"Dia biasa dipanggil Shira gadis di jendela. Dia sudah berada di rumah sakit ini sejak berusia lima tahun. Selain pandai menulis puisi, dia juga merupakan gadis tercantik disini. Aku kurang tahu penyakit apa yang dideritanya, kalau tidak salah... Penyakit terminal!"
Aku langsung kaget saat itu juga. Aku juga tidak terlalu tahu tentang penyakit terminal. Yang pasti yang aku tahu tentang penyakit ini, penderitanya tidak akan bertahan lama. Penjelasan Rizki tadi membuatku merinding hanya dengan mendengarnya. Dunia memang takkan pernah seindah surga. Padahal tadi aku sangat tertarik dengan Shiragiku. Tapi setelah mendengar ini, aku jadi semakin tertarik padanya.
"Lagipula...," Rizki menatapku, "Kenapa kamu diam mematung di depan kamarnya?"
"Eh....?" aku jadi salah tingkah, "A-aku...,"
Yah masa aku harus bilang, "Tadi ada suster ceroboh yang menabrakku. Yah karena saat itu aku lagi oleng, aku berputar dan menabrak gagang pintu. Tak sengaja aku melihatnya dari balik pintu dan mematung." aku pasti akan dimarahi jika berkata seperti itu. Tapi...
Sesuatu seperti pesawat tiba-tiba terbang dan mengenai kepalaku. Benda itu terjatuh tepat didepan kakiku. Aku menunduk dan memungutnya. Kertas yang cantik sekali. Aku melirik kekanan dan kekiri. Entah siapa yang melemparkannya padaku, tapi karena aku sangat tertarik, perlahan aku membuka dan membaca isinya.
"Apa itu?" tanya Rizki.
"Entahlah? Sepertinya kita harus membacanya untuk mengetahui apa isinya." Rizki mengangguk.
Zahra mulai membaca setiap kata yang tertulis diatas kertas itu. Sepertinya orang yang menulis ini benar-benar menumpahkan seluruh perasaannya lewat secarik kertas ini. Dilihat dari cara ia menuliskannya sepertinya ini sebuah puisi. Entah saat itu mimpi atau kenyataan perlahan-lahan setiap kata dalam puisi itu bergerak. Ketika Zahra sadar, ia sudah berada di ruangan kosong dan gelap.
"Rizki? Rizki!" teriak Zahra mengetahui Rizki sudah tidak berada disampingnya.
"Abu-abu...,"
Zahra kaget dan segera berbalik. Ia melihat seorang anak perempuan sedang tidur dengan selang oksigen terpasang menutupi mulutnya. Matanya yang sendu menjelajah ke luar jendela. Mencari tahu, apakah masih ada orang yang memikirkannya di luar sana. Tangannya mengusap bunga yang sudah kering di meja. Di tengah gelap malam yang sepi aku bisa merasakan hatinya lebih sepi dari malam yang sedang menyelimuti.
Siapa? Siapa dia? Pertanyaan kecil itu berulang kali bergema di otakku. Dengan tangannya yang kecil ia mengambil sebuah buku bersampul putih. Ia berusaha untuk bisa duduk dengan kekuatannya sendiri. Setelah berhasil ia menuliskan sesuatu disana. Perlahan aku berjalan mendekat dan melihat apa yang sedang ia tulis. Tiba-tiba ia menutup bukunya. Kepalanya menoleh ke arahku. Sambil tersenyum ia berkata, "Aku akan mati!"
Aku tersadar dan langsung terjatuh ke tanah. Nafasku tersengal-sengal dan tanganku gemetaran. Aku melihat kertas itu lalu berteriak kencang dan membuangnya. Aku mencoba untuk mengatur nalasnya. Entah apa yang terjadi barusan, tapi aku yakin puisi itulah penyebabnya.
"Kau masuk kedalam puisi itu, ya?" tanya Rizki
"Ia! Apa kau juga?" Rizki mengangguk yang membuat mataku berbinar. "Siapa yang membuatnya?"
Rizki menarik nafas panjang. "Ini hanya dugaanku," Rizki menatapku tajam, "Shira gadis di jendela!"
Mataku langsung bersinar cemerlang. Shira seperti kupu-kupu, kupu-kupu yang cantik. Terbang kesana-kemari dan hinggap di bunga dengan anggunnya. Tapi tidak banyak orang yang mengetahui hal ini. Bahwa seperti beberapa serangga lainnya, kupu-kupu itu hidupnya sesaat. Seperti kunang-kunang, setelah bertelur mereka akan mati meninggalkan keindahannya yang sesaat dalam memori kita.
Begitulah Shira. Rambutnya yang hitam panjang dengan mata biru yang berkilau seperti kuroyukihime dari accel world. Ia tak kalah cantik dari kupu-kupu colias corcea dan colias myrmidone dari daerah stepa. Wajahnya sangat teduh dilihat. Seperti keteduhan yang disajikan pohon filicium. Sosoknya benar-benar sangat langka dan jarang ditemui. Tapi seperti kupu-kupu lainnya, ia harus pergi dengan cepat.
Aku kembali melihat puisi kecil yang sepertinya sengaja diterbangkan. Puisi ini mungkin memiliki banyak sekali kekurangan. Tapi entah mengapa puisi pendek ini bisa membuat seseorang masuk kedalam dunianya. Anak kecil harusnya bermain dengan teman-temannya. Tapi Shira justru terkurung di rumah sakit tanpa bisa melakukan apapun. Yang ia bisa hanya melihat anak-anak seumurannya bermain di balik jendela, menunggu dan bertanya. Kapan ia bisa seperti mereka? Tapi ia tahu, jawabannya pasti tidak.
Melihat puisi ini hatiku menjadi tergerak. Seorang yang kesepian yang menangis ketika tersenyum, yang bahkan tak tahu apakah masih ada orang yang peduli padanya. Orang yang seperti itu memang memiliki paras menakutkan. Tapi jika kau berhasil memeluknya, kau dapat menemukan gemerlap permata di dalam dirinya.
"Zahra! Rizki!" teriak seseorang yang membuatku terkejut.
Dandi dan Ikhwan berlari menghampiri kami. Dari raut wajah nereka sepertinya mereka datang untuk memarahi kami. Mereka sampai dengan napas terengah-engah.
"Kalian ini! Kalian kemana-" ucapannya berhenti ketika melihat sepucuk kertas di tanganku.
Entah mengapa aku menjadi agak curiga. Padahal tadi Dandi akan marah-marah. Tetapi, begitu melihat surat di tanganku badannya langsung lemas tak berdaya. Ikhwan yang melihatnya langsung mengambil paksa kertas itu dari tanganku
"Hei!" seruku marah.
Ikhwan membaca kertas itu sebentar kemudian mengangguk. Setelah itu ia memberikan kertas itu pada Dandi dengan sedikit penyesalan. Dandi menatap kertas itu tanpa ada minat sedikitpun untuk membacanya. Melihat hal itu, tanganku bergerak cepat untuk mengambilnya tapi tangan Dandi bergerak lebih cepat untuk menghindarinya.
''kau tidak berhak membacanya!''
entah apa yang terjadi tapi aku sepertinya mulai menyadari ada hal yang aneh. tapi sebelum ku berpikir, terdengar teriakan kencang seseorang mencoba bunuh diri.
***
Selama ini aku hanya bisa duduk di tempat tidur, menunggu dan melihat di jendela. Berpikir, apakah masih ada orang yang menginginkanku di luar sana. Tapi setelah melihat mereka semua aku langsung sadar. Walaupun kau sendirian, masih ada yang menunggumu di luar sana. Aku melihat crepe strawberry yang tadi diberikan olehnya sebagai ganti karna telah menakan cheesecake strawberryku. Aku tak pernah tau ada makanan dengan rasa manis asam seenak ini.
Aku melihat sehelai foto yang ada di meja. Foto keluarga Fujihara ketika aku belum lahir. Ada bagian foto yang terbakar di tempat tepat wajah seorang anak perempuan harusnya berada. Benar juga? Kakakku pernah bilang kalau dulu ia mempunyai kembaran. Kalau tak salah namanya Fujihara Sakurako. Bunga sakura, ya? Seperti Kak Zahra saja, ucapku dalam hati sambil tersenyum.
"Akhir-akhir ini kamu sering tersenyum,ya?"
Seorang laki-laki berambut dan bermata coklat tersenyum dingin kearahku. Ia memakai syal abu-abu dengan bros bunga mawar di bagian bawah syalnya. Bukan karena dia marah padaku, itu karena dia memang memiliki senyuman seperti itu. Ia membawa cheesecake strawberry kesukaanku dan buket bunga mawar merah yang cantik. Ia duduk di sampingku sambil membaca buku bersampul hitam.
"Kak Rafli, kamu selalu repot-repot membawa kue, ya?"
"Ya ampun. sudah kubilang, kan? Panggil aku Abiyyu sekarang," katanya sambil tetap fokus ke bukunya.
"Bukannya kakak akan pergi ke Amerika, ya?"
"Hei, dengerin kalau orang lagi ngomong. Aku ngga jadi kesana untuk beberapa alasan. Jangan tanya apa alasanya! Lagian urusanku untuk mengetahui hubunganmu dengan Michaella belum selesai."
Aku tertegun dan langsung memalingkan muka. "Kamu benar-benar mencintainya, ya?"
Dia langsung menutup bukunya dan mengangguk penuh semangat. "Karena dia telah merebut hatiku. Hatiku yang paling tulus...,"
Hatiku langsung remuk. Aku melihat senyumanya yang beku telah berubah menjadi senyuman yang manis hanya karena menceritakan gadis itu. Selama ini, Kak Rafli sudah begitu baik padaku. Tapi aku malah... Aku melihat wajah Kak Rafli dan segera memalingkan wajahku. Aku tak mampu melihat wajahnya. Perasaanku jadi begini... Harus bagaimana, ya?
"Ada apa?" tanyanya tiba-tiba.
Aku mengangguk pelan. Apa tak apa, ya? Apa lebih baik begini. Aku... Meski aku mengunkapkan rasa sakit ini, Kak Zahra yang bagi laki-laki di sampingku adalah Michaella... Takkan pernah bisa kumiliki. Apa lebih baik begini? Tetap diam dan selalu bersamanya tapi menyakiti hatinya, atau bicara dan membiarkannya pergi bersama laki-laki di sampingku. Tapi aku tak ingin kehilangannya.
"Aku pulang dulu, ya!" ucapnya lalu berdiri menuju pintu. Ia membuka pintu dan hendak keluar, tapi ia berhenti sebentar. "Jangan menyembunyikan sesuatu dariku!" katanya lalu pergi begitu saja.
Meski ia berkata begitu, aku tak bisa berbicara. Payah! Bibirku, terasa kelu. Sebetulnya aku sangat ketakutan. Aku sudah menanti-nanti orang yang mampu merubah duniaku seperti Kak Zahra. Aku ingin lebih dekat dengannya, tapi aku takut. Aku takut aku menyesal karena tak memberitahunya tentang Kak Rafli.
Aku langsung menghempaskan diriku ke kasur. Kak Zahra dan Kak Rafli... Mereka sama-sama bersinar terang, ya? Cahayanya membuat kepalaku didera rasa sakit. Juga, cahayanya membuatku sadar aku tak pantas berada di antara mereka berdua. Aku seperti pluto, yang sampai kapan pun takkan bisa memiliki cahaya mereka. Untuk sekarang aku tak bisa mengatakannya. Biarlah Kak Zahra sendiri menyadari keberadaan Kak Rafli. Lebih baik begitu. Ya... Lebih baik begitu.. Ucapku lalu tanpa sadar, aku sudah tertidur pulas.
KAMU SEDANG MEMBACA
DM 10 [COMPLETED]
روحانياتKenalkan, namaku Michaella zahra ammelia. Panggil saja aku zahra. Aku sangat pintar dalam mata pelajaran maupun olahraga. Tapi aku benar-benar bodoh dalam mengaji! Aku terkenal sebagai pembuat masalah di tempatku mengaji, Daarul Maghfirah yang disin...