukannya Anggi ngga sukak strawberry? Yoris menatap Zahra sambil mengangkat alisnya dan menggerakkan matanya. Zahra bingung dan melihat apa yang ditunjuk mata Yoris.
Nicolas sepertinya tengah sibuk mencari sesuatu dari karung yang ia bawa. Kali ini ia mengambil kotak bekal berwarna hitam. Zahra kembali mekihat Anggi yang kebingungan. Oh! Zahra akhirnya mengerti sekarang.
"Jadi ini yang kamu maksud berakhir manis dan menarik?"
Yoris tertawa, "Ya, begitulah!"
Nicolas menutup setengah wajahnya dengan kotak bekal sambil terus berjalan sampai akhirnya ia tepat berada dibelakang Anggi. Nicolas mengambil nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Seluruh badan Nicolas gemetaran. Sepertinya dia kali ini benar-benar serius. Kami tak akan mau melewatkannya.
Memang bukan hal luar biasa lagi Nicolas memberikan bekal kepada seorang gadis. Nicolas itu pandai masak dan sangat manja. Dia selalu ingin masakannya dipuji. Tapi baru kali ini Nicolas memberikan bekal dengan wajah merah padam seperti itu. Ia pasti telah mengumpulkan banyak keberanian.
"A-a-anggi!" panggilnya gugup.
Anggi kaget dan berbalik. Ia tersenyum manis dan mungkin sedikit bingung melihat Nicolas yang betul-betul terlihat gugup. Seluruh badannya berkeringat. Ikhwan yang berdiri disamping Nicolas terlihat sangat kesal. Ia langsung saja mendorong Nicolas agar lebih dekat dengan Anggi. Sambil mengelus punggung nicolas, Ikhwan membisikkan sesuatu untuk menyemangatinya.
"Percaya diri dan jangan memalukan abangmu ini, dek!"
Nicolas mengangguk dan dengan tangan gemetaran ia menyodorkan bekal itu kepada Anggi. Anggi bingung dan menunjuk dirinya, "Untukku?" Nicolas mengangguk cepat. Tanpa basa-basi Anggi segera mengambil bekal itu dan membukanya.
"Wah, cantik buanget!" seru Nisa.
Ternyata Nicolas membuatkan bekal bento untuk Anggi. Bekal bento berbentuk Gunung fuji yang cantik dengan sungai mengalir dibawahnya. Kami semua terkesiap. Anggi tampaknya sangat terpukau dengan bekal itu. Zahra mengangguk. Oh jadi ini rencana mereka. Zahra menatap Yoris yang sedang mengacungkan jempolnya. Zahra tersenyum dan mengangguk lalu ia kembali melihat Anggi yang sedang mencicipi bekalnya.
"Enak sekali!" Anggi melihat Nicolas, "Aku tak tahu kalau kamu pandai memasak?"
"Karena kamu ngga pernah nanya."
Anggi tertawa kecil,"Oh, iya ya! Kalau begitu... Tolong ajari aku masak, ya! Aku ingin memasak bersamamu!"
Nicolas terbelalak tak percaya, jantungnya berdebar kencang. Bersamaku?! Hanya bersamaku? Gumamnya didalam hati. Nicolas benar-benar nge-Fly Wajahnya merona merah dan kini ia tengah mengeluarkan senyumannya yang manis. Melihat senyuman Nicolas, Anggi malah gugup dan salah tingkah. Pasangan yang manis dan lucu banget.
"Zahra!" panggil Rizki tiba-tiba
Zahra menoleh dan tersenyum, "Ada apa?"
Rizki mendekatkan dirinya dan membisikkan sesuatu di telingaku, "Aku punya usul bagus untuk latihan imtas kalian dan aku juga telah mendiskusikannya dengan Ayah Dandi dan Ayahku!"
Rizki kembali menjauh dan menatapku penuh harap. Aku mengangguk perlahan. Sepertinya Dandi tahu apa yang dibisikkan Rizki, walaupun ia sibuk dengan susu stroberinya, matanya daritadi tertuju kearah kami. Zahra memikirkan perkataan Rizki barusan baik-baik. Lalu ia menepuk tangannya untuk memanggil seluruh anak DM.
Semua orang telah berkumpul di pojok ruangan. Padahal mereka hanya membahas hal kecil, tapi entah mengapa mereka memilih pojok ruangan sebagai tempat berbicara mereka, aneh? Semua orang bertatapan. Apa pembicaraan ini sangat penting? Tanya semua orang dalam hati.
"Gini, ya...," ucap Rizki memulai pembicaraan, "Pasien anak-nak di rumah sakit yang Ayahku dan Ayah Dandi kerjakan bersama semakin meningkat. Kebanyakan mereka tidak bisa bersekolah ataupun mengaji selama beberapa bulan. Untuk menindak lanjuti hal ini, gimana kalau kalian mengajarkan beberapa pelajaran kalian? Sekaliam berbagi ilmu dan belajar. Bagaimana?" usul Rizki.
Usul Rizki bagus juga. Ia sudah terdengar seperti pembisnis alami. Kami semua mengangguk. Selain untuk belajar, kami juga bisa berbagi ilmu dengan orang-orang yang ada disana. Rumah sakit yang dikerjakan bersama oleh Ayah Dandi dan Ayah Rizki itu juga rumah sakit yang bagus. Kami seperti terlibat simbiosis mutualisme.
"Boleh! Tapi kesehatan kami pasti terjaga, kan?"
Rizki baru saja hendak berbicara tapi sebelum hal itu Dandi langsung menyerobot, "Pasti. Tenang saja, kami akan menjamin semua hal itu. Kami juga nanti akan menjemput kalian langsung jika setuju. Jadi kalian tak perlu sibuk mencari dimana rumah sakitnya. Gimana?"
Alvi dan Laras mengangguk. Kami semua saling melihat satu sama lain. Ini benar-benar tawaran yang bagus. Jujur saja aku menerima tawaran itu. Nabika, Vira, dan Nisa mengangguk cepat. Faiza, nahwa, dan Citra mereka semua juga setuju. Kini mereka semua melihat Anggi sang leader.
"Ngga ada salahnya mencoba, kan?"
Zahra mengangguk, "Baiklah kami setuju!" Dandi dan Rizki segera tersenyum bangga.
"Kalau gitu minggu depan jam delapan! Aku sibuk latihan karate dan taekwondo, jadi hanya itu waktu kosongku," seru Rifaldi tiba-tiba.
Kami semua setuju. Melihat hal ini Zahra jadi teringat ucapannya kemarin. Ternyata ia salah. Zahra memandang semua teman-temannya. Lalu ia memejamkan matanya dan menaruh tangannya di dada. Hangat... Rasanya hangat... Zahra kembali membuka matanya. Ternyata masjid ini tidak hanya memberiku penderitaan yang terus berkelanjutan. Justru karena hal itu ia bisa bertemu dengan mereka. Sembilan orang sahabat terbaik dalam hidupnya. Melihat hal ini sepertinya ia tidak akan bisa tidur untuk menunggu minggu depan.
***
Tanpa sadar kita akan bertemu
Walau pertemuan ini hanya untuk sementara
Karena kau yang kusayang
Akan pergi tuk selamanya
***
Kring! Kring! Kring! Sambil tetap memejamkan matanya, tangan Zahra berusaha mengambil jam weker putih yang ada di sampingnya. Zahra mengucek matanya. Samar-samar terlihat angka di jam weker yang tengah berdering itu.
"Setengah.. Delapan," gumam Zahra.
Zahra terdiam di tempat tidur. Matanua tetap mebatao jam weker yang belum berhenti berbunyi. Suara dering jam itu sepertinya tak menganggu telinganya. Zahra memikirkan sesuatu, ada hal penting yang akan terjadi. Tapi apa, ya? Zahra teringat sesuatu dan segera bangun.
"Oh, iya! Pergi ke rumah sakit!"
Zahra segera melempar jam wekernya dan ngacir ke kamar mandi. Tiba-tiba ia kembali lagi untuk mematikan jam wekernya dan mengambil handuk. Kemudian ia berlari kencang ke kamar mandi.
Zahra berlari sangat kencang karena ia takut akan ditinggal sendiri. Ia bahkan tak sadar sepatunya beda warna. Zahra akhirnya sampai di tempat pertemuan. Zahra melihat ada tiga mobil di tempat yang sedang ia tuju. Zahra semakin mempercepat langkahnya.
"Aku sampai," ucap Zahra terengah-engah.
"Ih! Lama amet, sih! Ya udah. Buruan yok!" ucap Citra tak sabar.
Zahra menatap teman-temannya dan menghela nafas pelan. Akhirnya kami langsung menaiki mobil yan sudah tersedia. Zahra, Anggi, Yoris, Rizki, Faiza, dan Rifaldi menaiki mobil hitam paling belakang. Mobil mulai menuju ke tempat tujuan. Di dalam mobil Zahra mengenakan headset, sambil mendengarkan musik lama-kelamaan Zahra mulai mengantuk dan akhirnya tertidur.
"Zahra, bangun! Dah sampai, nih!" ucap Anggi sambil menggoyang-goyangkan tubuh Zahra.
"Ukh...," Zahra menggosok matanya, "Sudah sampai? Cepet amat?"
Yoris menjitak kepala Zahra, "Itu karena kamu dari tadi tidur mulu!" ucap Yoris lalu keluar dari mobil.
Satu-persatu dari mereka mulai keluar. Zahra keluar paling akhir. Ia menatap gerbang hitam besar dengan tulisan kuning "Fannis Medician Center" Zahra terkagum-kagum. Walaupun rumah sakit ini besar dengan halaman yang sangat luas, ini tak membuat Zahra terbangun dari kantuknya.
"Ayo ikuti aku!" pinta Rizki.
Semia orang segera berjalan mengikuti Rizki. Hanya Zahra saja yang tetap terdiam di tempat dengan mata terpejam. Nahwa dan Citra datang dan segera menarik Zahra tanpa ampun.
"Itu ruang UGD, itu ruang Operasi, ah! Dari lorong ini kita terus saja kemudian kita akan berbelok kekanan." jelas Dandi.
Semua orang mendengar penjelasan dengan seksama. Hanya Zahra saja yang tak mendengarkannya, bahkan ia tertinggal jauh dibelakang. Zahra berjalan sempoyongan kesana kemari. Seorang suster dati depan sedang berlari dan tergesa-gesa. Ia menabrak, Zahra terlemlar dan bahunya mengenai pintu.
"Maaf, dek!" ucap suster itu ambil terus berlari.
Zahra mendecak kesal, tapi ia tak sengaja melihat sesuatu dari balik kaca ini. Seduatu yang benar-benar membuatnyaterbangun dari kantuknya. Yang membuat mata kecilnya melebar seketika.
Seseorang, di balik pintu ini. Sedan berdiri menatap ke luar jendela yang sedang terbuka. Rambut hitamnya yang lebat dan legam berterbangan tertiup angin. Sinar mentari menimpa rambutnya dan membuatnya berkilauan. Perlahan ia mulai berbalik dan menatap Zahra dengan mata biru besarnya yang bercahaya. Satu kata yang dikatakan Zahra, ''wow!''
***
Hati terasa sepi
Gelap malam menyelimuti
Ku duduk sendiri tanpa ada yang menemani
Mereka hanya bilang padaku, "Kau akan mati,"
Bunga dimeja sudah lama kering
Tubuhku tergeletak lemah tak berdaya
Hanya tinggal menunggu hari
Untuk pergi dari dunia yang kejam ini
Oh tuhan...
Jika kau izinkan aku
Ku ingin hidup satu kali lagi
Untuk melihat dunia penuh cahaya
Yang telah mereka renggut dariku
Untuk mengukir seuntai senyum
Dalam kenangan yang perihPasti suatu hari nanti aku akan pergi dari sini? Perlahan ku lipat kertas yang berisi puisi tadi menjadi sebuah pesawat mainan. Ingin kembali? Ingin pulang? Aku berdiri menuju tembok yang membatasi atap rumah sakit, tembok yang dibuat agar seseorang tidak terjatuh, tembok yang hanya sebatas pinggangku. Apa ku bisa menemukan tempat tuk pulang? Semoga orang yang tepat yang membaca puisiku. Ku terbangkan pesawat yang membawa semua kegelapan hatiku. Aku harus mengakhiri semua ini.
Namaku Shiragiku Lathyrus Odoratus. Nama yang sangat mengerikan bukan jika kau tahu artinya? Aku biasa dipanggil Shira gadis di jendela. Entah nama itu mereka dapat darimana. Seenaknya saja mereka memanggilku begitu tanpa meminta pendapatku. Salah satu kakiku mulai memanjat tembok ini. Aku ingin mengisahkan kisahku. Tentang seorang gadis yang sangat dibenci bahkan oleh keluarganya sendiri.
Aku punya saudara kembar, namanya Fujihara Elena. Nama yang jauh lebih cantik dariku bukan? Yah bisa dibilang walaupun kami kembar, kami sangat berbeda. Saudariku terlahir dengan kecantikan, kesehatan, dan kasih sayang. Keluargaku sama sekali tak melihatku saat itu, bahkan mereka bermaksud membuangku disaat itu juga. Ironis memang.
Mataku memandang seluruh pemandangan yang bisa kusantap untuk saat ini, saat terakhirku. Rambutku yang hitam berkibar terkena hembusan angin. Senyum dibibir kecilku mulai kembali terukir. Bisa kurasakan angin kebebasan ini. Akhirnya aku takkan lagi dibelenggu oleh rasa bersalah atas kelahiranku. Apa kalian ingin mendengar kelanjutan kisahku?
Sejak aku lahir, kondisiku sangat amat lemah. Sangat berbeda dengan saudari kembarku. Karena itulah, mereka membenciku. Satu-satunya yang merawatku sampai saat ini adalah abangku. Dia terus berusaha keras untuk membiayai perawatanku. Di umurnya yang masih kecil, dia sudah mencari pekerjaan kesana-kemari. Karena ia tahu, tak ada yang mengiginkanku. Bahkan nama keluargaku tak ditulis di akte kelahiranku.
Fujihara Allen, itulah nama abangku. Kami blasteran Jepang-Amerika. Aku sangat sayang dengan abangku. Tapi kuharap dia tak membantuku dan bekerja demi diriku. Karena dengan begitu, aku semakin dicaci dan dibenci oleh keluargaku. Mereka bilang aku anak pembawa sial. Makanya, kuputuskan untuk mangakhiri hidupku.
Sekarang aku sudah berdiri tegak diatas tembok tadi. Air mata mengalir membasahi pipiku. Akhirnya aku akan pulang kembali, kepada sang pencipta. Ku rentangkan tanganku dengan senyuman terukir di wajahku, karena aku tak mau mati membawa keputus asaan. Ini adalah awalbaru dalam hidupku. Ku pejamkan mataku.
"Maafkan aku, Bang Allen!" ucapku sambil perlahan ku jatuhkan tubuhku.
Tiba-tiba ada seseorang mendobrak pintu atap dia meneriakkan, "Shiragiku-chan!"
Siapakah gerangan? Yang telah meneriakkan namaku? Kenapa aku merasa tubuhku tidak jatuh. Perlahan ku buka kembali mataku. Aku benar-benar tidak jatuh. Aku dongakkan kepalaku keatas, seorang gadis sedang memegang tanganku. Berusaha menarikku keatas.
"Tenanglah Shiragiku-chan! Aku ada bersamamu!" ucap gadis itu serius.
Mataku membulat seakan tak percaya. Ternyata didunia yang kejam dan penuh kegelapan seperti dunia ini, ternyata masih ada orang baik didunia ini. Orang yang masih mau mengakui keberadaanku. Kutundukkan kepalaku dalam-dalam. Air mata mengalir begitu saja membasahi pipiku.
"Terima kasih!" tangisku penuh kebahagiaan.

KAMU SEDANG MEMBACA
DM 10 [COMPLETED]
SpiritualKenalkan, namaku Michaella zahra ammelia. Panggil saja aku zahra. Aku sangat pintar dalam mata pelajaran maupun olahraga. Tapi aku benar-benar bodoh dalam mengaji! Aku terkenal sebagai pembuat masalah di tempatku mengaji, Daarul Maghfirah yang disin...