Feel

20 13 0
                                    

"Akhirnya Pangeran dan Cinderella hidup bahagia, selamanya. Tamat."

Hari ini kami masih sibuk di Rumah sakit. Kami sudah berada disini tepat setelah pulang sekolah. Segera kami ke tempat kami masing-masing dan menunaikan tugas. Zahra sedang membaca buku cerita yang gambarnya muncul untuk anak-anak kecil dari berbagai agama. Nahwa, Nisa, Citra, dan Faiza belajar bersama anak-anak seumuran mereka yang dibantu Alvi dan Laras. Vira dan Nabila sedang belajar dengan para orang tua. Kalau aku?

"Kakak ini cara bacanya gimana?" Tanya seorang anak padaku.

"Ah! Ini cara bacanya sambil bersiul,"

Aku memeraktekannya dan langsung saja anak itu tersenyum gembira sambil terus mengungalangi cara pengucapan huruf yang aku ajarkan. Aku berpikir anak-anak itu simple banget, ya? Dunia mereka berbeda dengan dunia orang dewasa. Dunia mereka masih berwarna dan penuh dengan harapan. Tiba-tiba Zahra sudah ada tepat di sampingku sambil membawa buku dan tas plastik. Seketika anak-anak yang tadi berada di tempat Zahra kini telah mengerumuniku dengan wajah lugu mereka.

"Anggi tolong bacakan buku 'Half' ini untuk mereka, ya! Aku mau memberikan beberapa donat strawberry ini pada Shira."

Aku mengangguk dan segera mengambil buku itu. Setelah memberi buku itu ia pergi meninggalkanku dengan semua anak-anak ini. Melihat mata mereka yang sudah tak sabar, aku segera membuka buku itu. Aku agak terkejut dengan gambar yang keluar. Tapi setelah itu tidak lagi. Aku mulai membaca cerita itu sampai agak lama.

"Siapa yang menciptakanku? Dan kenapa? Dia mencoba mencari orang lain, tapi di kegelapan ini, dia sendirian. Tak ada seorangpun selain dirinya. Suatu hari, ia melihat sesuatu yang disebut manusia, sedang memerhatikannya. Dia tak memiliki sayap dan mata merah seperti dirinya. Tapi dia tersenyum hangat dan mengatakan bahwa ia mencintai diri...,"

Tiba-tiba suster datang di pertengahan cerita dan mengatakan bahwa kami harus segera pulang mengingat waktu. Semua anak-anak langsung menyerukan kekesalan mereka. Ku akui, aku juga menyukai buku ini. Aku menutup buku dan beranjak pergi. Tapi sebelum itu anak-anak itu memegangi lengan bajuku.

"Kakak kami mau dengar lanjutannya. Besok datang, ya!"

aku tersenyum dan mengangguk segera anak-anak itu berlompatan kesana kemari. Setelah itu aku langsung keluar dan menghampiri teman-teman yang telah menungguku di luar, dengan tetap mebawa buku itu. Akhirnya kami berjalan bersama. Tampaknya mereka juga gembira. Apa mereka tak tahu ujian imtas itu sangat mempengaruhi masa depan kami? Jika tidak lulus kami harus mengulang lagi dari Pra tk. Dan mereka masih bisa tertawa? Aku berhenti dan berbalik.

"Jangan main-main. Kalian terlalu banyak tertawa. Besok ketika kita berada disini tidak ada yang boleh bermain. Kalian harus serius! Fokus! Pokoknya jangan ada yang protes. Aku leader disini dan leader berkata sekarang waktunya mencari Zahra. Mengerti?"

"Kak Anggi kenapa?" Tanya nisa

"Aku bilang, mengerti!"

Mereka memandang satu sama lain dengan heran. Nisa hendak marah, tapi dicegat oleh Alvi. Akhirnya kami semua melanjutkan perjalanan dan memilih tetap diam. Di hati mereka masing-masing aku tahu mereka kesal. Tapi tak apa. Agar mereka lebih serius lagi. Tadi Zahra bilang ia akan ke ruangan Shira. Dimana, ya? Saat berpikir sambil terus menelusuri lorong, aku melihat Zahra dan Shira ada di balkon Rumah sakit. Segera aku memanggilnya, "Zah...,"

"Apa kau yakin kalian bisa lulus dalam ujian?" Tanya Shira sambil memakan donat yang sedang duduk di kursi roda.

Kata-katanya membuat kami terdiam dan aku mengurungkan niatku untuk memanggil Zahra. Begitu juga dengan Zahra. Akhirnya kami bersembunyi untuk mendengarkan percakapan mereka. Jujur kami semua juga tak yakin dan takut, tapi.

"Aku...," ucap Zahra memulai pembicaraan, "Aku hanya orang biasa. Bahkan tak ada yang suka padaku. Tapi mereka sudah begitu baik dan mau menerimaku. Aku ingin membalas kebaikan mereka. Untuk itu aku takkan pernah menyerah. Asalkan kami bersama," Zahra menatap Shira sambil tersenyum, "Kami ngga akan kalah dari siapapun"

Kata-katanya langung tertancap dihatiku. Kenapa ya rasanya sakit sekali. Dulu aku ngga mau terlihat lemah. Aku paling ngga mau membuat orangtua atau orang lain khawatir. Aku selalu bersikap sok kuat. Ibu selalu bahagia saat mengatakan aku begitu dewasa. Makanya aku selalu berusaha untuk tetap membuatnya bahagia. Saat aku menangis atau tertekan, aku selalu menyembunyikannya. Tapi semua berubah ketika aku bertemu mereka. Ternyata begitu, selama ini karena ada mereka makanya aku bisa jadi kuat dan tertawa lepas. Perlahaj air mataku mengalir membasahi pipiku. Laras memegang tanganku, "Ayo kita tunggu Zahra di depan gerbang.

"Tapi?"

"Kami tau kau tertekan. Kami juga begitu. Ngga usah sok kuat lagi. Pemimpin juga, perlu minta tolong, kan? Lagipula dari dulu kau kan cengeng." Goda Laras sambil tertawa.

Saat itu air mataku langsug tumpah. Dan buku itu, tetap ku bawa bersamaku. Aku terus menangis walaupun kami sudah sampai di depan gerbang. Ketika Zahra datang ia kebingungan dan bertanya-tanya apa yang terjadi padaku. Bahkan ia masih bertanya ketika kami berada di dalam mobil.

"Zahra! Boleh aku pinjam buku ini?" tanyaku pada Zahra.

"Tentu. Memangnya kenapa?"

Aku tersenyum seraya menaruh telunjukku di depan bibirku. Zahra merengek dan berkata bahwa ini tak adilKami tertawa bersama. Tak terasa kami sudah berada di depan masjid. Bahkan Salwa sudah berdiri menunggu Zahra daritadi. Zahra, Nisa, Citra, Faiza, Nabila, dan Nahwa mereka semua turun disini. Sedangkan kami berempat masih harus melanjutkan perjalanan.

"Kakak pulang telat lagi! Karena Shira itu, kan?" marah Salwa sambil memukul Zahra manja. "Pokoknya besok aku harus ikut! Seperti apa sih Shira itu."

"Whoa! Jangan, dong! Maaf adikku yang imut."

Ketika mobilnya akan berangkat, aku tersenyum sambil melambaikan tangan. Saat sudah jauh, aku berusaha memalingkan wajahku dari pemandangan di luar kaca jendela. Di otakku masih terbayang tingkah Zahra dan Salwa tadi. Enaknya jika memiliki adik seperti itu. Sedangkan aku harus menderita menjadi anak pertama kembar tiga dengan dua adik lelaki nakal, Fadli dan Fadhil. Yah, itu cerita untuk lain waktu.

***

Hari ini kami bermain di rumah sakit lagi. Anggi sepertinya sangat senang dengan buku yang aku pinjamkan untuknya. Ia membacanya dengan lantang di hadapan anak-anak. Aku da Shira sedang bermain ayunan. Belakang ini ia hanya menghabiskan waktunya untuk terapi dan tidur. Rambutnya yang panjang kini dipotong pendek sebahu. Kulitnya dan bibirnya semakin pucat. Aku memberhentikan ayunannya.

"Kamu, sedang tidak sehat. Iya, kan?" tanyaku hati-hati.

Ekspresinya langsung berubah. Ia memalingkan wajahnya lalu tersenyum kecil. Segera ia lompat dari ayunan dan hendak berjalan. Tapi baru beberapa langkah, ia langsung terjatuh. Spontan aku langsung menolongnya dan membawanya ke kursi rodanya yang tak jauh dari kami. Ku dudukkan ia perlahan.

Ia melihatku sambil tersenyum manis. "Kalau kamu ingin tau banyak hal, ambil saja buku di ruanganku. Disana ada semua hal yang harusnya kamu tahu."

Aku tak mengerti, tapi otakku menyuruhku untuk mengikuti perkataannya. Entah mengapa rasanya jantungku berdegup begitu kencang. Aku berjalan memasuki rumah sakit dan menyelusuri lorong demi lorong sampai akhirnya aku tiba di depan ruangan Shira. Perlahan aku membuka pintunya. Saat aku memasuki ruangan, aku menemukan buku yang Shira maksud diatas kasur dengan sebuah foto didalamnya. Saat aku mengambil dan melihat foto itu, aku seakan tenggelam.

DM 10 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang