its me

77 17 5
                                    

Banyak orang yang bilang persahabatan itu indah... Heh! Bagiku tidak. Karena aku bahkan tidak tahu apa itu persahabatan. Tapi perlahan-lahan aku mulai mengerti. Arti kata persahabatan yang sebenarnya.
Kenalkan, namaku Michaella zahra ammelia. Panggil saja aku zahra. Aku sangat pintar dalam mata pelajaran maupun olahraga. Tapi aku benar-benar bodoh dalam mengaji! Aku terkenal sebagai pembuat masalah di tempat ngajiku, Daarul Maghfirah yang disingkat DM.
Bagiku, persahabatan adalah sesuatu yang di mulai dengan kenangan indah, dan diakhiri dengan keputus asaan. Tidak ada yang bagus dari persahabatan. Yang ada hanya disakiti dan tersakiti. Dikhianati dan terkhianati. Apakah ada yang lain selain itu?
Tapi waktu terus berjalan. Tidak ada yang tahu kapan waktu akan terhenti. Jika kalian tanya tentang masa laluku, tidak ada yang bagus tentang itu. Masa laluku hanya di penuhi oleh penderitaan dan kesendirian. Ya... Walaupun sampai sekarang aku tidak tahu apa aku kesepian karena itu.
Kalian ingin tanya apa tentang diriku pasti akan ku jawab. Apa? Aku cantik? Jelas. Populer? disekolah. Dingaji? Hampir bisa dibilang ngga ada orang yang menyukaiku. Tapi semua itu menjadi masa lalu hingga hari-hari itu tiba...
***
Langit biru memang indah. Tapi tidak seindah hari ini. Hari ini pembagian rapor ngaji dan pastinya, aku akan diomeli oleh guru yang cerewet itu. Aku tahu, maksudnya baik. Tapi ngga gitu juga kali! Kalau memang otakku cuma sampai segitu mau gimana lagi. Kadang seseorang yang ilmunya rata-rata justru lebih sombong daripada orang yang berilmu tinggi. Itulah guru yang paling ku benci, Bu Siti.
"Zahra kamu peringkat 20 dari 24 murid," kata Bu Siti dengan nada mengejek.
Aku cuek saja, jika Aku menjawab bukankah tidak sopan? Sebetulnya Aku senang. Biasanya aku peringkat 24 dari 24 murid, tapi sekarang peringkat 20 dari 24 murid? Yah... Lumayanlah naik sedikit. Tapi bagi Bu Siti itu sih, sama saja. Baginya yang penting adalah jabatan dan uang.
Ibuku yang dari tadi main hp melihat nilaiku sebentar. Lalu melanjutkan sms-an lagi. Yah... Ibuku memang ngga terlalu peduli dengan nilai ku. Ibuku adalah wanita sosialita yang benci dengan gosip. Justru Ayahku adalah lelaki pd yang tau semua tentang gosip. Dunia terbalik di keluarga kami.
"Bu, lihat peringkat Zahra naik lho!" seruku sambil memperlihatkan raporku.
"Wah! Bagus itu nanti ibu belikan coklat," kata Ibuku sambil mengacungkan jempol.
Aku tak percaya dengan perkataan Ibuku, "Serius bu? Asyik!!" kataku bersemangat.
Bu Siti yang melihat kami, hanya bisa menggelengkan kepala. Kami adalah masalah terbesar dalam hidupnya. Yo wes, wes! Ibu sama anak sama-sama edan! Peringkat 4 dari belakang kok seneng? Kepalanya tiba-tiba mengalami sakit karena melihat kami.
"Ehem!" Bu Siti berdeham.
Aku dan Ibuku masih sibuk membahas coklat apa yang ingin aku beli. Bu Siti mengepalkan tangannya, ia benar-benar gemas dengan tingkah laku kami. Prak! Bu Siti memukul meja yang membuat kami kaget dan auto fokus ke Bu Siti.
"Ada apa Bu? Kasian toh mejanya dipukul. Itu belinya pake uang lho bu," kata Ibuku sambil mengelus mejanya.
Bu Siti menahan nafas. Baginya, kedatangan kami adalah cobaan terberatnya, "Ibu silakan pulang. Saya ingin bicara dengan zahra," kata Bu Siti.
Ibuku mengambil rapor ngajiku lalu berjalan keluar hingga tak terlihat lagi. Aku senyam-senyum sendiri, membayangkan coklat yang nanti akan Ibu berikan. Tapi Bu Siti terus menatapku sinis, seakan-akan ia berkata, bagaimana bisa ada orang seperti ini. Sepertinya ia betul-betul benci padaku.
"Zahra!" teriak Bu Siti
Aku kaget, "Iya bu?" tanyaku
"Ibu seneng kamu peringkat 20. Tapi itu masih peringkat 20 dari 24 siswa. Apa kamu ngga malu?" tanya Bu Siti yang membuat telingaku gatal.
Ah! Ni guru pasti mulai ceramahin aku lagi, nih, "Ngapain malu. Orang saya pake baju kok bu,"kataku cuek.
Bu Siti adalah salah satu guru yang sangat amat tidak menyukaiku. Jika bisa, ia ingin selalu mempermalukanku di depan umum. Entah apa alasan dan sebab sampai ia sangat membenciku. Dibandingkan seluruh guru yang ada di masjid ini, dialah yang paling tidak disukai oleh murid-murid. Akupun juga sangat membencinya.
Bu siti melotot, "Kamu ini. Disekolah kamu slalu rangking 1! Kenapa di ngaji ngga? Harusnya kalo disekolah pinter dingaji juga pinter!"
Aku mengkerucutkan bibir ku, "Ah, kan itu menurut Ibu. Nyatanya saya ngga gitu tuh!"
Bu Siti tiba-tiba memukul meja, "Kamu ini berani ya, jawab omongan guru," kata Bu Siti penuh amarah.
Aku cuek dan diam saja. Ngapain dengerin omongan orang ngga berguna yang selalu membeda-bedakan orang. Bukan maksudku ngga sopan sobat! Hanya saja walaupun aku bertinglah laku baik, ia selalu saja mencari-cari kejelekanku. Jadi bukankah lebih baik aku bersikap apa adanya? Seenggaknya dia langsung melihat kejelekanku tanpa suuzon denganku. Bukankah itu bisa mengurangi dosanya? Karena, mungkin cuma keajaiban saja yang bisa membuat dia menyukaiku.
Memang benar di sekolah aku selalu mendapatkan rangking 1. Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa slalu mendapat rangking terbawah di masjid. Tapi aku yakin itu akan segera berlalu. Aku berpikir sebentar, Dia mendapatkan sebuah ide. Ketika Bu Siti sibuk ngoceh, lambat-lambat aku berjalan kepintu luar.
"Kamu tuh denger ngga Zahra?" tanya bu siti.
Aku tertegun, aku diam sebentar lalu mengangguk. Lalu setelah Bu Siti kembali mengoceh lagi. Aku sudah berada didekat pintu luar, dia menunggu kesempatan. Bu Siti sepertinya sedang sibuk mengoceh. Aku membuat ancang-ancang. Satu, dua, tiga! Tanpa menunggu lagi, aku lari sekuat tenaga.
"Jadi gitu... Makanya kam... Lho? Mana zahra?" Bu Siti celingak celinguk lalu langsung berjalan kepintu luar. Dia melihat aku sedang lari sambil melambaikan tangan kearahnya. Bu Siti menendang sesuatu yang ada di depannya lalu tangannya memukul dinding di sebelahnya.
Bu Siti mengepalkan tangannya, "ZAHRA! AWAS YA KAMU BESOK! TUNGGU AJA!!!" teriak Bu Siti yang pasti terdengar oleh semua orang.
Aku hanya bisa tertawa geli melihat Bu Siti marah-marah. Ia mempercepat larinya. Aku menggelengkan kepalan. Susah amat! Kalau gitu besok aku ngga masuk tiga hari, ah! Seruku didalam hati. BRUK! Aku terjatuh. Aku tak sengaja menabrak seseorang, sebetulnya itu sudah menjadi kebiasaanku.
Aku duduk perlahan, "Kalau jalan hati-hati napa?" teriakku. Lalu mengangkat kepalanya untuk melihat siapa orang yang ku tabrak
Orang itu menggelengkan kepalanya melihatku, "Kamu tuh, yang kalau lari lihat-lihat. Sini kubantu!" katanya sambil mengulurkan tangan.
Dia Ramzi Pradipta Aditya. Cowok terkeren yang ada di perummnas dan cowok yang paling mengagumi Zahra dari TK. Tapi Zahra ngga pernah peduli dan masa bodoh dengan hal itu. Boro-boro peduli, ngelirik aja Dia ngga pernah. Yang Zahra kagumi hanya buku pelajaran.
Aku menempis tangan Ramzi. "Ngga usah! Aku bukannya ngga bisa berdiri sendiri," kataku menolak sambil berdiri, "tapi, terima kasih ya!" ucapku lalu pergi begitu saja meninggalkan Ramzi yang sedang kebingunan oleh ulahku.
Ya, inilah aku. Terkenal dengan kecantikan dan tukang pembawa masalah. Lumayan banyak juga orang yang iri padaku. Aku sih ngga terlalu peduli dengan apa yang di katakan orang-orang mengenai Aku. Bagiku hidup hanya sekali. Dan kita harus melalui hidup itu dengan senyum gembira. Angin lembut menyapaku setiap Aku berlari. Semakin kencang aku berlari semakin aku tak sadar bahwa besok takdir akan menyapaku.
***
Katanya, hidup itu bagai bongkahan puzzle yang harus di selesaikan. Ada yang bilang lagi hidup itu bagai tangga. Kita harus menaikinya satu persatu jika ingin sampai keatas. Ada yang bilang lagi hidup itu bagai piano. Tuts putih melambangkan kebaikan dan yang hitam melambangkan kejahatan. Tapi jika bisa menyatukan keduanya, akan tercipta alunan nada yang sangat mengagumkan. Tergantung jari-jemari yang memainkannya.
Hidup itu dipenuhi hal-hal yang indah. Kadang hal indah itu hanya akan bertahan sesaat. Ada juga orang yang mencari-cari hal indah itu padahal di dalam dirinya sudah terdapat hal yang indah. Semua hal itu tergantung si pemilik keindahan. Bahkan penjahat saja punya hal yang indah. Tutup matamu dan bayangkanlah sesuatu yang paling indah menurutmu. Itu adalah keindahan dirimu. Mungkin itulah yang akan dikatakan oleh orang bijak.
Aku terus berlari membiarkan angin menerpa diriku. Sebentar lagi Aku akan sampai di rumahku. Terlihat olehku rumah bercat biru langit dengan pagar bercat putih. Itu adalah rumahku. Aku melambatkan lariku. Setelah sampai di depan rumah, aku segera mengetuk pintu dan langsung memasuki rumah.
"Assalamu'alaikum!" teriakku dari luar rumah.
Aku melepaskan sandalku dan langsung berlari ke ruang tamu. Di ruang tamu sepertinya tidak ada orang, Aku melemparkan tasku di mana saja, lalu merebahkan diriku di sofa. Aku mengipasi diriku, astaga! Capek banget.
"Waalaikumussalam." jawab seseorang yang pastinya ibuku.
Aku pergi ke sumber suara. Ku lihat Ibuku sedang membaca surat di teras belakang, "Ibu lagi ngapain?" tanyaku.
Ibu melihatku sebentar lalu kembali ke suratnya. "Ini, masjidmu mau mengganti metode mengaji dengan metode Qira'ati."
Aku sangat terkejut dengan apa yang Ibuku bilang. Tanpa basa-basi Aku mengambil surat yang dibaca ibu, "Qira'ati? Iqra aja susah mau ganti Qira'ati, lagi?" ucapku tak percaya.
Ibu melihatku heran. Lalu Ibu merampas surat dariku, "Kalau ibu sih, setuju aja."
Aku menatap Ibuku tak percaya, "Tapi bu....," rengek ku.
Ibu menaruh jari telunjuknya di atas bibirku, "Hush! Daripada kamu rese, mending makan sana! Dah ibu buatin ikan goreng," kata Ibuku sambil menunjuk kearah dapur dan pergi.
Aku bangun sambil cemberut. Lalu pergi kedapur, dan langsung mengambil makanan dan makan di meja makan. Aku makan sambil memikirkan sesuatu. Ngomong-ngomong, Qira'ati itu apa, ya? Aku terus menanyakan hal itu tanpa sadar itulah takdirku.
***
Jam menunjukkan pukul 19:30, setelah shalat maghrib, Kami sekeluarga akan makan malam bersama di meja makan. Hari ini Ayahku pulang jadi Ibu membuatkan makan malam spesial. Kami keluarga yang lumayan dekat. Walau Ayah sibuk dan seminggu hanya pulang sekali. Makanya sekarang kami menghabiskan waktu bersama.
Hm... Lezat! Yah walaupun makanan yang dihidangkan semuanya makanan favorit Ayah, makanan tetap makanan. Yang harus dimasukkan ke dalam perut. Aku telah lupa dengan semua masalah yang telah terjadi tadi. Tapi ibuku malah membuka topik yang menyebalkan.
"Ayah...,"
"Hmm...,"
"Zahra."
Ayah melihat ku sebentar lalu kembali ke makannya lagi, "Kenapa memangnya sama Zahra? Buat masalah lagi? Nangisin anak guru? " tanya Ayahku
Ibuku melihatku sinis, "Dia kabur pas gurunya lagi nasihatin dia,"
Aku menunduk. Ibuku memang selalu bilang ke Ayahku kalau Aku baru saja membuat masalah. Walaupun Ayahku tidak pernah mempedulikannya. Jadi, sebetulnya percuma saja Ibu bilang ke Ayah.
Ayahku melihatku ke arahku lagi, "Oh, bagus itu!" lalu melanjutkan makannya lagi.
Aku tertawa kecil. Kan benar! Ayah ngga pernah mempedulikan apapun perbuatanku. Ini untungnya menjadi anak kesayangan. Aku kembali ke makananku seakan tidak ada beban. Tapi itu tidak berlaku untuk adikku, ia selalu iri dengan semua yang kupunya.
Adikku, Salwa. Yang sedang meneguk minuman terbatuk-batuk mendengar perkataan Ayahku, "Ayah, ini! Kakak kek gitu bukannya dimarahin malah diiayain." marah Adikku.
Aku berdiri dan menaruh piringnya ditempat cuci, "Bu! Zahra sudah selesai. Zahra tidur dulu, ya." ucapku yang sudah malas mendengar pembicaraan ini
Aku langsung pergi kekamarku dan mengunci pintu. Aku tak peduli mereka sedang membicarakanku atau tidak. Aku merebahkan diriku dikasur. Ah! Mudah-mudahan besok menjadi lebih baik. Ucapku lalu memejamkam mata dan tidur perlahan.
***
Walaupun semua orang mengatakan aku berandalan, tapi aku tak pernah bangun lebih dari jam empat. Aku terbangun dari tidur lelapku. Perlahan Aku bangun dari tempat tidurku. Setelah itu aku mandi, memakai baju seragamku, dan segera turun kebawah untuk sarapan. Aku tak pernah memakai bedak atau handbody untuk ke sekolah. Karena bedak hanya membuat kulitku gatal dan handbody itu lengket membuatku sulit untuk bergerak.
"Sandwich selai kacang," Ucapku sambil menyambar satu.
"Eh?! Sudah bangun Zahra?" kata Ibuku tiba-tiba.
Aku mengangguk. Kulahap roti itu sampai habis tak bersisa. Setelah selesai melahap rotiku, aku meneguk susu yang ada di meja, dan pamit untuk pergi sekolah dengan ibuku. Di tempat mengaji mungkin Aku memang dikucilkan, tapi satu-satunya tempatku memperoleh kebahagiaan adalah sekolahku.
"Zahra kesekolah dulu ya Bu!" Aku mencium tangan Ibuku.
Ibu agak bingung melihatku, "Ngga mau diantar ayah aja?"
Aku menggeleng, "Ngga usah bu! Aku naik sepeda aja,"
Ibu mengangguk lalu mengecup dahiku. Setelah itu Aku segera berlari mengambil sepeda digarasi. Sepeda lipat berwarna merah menyala favoritku. Aku segera menaiki sepeda itu dengan perasaan senang.
"Assalamu'alaikum!" teriakku lalu aku melaju dengan sepeda itu.
Aku melaju sangat cepat. Mungkin terlalu cepat bagi orang-orang, "minggir! Minggir!" seruku heboh. Aku hampir menabrak ibu-ibu, meloncati pagar rumah orang, dan menerobos jalan raya.
Hingga akhirnya aku sampai disekolah. Aku bersekolah di SD Negeri 003 batam. Sekarang aku kelas 6. Makanya aku sedang bersiap-siap menghadapi UN sampai lupa dengan ujian ngaji. Tanpa basa-basi aku memarkirkan sepadaku di garasi umum di sekolahku.
"Hei, Zahra!" sapa seseorang.
Aku melihat ke sumber suara, "Oh, Willy!"
Willy adalah teman sekelasku. Kami sudah sekelas sejak kelas tiga SD. Dia kapten klub sepak bola di SD kami. Sesuai dengan klub yang diikutinya dia itu enerjik dan ceria. Walaupun begitu ia juga cengeng dan sok kuat. Rumahnya tak jau dari rumahku. Terkadang kami pergi ke sekolah bersama.
"Tumben naik sepeda?" tanya Willy sambil memakirkan sepadanya.
"Lagi pengen aja." jawabku santai.
"Kekelas bareng yuk!"
Aku mengangguk, "Ayo!" kataku.
kami berdua pun pergi kekelas bareng. Baru saja aku sampai dipintu kelas...
"ZAHRA!!!" teriak Chindy dan Haya yang langsung memelukku.
Mereka memang selalu begitu. Ini sampai telah menjadi teradisi ketika aku sampai dikelas Vl D ku tercinta. Lalu Mereka mengantarku kekursiku dan kami menyanyi lagu ngga jelas bersama. Itu lebih baik daripada tempatku mengaji.
Disini, di kelas ini. Takkan ada seseorang yang akan mengejekku. Dunia SD dan dunia ngajiku bertolak 360°. Jika di ilustrasikan, dunia SD itu bagai langit musim semi yang gemerlapan. Sedangkan di DM itu bagai musim dingin dengan badai yang terus menerjang tanpa henti. Kelihatannya sama tapi berbeda.
Tidak menunggu beberapa lama, Bu Ulu, wali kelas kami datang. "Sudah! Ngga usah nyanyi lagi! Mulai pelajaran,"
Bu Ulu adalah salah satu guru killer di SD 003 ini. Ia lebih killer daripada Pak Bandar. Guru agama yang tak segan-segan menjitak muridnya yang nakal. Bu Ulu ini lebih. Bahkan Pak Bandar sangat takut pada Bu Ulu. Tapi kami sayang sekali dengan wali kelas kami yang satu ini. Bidang studi utama di kelas ini adalah Matematika dan Bahasa Inggris.
Kami manghela nafas malas dan pergi ke tempat duduk masing-masing. Bu Ulu menghitung kami semua apakah sudah lengkap atau tidak. Tiba-tiba Nida datang, "Maaf!", Bu Ulu menggelengkan kepalanya lalu Ia duduk di bangkunya sendiri.
"Bu saya cape lho, bu!" seru Willy
"Memangnya Ibu ngga cape apa?" kata Bu Ulu, "Ayo yoris. Siapkan kelas,"
Kami tertawa bersama, kelas kami memang ribut, tapi kami benar-benar sportif dan saling menjaga satu sama lain. Yoris menyiapkan kelas dan kami pun akhirnya belajar. Walaupun... Aku dan haya masih saja nyanyi. Bagiku kelas enam ini adalah kelas penentu. Dimana kita baru mengenal satu-persatu teman kita, tanpa sadar bahwa waktu untuk bersama hanyalah sesaat.
***
Bel berbunyi. Terdengar suara sorakan dari setiap kelas. Kami segera membereskan buku dan memasukkannya ke dalam tas. Kelas sangat ribut saat jam pulang tiba.
Bu Ulu melihat hp tinat-tinutnya, "Pelajaran selesai."
"Yey!" semua anak bersorak.
Aku menyiapkan tasku dan bersiap untuk pulang. Dari jauh aku melihat Intan memperhatikan ku dari tadi. Lalu Intan beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menghampiriku.
"Zahra! Kamu nanti ikut ujian penempatan kelas Qira'ati?" tanya Intan
Aku memiringkan kepalaku, dan menghela nafas. Huft! Ujian, ujian, ujian. Kayaknya hidupku penuh dengan ujian. Aku mengangguk.
"Okey nanti aku jemput ya!" katanya lalu pergi
Aku menyandang tasku lalu beranjak pergi dari kelas. Akupun berjalan menuju sepeda merah menyalaku, menaikinya lalu melaju secepat kilat.
***
"Assalamu'alaikum! Zahra pulang!" ku lempar tasku dimana saja lalu pergi menuju meja makan. Asyik! Gulai ayam.
Ku ambil nasi dan kutaruh di atas piring. Setelah itu Aku mengambil sepotong ayam. Lalu aku segera duduk di meja makan. Aku terus memikirkan tentang penempatan kelas Qira'ati yang sangat menyebalkan itu.
"Makan yang banyak!" seru seseorang dari belakang.
Aku kaget dan segera melihat kebelakang, "Ibu ini kagetin aja,"
"Terserah, dong! Ibu mau kagetin atau ngga. Habis makan langsung mandi, istirahat, habis itu pergi ngaji," kata Ibuku lalu pergi meninggalkanku
Aku terbatuk batuk ketika ibuku bilang, "Pergi ngaji."
"iya... Iya...," ucapku kesal.
Aku melakukan semua yang dibilang ibu. Mulai dari makan, mandi, sampai istirahat. Aku kembali ke kamarku. Aku melihat jam kecil yang ada didinding. Jam 04.10 . Ah! Waktunya ngaji, lagi! Aku segera memakai seragam ku dan menyandang tas sandang berwarna putih dengan list orange bergambar ikan dengan tulisan "FiSHING".
"Zahra! Intan dah jemput, tuh!" teriak Ibu
Aku pun segera turun dan menuju halaman depan. Kulihat intan sudah menunggu dengan memakai seragam hijau kotak-kotak masjid kami. Oh, ya! Nama masjidku Daarul Maghfirah tapi disingkat menjadi DM.
"Ayo!" kataku mengajak intan.
Intan mengangguk lalu kami pergi bersama. Masjid dari rumahku tidak terlalu jauh. Jalan kaki paling satu menit sudah sampai. Kami berjalan beriringan sambil tertawa bersama diperjalanan.
Intan ini teman masa kecilku. Sejak lahir kami sudah bermain bersama. Walaupun begitu hubungan kami hanya sebatas teman, ngga lebih. Intan itu manis, baik, dan cerewet. Tapi ucapannya itu pedas dan ia suka milih-milih teman. Banyak orang yang tidak menyukainya, akupun tidak terlalu menyukainya.
"Zahra! Intan!" sapa Anggi.
"Iya!" balas Intan. Sedangkan aku hanya tersenyum saja. Jujur! Walaupun aku percaya diri dan tukang pembuat masalah, aku sangat takut untuk menyapa orang.
Kulihat dari jauh Bu Anis datang menghampiri kami, "Ini kartu ujian kalian," katanya pada kami.
Aku dapat nomor 9 sedangkan intan no 13. Kami berjalan menuju masjid dan duduk di halaman masjid sampai nomor kami dipanggil. Guru kami, Bu Dwi berdiri di depan pintu sambil memegang sebuah kertas.
"Nomor 1," panggilnya.
Seorang gadis kecil berumur sepuluh tahun berkerudung hitam maju. Dialah Nahwa Rohadathul Jannah. Dia juga anak dari guru ngaji kami, Bu yanti. Nahwa terkenal dengan kepintarannya dalam hal mengaji. Dia itu cerewet, cingeng, manja, baik, dan tidak pernah pelit.
Nahwa keluar dengan wajah ceria. Bu Dwi melihat kertasnya lagi, "Nomor 2."
Seorang gadis kecil berdiri dan masuk ke dalam ruangan dengan tampang cuek yang seumuran dengan Nahwa dan telah mengikuti lomba tahfidz sampai ke bogor. Dialah Annisa Tiamisfa. Ibunya tadi sudah menyemangatinya tapi ia tetap menguap tak peduli. Ia jenis orang yang hidup segan mati tak mau.
Annisa keluar sambil menguap, lagi. "Nomor 3," panggil Bu Dwi lagi.
Kini seorang anak berkaca mata yang kira-kira seumuran denganku. Dia agak sedikit pendiam dan teratur. Namanya Alvi Ramadhani. Abangnya dulu satu TK denganku. Jadi aku agak dekat dengannya. Walaupun lebih muda satu tahun sariku tapi perawakannya lebih dewasa dariku.
"Nomor 4."
Kali ini anak yang tadi menyapa kami. Dia sangat populer dan ramah. Ia juga sangat aktif di sekolah maupun di tempat ngaji. Banyak sekali cowok yang menembaknya, jadi banyak cewek yang iri dengannya. Dialah Divanggi ranindha putri. Idola remaja di tempat mengaji kami.
"Nomor 5."
Kali ini seseorang berdiri dan berjalan memasuki ruangan layaknya putri solo. Pembawaannya manis tapi ceria. Dia juga sebaya dengan nisa dan nahwa. Terkenal dengan kelembutan dan senyumnya yang manis, dia adalah Faiza Jasmine Shakir. Semua orang sangat terpukau melihatnya.
"Nomor 6."
Seseorang berdiri dengan gaya seakan-akan dialah yang paling berkuasa. Kuakui dia memang kaya, dia orang paling nyebelin dan paling cengeng ditempat ngaji dan aku juga sangat tak menyukainya. Dia adalah Si gendut Laras Sahita.
"Nomor 7."
Masuk sambil cengengesan seakan tak ada beban. Tawanya yang menggelegar sudah pasti terdengar seantero ruangan. Wajahnya yang manis tak sesuai dengan kerasnya suaranya. Kalian akan langsung mengenalnya jika bertemu dengannya. Namanya, Citra clearesta.
"Nomor 8."
Jika kau melihatnya kau tidak akan tahan untuk mencubit pipinya. Gadis kecil chubby berumur delapan tahun yang paling imut. Dia juga masih keturunan china, tak heran mengapa kulitnya putih dan matanya sipit. Walaupun begitu pembawaannya cukup dewasa. Dia adalah Si kecil Harmelia Meivira.
Saat Vira masuk Jantungku berdetak cepat. Degh! Sebentar lagi aku... Tanganku tak berhenti bergetar. Jika aku kalah dalam penempatan kelas tak berguna ini, keberadaanku semakin diabaikan. Mataku terus melirik ke arah pintu, ku lihat Vira sudah keluar dari ruangan.
"Nomor 9."
Aku kaget dan langsung berdiri menuju ke ruangan penempatan kelas Qira'ati. Jantung ku berdetak cepat. Aku gugup sekali. Aku melihat disana telah ada bapak-bapak gendut yang siap mengujiku. Aku segera duduk didepannya.
Bapak itu menatapku sebentar. Dia mengambil sebuah kertas dan pena, "jawab dengan jujur, ya!". katanya padaku.
"Nama, umur, sekolah?". tanyanya.
"Michaella zahra ammelia,11 tahun, SD Negeri 003 batu aji batam, " jawabku.
Bapak itu melirikku sebentar. Lalu kembali ke kertasnya lagi, "apa hal yang kamu sukai?"
Aku berpikir sebentar, "Makan, menggambar, mendengarkan musik."
Dia menggeleng. Mungkin baginya itu kekanakan sekali. Ia membolak-balik kertasnya, "Apa motif kamu mengaji?"
"Tidak ada."
"Kamu benci mengaji?"
"Gurunya...,"
"Guru seperti apa yang kamu suka?"
Aku berpikir lagi. Aku mencoba mengingat guru yang baik, pintar, dan tidak menghalalkan uang dalam pekerjannya... "Bu anis!" jawabku.
"Apa masalahmu selama mengaji disini?"
"Banyak. Ngga ada yang mau temenan sama zahra, guru-guru yang benci zahra...," aku berpikir lagi. "Dan ketakutan akan memulai persahabatan."
Bapak itu memandangku kasihan. Jujur! Aku ngga suka dikasihani. Bapak itu mencatat semuanya diselembar kertas. Astaga! Aku tak mengerti, setelah dia mendengar jawabanku, Dia menulisnya di kertas tadi. Ini tes ngaji atau tes psikolog, sih?
"Kamu anak baik," katanya, "Hanya saja yang orang tau darimu kau itu pembuat masalah." aku menunduk, kesal! "Tapi bapak yakin kalau kamu itu cerdas! Kamu hanya bunga kecil yang belum mekar. Lihatlah! Ketika kamu mekar, semua orang akan terpesona olehmu."
Aku mengangguk heran, apa maksud dari perkataannya tadi? Tapi Aku tetap mendengarkan. Entah mengapa, perkataannya tadi memiliki makna yang besar untuk hidupku.
Setelah pertanyaan itu semua aku diminta untuk membaca surat al-fatihah dan membaca al-qur'an. Aku membaca sebisa kemampuanku dan dengan sepenuh hati. Setelah itu aku diminta untuk keluar oleh bapak itu.
Melihatku keluar dari ruangan orang yang memanggil nomor langsung berteriak.
"Nomor 10!" kali ini gadis kecil ribut yang kerjanya ketawa terus menerus. Nabila miftahul jannah.
Aku berjalan melewati orang-orang yang menatapku sinis. Pembuat masalah besar ini masih berani datang kemasjid? Hellow... Dimana urat malumu? Oh, iya kan sudah putus. Begitulah apa yang mereka pikirkan tentang diriku. Mereka ngga tau bagaimana rasanya di perlakukan seperti itu. Tapi apa untungnya aku nangis? Yang ada aku malah tambah dicemooh. Orang-orang berpikir bahwa aku ini orang yang kuat. Padahal ngga.
"Zahra!" panggil intan
Aku menoleh sebentar, "Ada apa?" tanyaku. Pengen rasanya aku langsung pulang. Tapi mau bagaimana lagi?
"Kayak mana tes nya?" tanyanya dengan nada mengejek.
Aku tau maksudnya untuk menyinggungku makanya aku hanya, menjawab dengan mengangkat bahu. Aku ingin sekali punya teman yang baik. Tapi yang bisa kau temukan di sini adalah teman yang apabila susah datang, dan bila senang pergi.
"Seriuslah...,"
Anggi yang dari tadi melihat itu, tiba-tiba berdiri dan langkat bicara, "Sudahlah tan, kalau dia ngga mau jangan dipaksa! Ngga ada orang yang suka kalau dipaksa"
"Tapi kan..."
"Tapi apa? Nanti kan kamu juga dipanggil. Lebih baik jalani sendiri daripada ngurusin hidup yang dijalani orang lain. Benerkan ra?" katanya sambil melihatku.
Aku tersenyum dan mengangguk. Ternyata masih ada orang yang baik sama aku. Ucapku didalam hati senang. Aku berterima kasih sama anggi dan kembali berjalan pulang kerumahku.
***
Angin sepoi-sepoi perlahan berhembus melewati jendela kamarku dan menerpa lembut wajahku. Sepertinya suasana malam ini sesuai dengan isi hatiku sekarang.
Aku dan Anggi memang sudah lama saling kenal. Bisa dibilang dia murid pertamaku! Aku ngga sombong ya, tapi itu memang kenyataannya. Waktu pertama kali datang kemasjid ku, Aku dan Anggi sekelas. Waktu itu ia belum mengerti apa-apa. Dia melihatku dan duduk disampingku, lalu memintaku mengajarinya. Ya.... Itu memang hanya kenangan. Tapi kenangan itu sulit untuk dilupakan.
Aku merasa mengantuk. Aku beranjak dari meja belajar, berjalan menuju tempat tidur dan langsung terlelap pada saat itu juga.
Dunia itu kecil. Begitu kecil sampai kita tak sadar banyak orang yang kita kenal terdapat di dalamnya. Dunia itu besar. Sampai kita tak bisa menggapai setiap ujungnya. Walaupun begitu, pendapat besar kecilnya dunia tergantung pendapat setiap orang.
Orang yang dilimpahi harta hidup di dunia yang serba ada. Tapi bukan berarti mereka bahagia. Mereka selalu membeli banyak barang tanpa merasa puas. Mereka tak sadar, yang kurang adalah teman disisi mereka. Hidup tanpa harta, memang menyulitkan. Tapi hidup tanpa teman itu lebih menyedihkan.
Kata orang bijak, tak ada yang namanya kebetulan. Karena dalam semua kehidupan, walau yang kecil sekalipun, pasti memiliki arti tersembunyi di dalamnya. Mungkin kita tidak menyadarinya hari ini, tapi suatu hari nanti, misteri itu akan terungkap.
Bagiku hidup itu bagai sebuah labirin. Berlika-liku. Penuh perjuangan dan pengorbanan. Pasti akan ada jalan tak berujung yang membuatmu kebingungan. Jika kau tidak percaya diri, kau akan terjebak di dalamnya, tanpa pernah keluar. Tapi jika kau terus semangat, kau akan dapat mengungkap misteri dibalik hidup dirimu.

DM 10 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang