Untitled part

25 15 0
                                    

Kriing!!! Alarm ku berbunyi keras sekali! Aku langsung bangun tanpa tidur lagi. Kulihat kalender yang terpampang dikamarku. Tanggal 2 februari... Kalian tahu ini tanggal apa? Hari ini aku ulang tahun yang ke-12! Aku menuruni tangga melihat kekanan dan kekiri.
"Ibu! Salwa! Ayah!" teriakku memanggil mereka.
"Ah!" aku kecewa.
Kuhitung ulang tanggal hari ini. Benar ini tanggal dua... Bagaimana mereka bisa terlambat bangun dihari ulang tahunku? Aku berjalan malas kembali ke kamarku. Tiba-tiba...
DUAR! DUAR! DUAR! Aku kaget sekali. Ada suara balon meletus dari belakangku. Aku menoleh kebelakang. Dibelakang ku telah ada seluruh keluargaku yang sedang tertawa melihatku. Ternyata keluargaku telah merencanakan surprise, untukku! Aku senang sekali! Sebetulnya lebih banyak kesal, sih.
Ibu membawa kue segiempat black forest dengan tulisan "Zahra birthday 12." dengan lilin angka dua belas. Ibu berjalan menghampiriku dan menyodorkan kue itu padaku.
"Buat harapan, habis itu tiup lilinnya kak!" seru Salwa.
Aku menutup mataku dan memikirkan sesuatu yang sangat aku harapkan. Ku harap... Aku bisa secepatnya memiliki sahabat! Perlahanku tiup lilinnya. Sekali tiup ludes semua lilinnya. Semua orang bertepuk tangan.
"Ini hadiah dari aku, kak!" kata salwa sambil membawa sebuah makanan dari dapur.
Aku begitu bahagia melihat Salwa membawa makanan itu. Mataku terbelalak, "Nasi padang!" seruku. Aku langsung menyambar dan memakan nasi padang itu.
"Nih! Hadiah dari ayah" kata ayahku memberiku komik terbaru.
Kue, komik, dan nasi padang? Hari ini adalah hari terbaik. Tapi hariku tidak sampai di situ saja. Hari-hariku disekolah juga berjalan luar biasa! Teman-teman memberiku banyak ucapan, mereka juga agak pusing. Karena yang ulang tahun sekarang ada dua orang, Aku dan Fitroh.
"HBD ya Zahra!" ucap Fitroh sambil menyalimi ku.
Aku mengangguk. "Iya! Kamu juga, ya!" balasku
"HBD ZAHRA! Ini hadiah dari kami berdua." ucap Haya dan kak dhea bersamaan.
Haya memberiku jam tangan digital dan kak dhea memberiku sebuah diary hello kitty  berwarna merah. Pokoknya ulang tahun hari ini asik banget! Tapi kesenangan itu langsung memudar ketika aku teringat tentang penempatan kelas Qira'ati.
Setelah pulang sekolah, aku langsung menghempaskan diriku ke kasur. Entah kenapa aku jadi sangat malas bergerak, mungkin karena ingat itu. Aku pasti mendapat kelas bengkel. Dan kalau ia aku mendapat kelas bengkel, akan lebih banyak orang yang mengejekku.
Aku melihat ke langit-langit dinding kamarku. Aku jadi teringat penyebab aku ketakutan memulai persahabatan hingga sekarang. Tapi aku membuang semua ingatan itu.
Aku bangun dan langsung mengganti baju seragamku dengan baju biasa. Aku duduk dimeja belajarku, kubuka bukuku lalu Aku mengerjakan pekerjaan rumahku. Setiap detik terasa seperti satu jam! Aku menutup pekerjaan rumahku lalu melihat ke arah jarum jam.
"Jam setengah empat...," Ucapku.
Perlahan Aku bangkit dari meja belajarku. memutuskan untuk segera mandi dan bersiap pergi ngaji. Entah sudah berapa kali Aku menghela nafas, rasanya dunia sedang tidak berpihak padaku.
"Ibu! Zahra pergi ngaji dulu ya, bu!" pamitku
Aku mencium punggung tangan ibuku lalu berjalan gontai keluar rumah menuju masjid. Aku benar-benar malas, Aku berjalan seperti orang yang sudah bosan hidup. Ibuku hanya menggelengkan kepalanya melihatku.
"Kak Zahra!" sapa sesorang dari belakang.
Aku berbalik kulihat dua orang anak berpakaian seragam masjid DM berlari kearahku. Anak-anak itu berlarian menghampiriku. Mereka adalah Nahwa dan Citra. Nahwa berlari lebih cepat dari Citra, sehingga dia lebih dulu sampai di dekatku.
"Kakak pergi sendirian?" tanya nahwa yang telah berada disampingku dengan agak sedikit terengah-engah.
Aku mengangguk, "Memangnya kenapa?" tanyaku.
"Ngga ada. Nanya aja, sih." kata awa sambil tertawa terbahak-bahak, "Kakak ngga marah sama Awa, kan?" tanya Nahwa lagi.
Citra yang akhirnya telah menyusul kami, langsung menyeletuk, "Awa, ini! Ngga mungkin lah, Kak Zahra yang cantik ini marah. Kak Zahra kan sudah cantik, lembut, baik lagi! Apalagi sama cewek kece kayak kita. Iya, kan kak?"
Aku tersenyum lalu menggelengkan kepala. Dua anak ini memang paling jago kalo di suruh ngambil hati orang. Mereka juga tidak pernah diam dan selalu ribut. Walaupun begitu baru kali ini kami berjalan bersama-sama.
"Iya...," jawabku lembut.
"Yeiy! Sayang.... Kakak!" ucap Nahwa sambil memeluk lenganku
Akhirnya kami bertiga. Aku, Nahwa, dan Citra jalan beriringan. Jalan bersama mereka sangat menyenangkan! Kita tidak akan pernah berhenti tertawa bila bersama mereka. Ketika kami sampai dimasjid, Nahwa dan citra buru-buru melepaskan sandalnya. Dan menarik tanganku.
"Ayo Kak..." ucap Nahwa.
"Ih..! Kak Zahra ini jalan lama buanget!" kata Citra agak alay.
Aku menurut saja ajakan mereka. Aku mengikuti mereka kemana saja menarikku. Sampai akhirnya kami tiba didepan papan besar. Aku kagum sekaligus heran melihat papan aneh itu. Aku menatap Nahwa dan Citra yang tidak berhenti berlompatan kesana-kemari.
"Apa ini?" tanyaku pada mereka.
"Penempatan kelas Qira'ati!" kata Nahwa santai.
Aku kembali tak bersemangat. Kutatap perlahan papan tak berguna itu. Karena aku tau pasti aku mendapat kelas bengkel, kulihat namaku dari paling bawah. Nahwa dan Citra kelihatannya senang sekali. Tentu saja mereka senang, mereka itu termasuk murid terpintar yang pernah dimiliki.
Nahwa mencari namanya. Tiba-tiba Ia kelihatan sangat gembira, "Lihat! Namaku paling pertama!" kata Nahwa sambil menunjuk namanya, "Qira'ati 4, kelas... Pak fathur!"
"Ih...! keren banget! mana nama citra, ya?" seru Citra bersemangat sambil mencari-cari namanya, "Nah... Itu dia! Nomor 7! Citra sekelas sama Nahwa! Yey!" Citra dan Nahwa meloncat-loncat gembira lalu, Mereka berdua melihatku.
"Gimana, kak! Dah ketemu?" tanya Nahwa dengan senyum penuh arti.
Aku menggeleng. Aku kembali melihat papan itu lagi dengan frustasi. Nahwa dan Citra ikut membantuku. Tiba-tiba Citra berteriak.
"Ada!" katanya sambil menunjuk kearah papan.
Aku dan Nahwa langsung mencari nomor yang ditunjuk Citra, "ia kakak... Itu kedua dibawah Citra kak!" seru Nahwa
Aku tersentak. Hah? Dibawah Citra? Ah, masa sih. Kulihat dua nomor dibawah Citra Ternyata benar! Aku nomor 9 Qira'ati 4! Aku mengusap mataku tak percaya.
"Beneran, nih?" tanyaku memastikan. Nahwa dan Citra mengangguk
"Beneran kak! Nama kakak disitu. " kata Nahwa meyakinkanku.
"Ih... Citra ngga percaya, deh! Kakak sekelas sama Citra. Kita bisa main bareng kak!" kata Citra terlalu jujur.
Aku melihat kearah Citra dan mengangguk, "Kamu ngga percaya? Sama aku juga!" ungkapku.
Aku agak bingung dan kembali melihat papan itu. Apa punyaku ketukar ya? Atau gurunya lagi linglung? Ah, sudahlah! Aku tersenyum bahagia. Hari dimana aku ulang tahun ini benar-benar sangat menakjubkan! aku jadi bertanya tanya, apakah hari akan berakhir menakjubkan juga?
***
Aku, Nahwa, dan Citra berlari menuju kelas Qira'ati 4. Kelasnya tidak terlalu jauh. Berada bersebrangan dengan tempat wudhu. Hari ini pertama kali kami menggunakan metode Qira'ati. Jadi, kelas tertinggi adalah kelas Qira'ati 4.
"Assalamu'alaikum!" seru kami bertiga dari luar sambil mengetuk pintu.
"Wa'alaikumussalam." jawab beberapa orang dari dalam.
Citra dan nahwa segera memilih tempat duduk pertama dari depan. Sedangkan aku terdiam didepan kelas bingung harus duduk dimana. Tiba-tiba Nabila melambaikan tangannya.
"Kakak! Duduk sama nabila aja!" panggil Nabila sambil menujukkan tempat duduknya.
Akhirnya aku duduk disana. Aku melihat sekeliling. Jumlah murid disini ada sepuluh orang. Ada Aku, Nahwa, Citra, Nabila, Anggi, Alvi, Laras, Faiza, Nisa, dan Vira. Mereka semua terlihat sangat adalah murid paling cerdas yang sangat di banggakan masjid ini. Aku menjadi canggung sekali.
"We, aku bawa sesuatu lho!" seru laras sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
Nabila mengintip "Bawa apa, sih kak?" tanya Nabila penasaran.
"Tara!" Laras mengeluarkan sebuah iphone apple dari tasnya. Semua orang terpesona melihatnya. Tapi Aku tidak. Bagiku semua hp sama saja. Aku mengeluarkan pensil dan buku sketsa dari tasku untuk melawan rasa jenuhku.
"Wah! Bagus, sekali kak!" kagum faiza. "Beli dimana?"
"Bagus, kan?! Aku ngga tau beli dimana. Habisnya, mamaku yang beliin ini untukku. Mamaku keren, kan? Padahal baru tadi aku, bilang. Eh, ternyata langsung dibeliin. Ini asli, lho! Ngga kw. Harganya palingan cuma 30.000.000 aja," pamer Laras panjang lebar.
Teman-temanku cuma melihat satu sama lain lalu mengangguk dan "Ber-oh!" ria.
Anggi merasa agak bosan, "Ia... Bagus...," jawab Anggi lalu melihatku, "Zahra! Lagi apa?" tanyanya sambil menghampiriku.
Aku kaget "Hm?"
Anggi melihatku sedang menggambar seseorang di pinggir danau. "Wah! Cantik banget! Zahra kamu pintar gambar, ya? Kok kamu ngga bilang-bilang sih?"
Orang-orang yang mendengarnya langsung menghampiriku. Mereka semua kagum dengan lukisanku.
"Cantik bangeet lho, kak!" seru Faiza kagum. Yang lainnya mengangguk setuju. Mereka rebutan untuk melihat lukisan itu. Aku sampai bingung karenanya.
"We! Mau lihat fitur yang ada di iphone ku, ngga?" teriak Laras mencari perhatian.
Tapi semuanya tidak ada yang mempedulikannya. Mereka sibuk mengagumi gambar ku. Laras mendecak kesal. Ia menatap Zahra sinis. Awas, ya! Kamu zahra! Gumam laras dalam hati.
"Isti'dadan!!!" seru Guru tiba-tiba.
"Woi, woi, woi. Dah baris, lho!" kata Alvi mengingatkan.
Di masjid kami memang begitu. Sebelum mengaji, kami harus baris terlebih dahulu. Saat baris kami akan membaca surat pendek, hadist, dan do'a. Memang capek, tapi menyenangkan sekali. Kami perlahan berdiri satu-persatu.
"Ayo! Kita kesana bareng!" usul Anggi.
"Ayo!" seru kami semua
Kami semua mengangguk dan langsung berlari berhamburan keluar. Tapi Laras masih diam didalam. Anggi yang melihatnya merasa bingung dengan tingkah Laras yang aneh.
"Laras? Ngga mau baris?" tanya Anggi.
Laras menggelengkan kepalanya, "Ngga aku nanti dulu. Aku mau nyimpan hp ku dulu." jawab Laras.
Anggi menatap laras agak curiga. "Ya, sudah! Aku duluan, ya" kata Anggi sambil menutup pintunya perlahan.
Laras mengangguk. Setelah Anggi pergi, laras tersenyum licik. Lalu dia melihat tas Zahra. Ia celingak-celinguk melihat apakah keadaan sekitar sudah aman. Ia punya rencana jahat!
***
Setelah selesai baris, kegiatan dilanjutkan dengan mengaji membaca satu-satu, sesuai dengan urutan prestasi yang kita kumpul. Anggi dan Nahwa sangat bagus sekali membaca Qira'ati. Ngga ada bacaan yang salah atau huruf yang melenceng. Aku harus lebih banyak belajar dari mereka berdua. Oh, iya! Bacaan Qira'ati berbeda dengan bacaan yang lain. Bacaan Qira'ati adalah bacaan sesuai dengan kaidah fasohah, ghorib, tartil, dan tajwid
Setelah selesai mengaji, kami semua membaca doa selesai belajar dan do'a mau pulang.
"Allah rahmati kami dengan al-qur'an... Jadikan ia. Pimpinan, cahaya. Petunjuk dan rahmat. Allah ingatkan kami. Apa yang terlupa. Ajarkanlah. Yang tak di ketahui. Rizqi kan kami membacanya. Siang dan malam, siang dan malam. Sepanjang siang dan malam. Jadikan ia penolong kami. Ya rabbal a'lamin."
"Beri salam." seru Pak Fathur.
"Assalamu'alaikum warra matullah hiwabarakatuh" jawab kami.
"Wa'alai..." omongan Pak Fathur terputus karena kehebohan Laras
"Ih, dimana ya? Dimana? Kok ngga ada? Mampuslah aku ngga dijemput, nih, " katanya sambil mencari sesuatu.
"Kenapa Kak?" tanya Vira bingung.
"Iphone ku... Hilang! Gimana, nih. Nanti Ibuku ngga jemput aku?" paniknya.
Kami semua menjadi ribut karena dan kebingungan. Aku diam saja, perasaanku ngga enak. Kulihat laras yang lagi heboh. Ah! Kenapa dia selalu membuat masalah disaat aku sedang senang seperti ini, sih? Tiba-tiba Laras menatapku tajam.
"Ini pasti kamu, kan Zahra!" katanya sambil menunjukku
Aku tersinggung. Mencuri? Aku ngga akan pernah berbuat hal serendah itu, "Atas dasar apa kamu menuduh Zahra?" tanyaku.
Laras berlagak sombong dengan berkacak pinggang, "Kamu itu iri, kan sama aku? Makanya kamu mencuri hpku diam-diam. Ditambah rekor kamu sebagai pembuat masalah, memungkinkan kamu melakukan hal itu," ucapnya panjang lebar
Mungkin ini yang dinamakan iri? Zahra benar-benar naik pitam karenanya. Zahra menggebrak meja dan menatap Laras dingin. Semua orang ketakutan melihat Zahra. Zahra bisa saja sabar, tapi Laras sudah keterlaluan.
"Kamu, tuh ya! Benar-benar luar biasa. Aku memang pembuat masalah. Tapi aku setidaknya bukan anak manja tukang pamer kayak, kamu!" bela Zahra.
"Tuh, kan! Dia iri sama aku!" seru Laras berlagak sok tahu.
Aku mengambil tas ku, "Terserah kalau kalian ngga percaya. Tapi insyaallah, aku ngga akan berbuat senaif itu."
Aku mengeluarkan seluruh isi tasku. Kugoncang-goncangkan tasku. Buku, pensil, pena, semuanya keluar dari tasku. Bruk! Keluar sesuatu. Ngga mungkin? Sejak kapan? Semua orang mentap ke arahku.
"Tuh, kan benar! Dia yang telah mencuri hp ku! Bergaya sok alim ternyata kamu memang pencuri! Kamu itu pembuat masalah, tahu!" katanya mencaci maki diriku.
Aku menggeleng, "Bukan! Ini bukan aku. Aku ngga tahu ada barang menjijikkan itu di tasku," ucapku jujur membela diriku.
Semua orang terdiam. Mereka menoleh satu sama lain. Mereka ditimpa kebingungan. Bingung, harus memilih siapa yang benar. Bisa saja Zahra yang benar, bisa juga Laras. Kedudukan Laras dan Zahra itu sama. Sama-sama orang nyebelin. Laras tukang pamer yang haus pujian. Sedangkan Zahra terkenal sebagai anak pembuat masalah.
"Kalian percaya, kan sama Zahra?" tanyaku meminta pembelaan
Semuanya masih saja diam dan menunduk. Mereka tak berani membelaku karena reputasiku. Badanku jadi lemas, Aku sangat kecewa melihatnya. Baru saja kukira aku akan meniliki teman. Ah, tidak! Aku yang salah. Aku lupa bahwa tidak ada yang namanya teman.
"Sudahlah Zahra! Bukti sudah ada didepan mata! Jangan kamu menyangkalnya!" celetuk Laras.
Aku terdiam. Tanganku mengepal erat, Tapi kutahan. Aku tidak mau reputasi ku sebagai pembuat masalah bertambah. Kupungut bukuku yang tadi sengaja aku jatuhkan. Lalu Aku berjalan kearah pintu. Zahra memikirkan sesuatu, lalu berbalik melihat temannya.
"Makasih, ya. Telah menjadi kenangan indah yang telah menyakiti hatiku." kataku sambil menitikkan air mata. Lalu berlari secepat mungkin
Bodoh! Bodoh! Bodohnya aku. Harusnya aku tau ngga akan ada yang mau berteman denganku? Aku terlalu berharap. Aku tak sadar ada batu di depanku. Aku menabral batu itu dan terjatuh. Memangnya siapa, sih aku ini? Yang orang tahu aku hanyalah pembuat masalah. Perlahan aku bangun dan kembali berlari. Aku benci! Benci hidupku!
Kuberlari secepat mungkin supaya aku tiba dirumah dengan lebih cepat. Hatiku benar-benar retak. Kubuka pintu rumahku perlahan. Ibu yang melihatku sangat kaget karena Aku sampai di rumah dengan menangis.
"Lho Zahra? Sudah pulang?" tanya Ibuku.
"Ibu...," aku menangis. Air mata mengalir dipipiku.
Ibu langsung berjalan menghampiri ku. Ibu memegang pipiku melihat apakah ada luka di wajahku, "Lho? Kok nangis? Ada yang mukul kamu?" tanya Ibuku kawatir.
Aku langsung memeluk Ibuku, "Hiks! Ibu... Ngga ada yang percaya sama Zahra, hiks! M-mereka hanya me-mengetahui k-kalau Zahra itu hanya pengganggu saja! Ngga lebih! Hiks! Hiks!" isakku didalam pelukan Ibuku.
Ibuku sepertinya mengerti apa yang sedang kurasakan, "Sudah! Sudah! Jangan nangis lagi. Ibu yakin mereka hanya salah paham saja...," kata Ibuku sambil mengelus kepalaku.
Ibuku menenangkanku. Ibu membuatkanku secangkir coklat panas dan membawaku kekamarku. Menemaniku sampai aku tertidur lelap. Dihatinya, Ibu sangat khawatir padaku.
***
Anggi dan Laras menunggu bersama di warung Kak Rahmi. Anggi melihat Laras sibuk nge-chat dengan iphone nya. Sebetulnya Anggi ingin menanyakan pertanyaan yang daritadi terus saja mengganjal di hati kecilnya.
"Laras!" panggil Anggi.
"Hm?" jawab Laras santai.
Anggi menghela nafas "Aku mau kamu jujur sama aku. Aku sahabat kamu dari kecil. Jadi, aku tau beberapa tentang dirimu. Kau yang sengaja melakukannya, kan?"
Laras tertegun dengan kata-kata anggi. "Apa, sih? Ngga mungkinkan aku yang menaruhnya?" elak Laras.
"Kamu, tuh. Zahra buat apa, sih. Sampai kamu ngelakuin itu? Kalau kamu seperti itu terus... Nanti, ngga ada yang mau berteman sama kamu, lagi" kata Anggi menasihati.
Laras melihat Anggi, "Ia. Aku yang ngelakuinnya. Kalau dibiarkan... Kalian ngga akan mau memperhatikan aku lagi" ucap Laras yang akhirnya mengakui ulahnya.
Laras kembali lagi memainkan iphone yang bagi anggi pembuat masalah ebih besar dibandingkan zahra. Tapi ia lebih kecewa lagi dengan shabatnya. Mereka sudah berteman sejak kecil. Mungkin Laras memang jahat. Tapi baru kali ini Laras melakukan hal selicik itu.
"Aku ngga percaya kamu lakuin itu." ucap Anggi kecewa. "Kamu harus minta maaf sama Zahra," kata Anggi lalu pergi.
Laras terus saja menatap sahabatnya yang semakin lama semakin menjauh itu. Sedangkan Laras duduk diam karena kesal. Sahabatnya sendiri menghiraukannya. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
***
"Zahra! Ayo makan!" kata orangtua ku sambil mengetuk pintu kamarku.
Tapi aku diam tak menjawab. Teriakan mereka justru semakin membuatku bersembunyi di dalam selimut. Orangtua ku sangat khawatir karena aku tidak keluar-keluar.
"Kenapa Zahra, bu?" tanya Ayahku cemas
Ibuku agak gugup, "Ibu juga ngga tau, yah! Tapi tadi, tiba-tiba dia pulang ngaji dalam keadaan menangis. Mungkin itu masalah pertemanan lagi." jelas Ibuku
Ayahku sangat cemas dengan kelakuanku, "Gimana kalau kita pindah kerumah lama kita, bu? Kalau dibiarkan Zahra bisa stres lama-lama." usul Ayah.Ibuku mengangguk. Tapi rasanya Ibu agak kurang setuju dengan usul Ayahku
***
Aku keluar perlahan dari pintu, celingak-celinguk melihat kekanan dan kekiri. Zahra tidak mau membangunkan orang rumah. Ia berjalan turun perlahan menuruni tangga.
"Zahra! Kamu lapar, ya?" tanya ayah tiba-tiba
Aku menoleh dan mengangguk lemas. Ayah langsung memanggil ibu dan menyuruhnya membuat makanan untukku. Ayah menanyakanku dengan berbagai pertanyaan aneh.Ibu memasakkanku nasi goreng dan telur mata sapi setengah matang untukku. Lalu menyediakannya untukku. Aku memakan semua itu dengan lahap. Ayah menatap ibu lalu mereka berdua mengangguk pelan.
"Zahra. Ayah ingin bicara sesuatu padamu," ucap Ayah sambil memandangku penuh arti "Ini tentang dirimu."
Degh! Jantungku berdegup kencang. Jangan-jangan ayah...
***
"Kalian tau ngga? Tadi... Pas aku pergi kemasjid, aku nengok orang gila lho... Dia gendong boneka... Dia bilang "Anakku! Jangan ambil anakku" katanya sambil nengok aku. Baru tuh aku dikejar tau, Kak! Ih, aku takut banget waktu itu." cerita Nisa panjang lebar.
Kami semua tertawa bersama. Bukan karena ceritanya lucu. Tapi dia yang ceritain sambil praktekin ceritanya. Pak Fathur tiba-tiba masuk kekelas. Dan langsung duduk didepan kami. Anggi tampaknya sedang celingak-celinguk mencari seseorang.
"Pak!" seru Anggi sambil mengangkat tangan.
"Apa Anggi?" tanya Pak Fathur.
"Zahra dimana, ya Pak?" tanya Anggi. Pak Fathur menggeleng.
"Sia ngga masuk, ya?" kata Pak Fathur balas nanya lalu mengangguk
Anggi menatap Laras kesal. Ia mengambil tasnya lalu pindah ke samping nabila. Laras menatap Anggi, sepertinya Anggi benar-benar kesal dengannya. Apa yang dilakukannya begitu berat hingga Anggi semarah itu? Biasanya Anggi tidak pernah seperti itu.
"Lho? Kok pindah nggi?! Lagi berantem ya?"
Anggi dan Laras hanya diam saja tanpa menjawab sepatah katapun. Pak Fathur menjadi bingung berasa di tengah mereka berdua. Laras sama sekali ngga mau mengakui kesalahannya. Tapi dia juga ngga mau sahabatnya menjauhinya. Kelas mengaji dimulai seperti biasa. Kelas ini rasanya ada yang kurang tanpa kehadiran Zahra
Setelah kelas selesai dan pak fathur pergi, Anggi memberikan komando pada teman-temannya, "Jangan pergi dulu!" seru Anggi. Semua mata menuju kearah Anggi. Mereka menatap anggi bingung
"Kenapa? Bukannya ini waktunya kita pulang, Kak?" tanya Faiza.
Anggi menggeleng, "Masih ada sesuatu yang harus kita lakukan sebelum pulang," ucap Anggi.
"Hah?" teriak semua orang.
"Kita harus minta maaf sama Zahra. Kenapa? Karena kita sudah salah sama dia!" tegas Anggi.
"Maksudnya?" tanya Nabila tak paham.
Anggi melihat laras. Laras yang melihat tatapan Anggi sepertinya langsung mengerti maksud Anggi sebenarnya. Meskipun dengan berat hati tapi...
Laras menatap semua temannya, "Teman-teman. Maafin aku, ya. Sebetulnya... Aku sendiri yang telah menaruh iphone ku ditas Zahra." ucap Laras sambil menunduk.
"Tapi kenapa, Kak?" tanya Citra tak percaya.
Laras memandang kami semua, "Aku takut... Kalian lebih memperhatikan Zahra dibandingkan aku"
Nahwa tertawa, "Apa, sih Kakak ini? Kami tetap sayang kok sama Kakak. Kami memerhatikan Kak Zahra karena lukisannya bagus, dan bukan berarti kami ngga peduli lagi sama, Kakak!" kata Nahwa jujur.
Semua orang mengangguk mengiakan kata-kata Nahwa. Mereka semua langsung memeluk Laras sambil tertawa bersama. Anggi senang melihat keakraban temannya. Lalu mereka melepaskan pelukan persahabatannya.
"Kalau begitu ayo kita kerumah kak Zahra! Lets go!" seru Nisa.
"Ngga bisa gitu dong!" celetuk Alvi.
"Kenapa?" tanya semua orang.
"Zahra pasti masih marah sama kita. Lagipula kita harusnya cari tau dulu kenapa Zahra ngga masuk. Pasti ada alasan yang jelas."
Semua orang mengangguk. "Tapi... Siapa yang paling tahu tentang Kak Zahra?" tanya Vira.
Semua terdiam dan memikirkan orang yang tepat. Sesuatu muncul dikepala Anggi, "Ada!!!" kata Anggi sambil memetikkan jari, "Ikut saja aku"
Anggi segera berlari ke luar kelas. Semua orang saling berpandangan lalu mengangkat bahu dan mengikuti Anggi dari belakang. Entah apa sebenarnya yang ada di pikiran Anggi.
***
Anggi terus berlari sampai akhirnya Ia berhenti. Mereka sampai di depan rumah besar berwarna ungu dengan pagar alumunium, di halaman rumah itu banyak sekali tertanam bunga-bunga cantik yang harum dan sedap di pandang. Mereka semua memandang rumah cantik itu. Faiza kelihatan bingung sekali, Ia memandang Anggi.
"Kakak yakin ini rumah orang yang tau tentang Kak Zahra?" tanya Faiza.
Anggi mengangguk. "Yah... Memangnya kenapa?"
"Ini kan rumah Bang Ramzi. Tau apa Bang Ramzi tentang Kak Zahra?" tanya Faiza semakin bingung. Anggi menggunakan matanya mengatakan sudah! Daripada banyak omong Lihat saja lah.
"Woi!! Ramzi Pradipta Aditya!!!" teriak Kak Anggi kencang-kencang.
Seorang anak laki-laki memakai sarung hijau kotak-kotak dan kaos oblong hitam, keluar dari rumah. "Oh, Anggi. Ada apa Anggi?" tanyanya sambil berjalan menuju pagar.
"Kamu tau banyak hal tentang Zahra, kan?" tanya Anggi.
Ramzi mengangguk, "Yah... Kami sudah berteman sejak kecil. Dan kami satu tk juga. Memangnya kenapa?"
Anggi melihat Faiza dengan ekspreksi betul kan yang kakak bilang. Faiza hanya menggaruk kepalanya. Ramzi memang sahabat kecil Zahra. Tapi entah mengapa semakin lama hububgan mereka semakin memburuk kerena kepergian Rafli. Padahal dulu mereka bertiga sangat dekat sekali. Dulu waktu kecil Anggi pernah sekelas ditempat ngaji dengan mereka. Makanya, Anggi lumayan tahu banyak.
"Kamu tau sekarang dia berada dimana? Dia ngga masuk ngaji. Kami sangat khawatir," ucap Anggi serius.
Ramzi mengangguk sekali lagi, "Tau. Tadi ada mobil didepan rumahnya. Kata orang, sih. Dia mau pindah karena stres gitu?" jelas Ramzi sambil sedikit mengigat.
"Hah?! Pindah! Kemana?!" teriak kami semua tiba-tiba yang membuat Ramzi kaget.
Semua orang saling menatap satu sama lain. Hanya Nisa dan Nabila saja yang setelah itu tertawa mendengar ucapan Ramzi. Kak Zahra bisa stres juga ternyata, ya? Mereka berdua memang memiliki pemikiran yang lain sendiri dan terkadang pemikiran mereka memang aneh. Tapi sekarang bukan saatnya untuk membicarakan hal itu.
"I-iya... Katanya sih, mereka sebentar lagi mau kebandara," ucap Ramzi agak takut.
"Kapan kamu dengar itu?" tanya Laras.
"Barusan saja. Ketika dia sedang naik mobil."
Tanpa menunggu lama, kami semua langsung berlari kedepan pintu gerbang perummnas yang jaraknya jauh... Sekali dari masjid. Memang kalau kepepet kadang-kadang kita sampai melupakan banyak hal. Sesampainya kami disana, kami langsung menyetop sebuah angkot.
"Kebandara, Pak! Cepat!" seru Nahwa.
Pak angkot melihat kami bingung "Emang mau ngapain sih, Dek?" tanyanya.
"Ih... Oom ini! Udah gaswat darurat masih nanya aja! Kalau kelamaan kami bisa kehilangan Kakak kami! Ngerti ngga sih, Om! Huuh...," omel Citra.
Supir angkot itu sepertinya sangat kaget ,"Kalau gitu kita kebandara dengan kecepatan penuh." supir angkot itu langsung memakai topi hitam, kacamata hitam, dan menghidupkan musik reff.
"Pegangan apapun erat-erat ya!" pinta supir angkot itu.
"Ih... Apa sih Oom in..., " belum selesai bicara Citra terhenti. Ia terpental karena supir angkot itu nge- gas tiba-tiba.
"Yey!!!" teriak Nahwa, Nisa, Nabila, dan vira kegirangan Sedangkan Anggi, Laras, dan Alvi hanya tertawa melihat mereka. Citra terduduk diam. Ia baru sadar ia mabuk darat. Mereka bergerak sangat cepat menyelip diantara mobil-mobil yang ada. Tapi mereka berhenti dilampu merah.
"Yah... Kok berhenti sih, Om!" kata Nisa sedikit kecewa.
"B-b-bagus... A-aku mau i-is-istirahat dulu!" kata Citra dan langsung pingsan.
Semua orang menatap Citra sinis. Padahal tadi dia yang reseknya bukan main. Tetapi malah dia yang pertama teler ditempat. Faiza yang duduk didekat jendela kelihatan asyik memandangi mobil sambil menghitung sampai lampunya hijau. Tapi ia merasa tak asing ketika melihat seseorang di dalam mobil yang tak jauh dari angkot mereka.
"Kak! Kakak! Itu Kak Zahra!" seru Faiza tiba-tiba.
"Mana?" tanya semua orang.
"Itu, tu! Yang mobilnya warna merah! Paling depan!" heboh Faiza sambil menunjuk mobil yang ia maksud
Semua orang tersenyum bahagia. "Oh, iya! Oom nanti ikutin mobil itu ya, Om!" pinta Alvi.
Supir angkot itu langsung mengacungkan jempolnya. Semua orang segera mengangkat tangannya dan mengucapkan syukur berkali-kali. Tepat saat lampu hijau, angkot itu langsung melaju cepat. Tapi tak bisa menyelip mobil Zahra.
"Lihat, woi! Sebentar lagi kita sampai dibandara!" seru Laras. Semua orang mengangguk.
Mobil Zahra sudah tiba duluan dibandara. Ia turun dengan memakai baju hitam, cardigan pink, celana hitam, dan jilbab hitam. Ia memasuki bandara bersama seseorang. Dengan senyumannya yang manis ia mengantarkan orang itu dengan sabar. Ia tak tahu anak DM sedang mengejar dirinya, sedangkan angkot yang berisi anak DM tiba setelah itu. Mereka langsung buru-buru keluar dari mobil.
"Nih, Pak! Sisanya ambil saja!" ucap Anggi lalu langsung pergi.
Supir angkot itu tersenyum bahagia dan memasukkan uang kedalam kantongnya.
"W-woi... T-tungguin C-ci-citra, dong!" kata Citra yang terakhir keluar dengan lemas dan duduk sambil mengatur nafas ditanah
Supir angkot merasa geli melihat Citra, "Ngomel paling keras! Tapi kalah paling cepat!" kata supir angkot itu lalu meninggalkan Citra.
Semua orang berlari tanpa henti kesana kemari tanpa mempedulikan orang-orang yang berada di sekitar mereka. Mereka berlari tanpa henti membiarkan takdir membawa mereka ketempat seharusnya. Mata mereka menyusuri setiap tempat yang berada disitu. Rasanya mustahil menemukan Zahra ditempat seluas ini.
"Aduh! Zahra jalan kearah mana, ya?" kata laras kebingungan.
"Iya! Itu! KAK ZAHRA!!!" teriak Nahwa kencang-kencang.
Zahra berhenti sebentar. Zahra menoleh kebelakang kalau-kalau ternyata beneran ada Nahwa. Tapi nyatanya tidak ada siapa-siapa dibelakangya. Lho, kok! Tadi rasanya Kayak ada suara nahwa, ya? Ah! Mungkin cuma perasaanku saja, ya! Gumam Zahra dalam hati. Lagian untuk apa mereka datang kesini.
"Kenapa Zahra?" tanya seseorang yang dari tadi bersama Zahra.
Zahra menggeleng lalu melanjutkan lagi perjalanannya.
"Yah! Ngga dengar lagi!" seru Nahwa kecewa.
"Ayo! Kita lari kejar Kak Zahra!" ajak Nabila yang diikuti semua orang
Sedangkan Citra dari belakang lari sambil teriak-teriak tapi ngga ada orang yang denger.
Citra berhenti sejenak, "We! Tunggu, hah! Hah! Tungguin Citra!" panggil Citra dengan nafas tersengal-sengal lalu melanjutkan larinya.
Mereka berlari sekuat tenaga mengejar sosok Zahra yang ada didepan mereka. Anggi menambah kecepatannya lagi dan lagi. Sedikit lagi! Sedikit lagi pasti bisa! Anggi menambah kecepatan larinya sedikit lagi.
"Zahra!" teriak Anggi. Tangannya meraih tangan Zahra dan menariknya.
Zahra terkejut dan berbalik, "Anggi?" ucap Zahra heran, "Ngapain kamu disini?" tanya Zahra.
Anggi ngga peduli omongan Zahra "J-jangan pergi! Kami menyesal. Hah! Hah! " kata Anggi tersengal-sengal.
Zahra menjadi bingung. Tapi ia melihat hal yang lebih membingungkan lagi. Ia melihat seluruh anak DM berlarian kearahnya.
"Kak Zahra!" teriak yang lainnya.
"Alvi, Nisa, Faiza, Nahwa, Vira, Nabila, Laras?"
"Woi! Tungguin napa?" kata Citra yang baru datang.
"Citra? Kalian ngapain, coba?" tanya Zahra bingung sekali lagi.
"Zahra maafin aku," kata Laras serius "Aku yang sengaja naruh iphone ku di tasmu. Kamu boleh ejek aku, marahin aku, apa aja asal jangan pergi dari kami!"
Suasana saat itu benar-benar tak bisa di perkirakan oleh Zahra. Ia bingung harus bilang apa. Tapi ia juga tak boleh mengecewakan teman-temannya yang sudah sengaja datang kesini hanya untuk dirinya. Bagian dari diri Zahra sangat senang, tapi bagian dirinya yang lain sangat kebingungan. Betul-betul kebingungan malahan.
"Pergi? Kemana?"
"Lho. Bukannya kata Ramzi kakak mau pindah karena stres gitu?" celetuk Faiza.
Zahra terdiam sebentar lalu tertawa. "Oh, itu! Aku ngga pindah. Ngga jadi pindah!"
Kami semua saling bertatapan, "Kalau gitu. Ngapain kakak sampe pergi kebandara?" tanya Nisa.
Zahra menarik seseorang, "Zahra cuma mau nganterin nenek kebandara kok! Ngga lebih. Ini nenekku!" kata Zahra sambil memperkenalkan neneknya.
"Jadi kakak kesini cuma mau nganterin nenek kakak?" tanya Citra. Zahra mengangguk mantap.
"Ngga lebih?"
Zahra menggeleng.
"Hah..." kami semua menghela nafas dan langsung terduduk dilantai.
"kalau gitu untuk apa, coba? Kita ngebut kesini?" kata Alvi lemas.
Akhirnya mereka tertawa bersama. Hari itu adalah hari yang paling konyol yang dialami oleh semua orang. Setelah mengantar nenek Zahra, mereka memutuskan untuk langsung pulang kembali ke masjid meraka. Tawa riang pasti terdengar di seluruh tempat. Zahra pun akhirnya bisa tertawa dengan lepas setelah sekian lama.
"Ayo! Kita pulang naik mobilku!" ajak Zahra sambil membuka pintu mobil.
"Hah?! Naik mobil, lagi?!" teriak. Citra.
Aku mengangguk. Citra langsung pingsan ditempat. Kami semua menggendongnya agar ia bisa masuk kemobil. Berat! Tapi kejadian ini takkan pernah bisa kami lupakan. Sampai kapanpun.
***
Setelah pulang ngaji, kami bersepuluh pergi kelapangan putih yang tidak jauh dari masjid. Kami bercerita tentang kejadian konyol yang kami alami kemarin. Kami semua duduk dibawah pohon besar.
"Inget ngga pas kak Citra pingsan dimobil?" kata Nisa memulai cerita. Kami semua tertawa bersama. Sedangkan citra ngambek karenanya
"Ih... Apa, sih! Citra ngga suka, ah." kata Citra sambil mengembungkan pipinya.
Kami tertawa lagi. Sekarang hubungan kami menjadi lebih dekat daripada sebelumnya. Dari tadi Nahwa yang biasanya ceria sekarang hanya diam saja. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu. Kami semua menunggu Nahwa mengungkapkan apa yang ada di dalam pikirannya.
"Ah! Aku tahu. Bagaimana kalau kita menulis sesuatu di sesobek kertas, lalu kita simpan didalam botol dan kita kubur. Nanti, ketika kita sudah sukses... Kita buka!" usul Nahwa tiba-tiba.
Kami semua saling melihat satu sama lain dan mengangguk setuju. Kami menulis sesuatu untuk kami buka nanti.

Nahwa, kebahagiaan itu mudah. Tak perlu mengeluarkan banyak uang, bersama kalian saja sudah membuatku bahagia.

Anggi, aku ngga tau kapan persahabatan ini berakhir. Tapi aku akan slalu mengingat kenangan bersama kalian.

Vira, aku menyayangi kalian kakak-kakak ku!

Nisa, jangan pernah lupakan aku yang imuts ini, ya!

Citra, awal persahabatan kita dimulai dengan konyol, tapi akhirnya nanti pasti bahagia

Laras, aku memang cengeng. Tapi pasti ketika kita buka aku sudah ngga cengeng lagi.

Nabila, aku ngga tau apa yang mau aku tulis. Aku cuma bisa bilang. I love you guys.

Faiza, awal memulai hari bersama kalian adalah hal yang terbaik.

Alvi, kalian... Is a treasure more than gold.

Semua orang memasukkan kertas yang mereka tulis kedalam botol. Tinggal zahra saja yang belum.
"Belum siap, ya?" tanya Alvi.
"tunggu sebentar!" kata zahra.
Zahra berhenti dan berpikir. Bagaimana... Jika persahabatan ini akan berakhir seperti dulu? Tangan Zahra gemetaran. Alvi sepertinya menyadari ketakutan Zahra.
Alvi menepuk pundak Zahra. "Tenang saja... Ini akan berakhir indah." ucap Alvi menenangkan Zahra.
Zahra tersenyum. Ia sudah sedikit tenang. Ia mengerti apa yang dimaksud Alvi. Memang dari semua orang yang ada disini hanya Alvi yang tahu ceritaku paling mendetail. Zahra mengangguk dan mulai menulis lagi.

Zahra,terima kasih telah mengajarkanku tentang keajaiban yang disebut, persahabatan.

"Sudah!" seruku sambil memasukkan kertas kedalam botol dan menutupnya botolnya.
Lalu kami mengubur botol itu tepat dibawah pohon ceri, tempat kami pertama kali duduk bersama memulai persahabatan, dengan canda tawa riang.

DM 10 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang