Happy Life

18 9 0
                                    

"Kakak!"
Suara itu langsung menggema di telingaku. Aku tau suara itu dimanapun. Suara yang membuatku menjadi seorang kakak. Suara yang membuatku merasakan apa yang mereka maksud dengan cinta. Tubuhku berbalik sendiri tanpa ada perintah dari otakku. Kerinduan telah mengunci pikiranku. Aku ingat betul suara itu. Suara yang telah terukir di hatiku. Kenangan manis yang kami jalani bersama, walau aku tak berharap ingin kembali. Karena kalau kembali... Aku tak ingin pergi. Sekarang alasanku untuk tak bisa pergi disana. Gadis itu ada disana. Dikelilingi banyak orang. Mereka semua menatapku dengan tatapan yang penuh kehangatan.
Gadis itu mengambil plastik dan mengeluarkan surat yang berada di dalamnya. Kemudian ia menyerahkan surat itu padaku sambil tersenyum manis. "Nih! Aku masih menyimpannya, lho! Surat dari kakak!" aku menerima surat itu dengan tangan gemetar. Perlahan aku membuka kertas yang sudah lecek itu. Saat membukanya perasaan hangat mengalir begitu saja dalam tubuhku. Penglihatanku mulai buram dan sesuatu yang hangat mengalir membasahi pipiku. Aku bahagia. Ternyata aku orang yang bahagia. Aku langsung memeluknya dan menangis sekencang-kencangnya.
Dia berbalik memelukku. Aku merasakan sesuatu yang panas dipundakku. Dia juga menangis. Semua orang yang ada disini akhirnya ikut berpelukan dan menangis. Hangat. Walau baju mereka basah kuyup karena hujan tapi aku hatiku dipenuhi kehangatan. Saat ini, aku benar-benar menerima banyak kehangatan. Kalau begini, aku bisa meninggalkannya dengan tenang.
"Zahra!"
Teriakan itu membuat kami melepaskan pelukan kami. Itu adalah ayah dan ibu angkat Zahra. Orang yang selama ini membesarkan kami tanpa menyadari hal itu. Orang-orang menyingkir, memberi jalan agar mereka bisa melihatku. Perlahan ibu Zahra berjalan mendekatiku. Sambil berjalan ia menatapku dalam-dalam. Kemudian ia berhenti ketika sudah berada tepat di hadapanku. Tangannya yang hangat menyentuh pipiku. Air mata mengalir membasahi pipinya.
"Aku bukan Zahra." ucapku yang membuatnya tersentak. "Aku bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa. Aku diciptakan tapi akhirnya aku takkan pernah ada. Meski begitu... Bolehkah aku menjadi anakmu? Maukah kau menerimaku? Aku... Aku...,"
Dia langsung memelukku erat. "Apa maksudmu? Kau adalah anakku. Kau memilikiku. Jadi jangan bilang kau tidak punya apa-apa lagi!" kali ini rasanya lebih hangat lagi. Aku mengangguk. Kebahagiaanku meluap-luap. Ayah Zahra juga ikut memelukku. Aku kembali menangis. Hari ini kami semua menangis lebih banyak dari biasanya. Keluarga, teman, dan adik sehebat mereka. Hanya aku yang memilikinya. Aku benar-benar orang yang bahagia, ya? Aku bisa pergi dengan tenang. Aku melepaskan pelukanku, aku berjalan kearah gadis itu dan menyerahkan surat itu. Kemudian aku menyalakan korek api, kalau begini terus, aku takkan bisa pergi. Aku harus mulai untuk membakar pita merah penghubung ini. Tapi tangan kecil menghalangiku.
"Aku ingin mengatakan sesuatu." melihat matanya yang penuh harap aku menangguk. "Aku sudah memikirkan ini. Aku ingin berada di sisimu, mengikuti jejakmu, berlatih keras bersamamu, setelah berpikir keras aku menemukan jawabanku! Aku ingin jadi chef dan menghidangkan makanan yang membuat orang-orang tersenyum bahagia ketika memakannya. Maka dari itu... Aku akan terus berjuang!"
Aku sedikit tersentak. Matanya bersinar terang menunjukkan keseriusannya. Dia yang selama ini selalu bersembunyi dan berjalan sambil menggandeng tanganku, dia memikirkan semua hal itu seorang diri. Dia pasti berpikir keras. Dia tau suatu saat aku akan pergi makanya dia memikirkan hal itu. Dia ingin terus berjalan bersamaku walau aku sudah tiada... Aku tersenyum kemudian mengelus kepalanya.
"Kamu sudah dewasa, ya! Salwa!"
Matanya bersinar lebih terang dari sebelumnya lalu dia memelukku. Ya, kamu sudah dewasa. Aku bahagia bisa menyaksikannya langsung di depan mataku. Setelah itu semuanya berbaris di belakangku. Mereka semua menangis sesegukan. Ketika aku menyalakan korekku mereka menangis lebih kencang. Menumpahkan semua kesedihannya. Kali ini aku takkan ragu. Karena aku tau, aku orang yang bahagia. Aku langsung membakar pita itu dan menerbangkannya.
"Kakaaaaak!"
Aku berbalik sebentar kemudian tersenyum. Aku membisikkan sesuatu dengan mulutku. Mendengar bisikanku Salwa langsung tersenyum. Walaupun air mata tak berhenti mengalir. Air mata yang turut serta mengantar kepergianku. Walau hanya beberapa menit, tapi aku bisa merasakan kebahagiaan yang tak pernah kurasakan sebelumnya dari mereka. Itu semua lebih dari yang aku inginkan. Aku harap... bisikanku sampai ke mereka. Mereka bisa melihat sosokku, yang membumbung tinggi bersama asap, yang dituntun oleh secercah cahaya. Siapapun yang melihatnya pasti akan tersenyum bahagia. Salwa berdiri sambil menghapus air matanya.
"AKU AKAN TERUS BERJUANG AGAR BISA BERDIRI DI SAMPINGMU, KAKAK!!!" setelah berteriak seperti itu Salwa melambaikan tangannya dengan penuh semangat. Ya! Aku tidak akan mengecewakanmu, kak!
***
Setelah itu kaca yang ada di depanku pecah berkeping-keping. Pecahannya menjadi debu kemudian menghilang ditelan waktu. Pita yang ada di tanganku itu juga menghilang. Walaupun cuma hadir beberapa menit di tengah-tengah mereka, tetapi Koemi pergi meninggalkan kenangan yang membekas di hati setiap orang. Air mataku juga tak mau berhenti mengalir. Aku juga seperti bisa merasakan kehangatan yang dirasakan Koemi. Hangatnya...
Zahra tersenyum. Dia berdiri kemudian berjalan menuju pintu yang ada di belakangku dan membukanya. Saat mendengar suara pintu itu terbuka rasanya kepalaku langsung berputar-putar. Nafasku tersengal-sengal. Kenangan menyakitkan itu kembali menusukku. Sakit! Rasanya sakit sekali! Zahra menepuk pundakku, membuatku tersadar.
"Jangan terlalu dipikirkan. Lawan rasa takutmu, mereka yang akan membuatmu bahagia."
Setelah itu dia keluar dari pintu. Perlahan pintu itu menutup dan hilang. Kata-katanya tadi mengiang-ngiang di kepalaku. Apa aku bisa... Bahagia?
***
Saat ini kami telah berada di bumi sakinah. Tempat berlangsungnya ujian imtas. Setelah kami berpisah dengan koemi, kami langsung mengganti baju kami yang basah. Untungnya Rizki sudah menyiapkan baju dan transportasi untuk kami. Orang kaya memang beda. Bumi sakinah. Tempat dimana kemampuan kami masing-masing. Kami mulai berbaris untuk mengambil nomor ujian masing-masing. Aku mendapatkan nomor dua puluh sembilan. Nomor ganjil. Setelah itu kami dipisahkan. Yang bernomor ganjil ujian diatas, sedangkan yang bernomor genap dibawah. Untuk materi anak-anak yang berada diatas antara lain do'a, shalat, surat pendek, dan wudhu. Sedangkan bagi anak-anak yang ada dibawah materi ujian mereka adalah fasohah, tartil, tajwid, dan ghorib. Satu saja nilai kami dibawah 7,5 maka kami harus mengulang kelas.
Aku, Anggi, Nisa, Faiza, dan Nabila berada di ruangan atas. Semua anak-anak dari masjid Assakinah, Baro'atul Qur'an, Rohadathul jannah sedang sibuk menghafal. Hanya kami yang tertawa lepas disini. Yah, sebetulnya kami tertawa untuk mengurangi kegelisahan kami. Walaupun kami terlihat santai dan cuek, tapi kami juga tegang seperti anak-anak lainnya. Tapi kami yakin kami pasti bisa melaluinya. Asalkan kami selalu bersama.
"Berikutnya!"
Aku segera berdiri, "Do'akan aku, ya! Teman-teman!"
Mereka tersenyum sambil terus menatap foto dan bungkus permen yang mereka tempel di sebuah buku. Foto seseorang dengan gaya rambut ponytail sedang memakan mie cup. Foto yang Dandi ambil secara diam-diam.
"Kami akan selalu mengingat mu, Koemi!" Bisik mereka di tengah-tengah keributan.

DM 10 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang