Arwah belakangan menyadari sangkar yang dipakainya itu milik pria jembel.
Kedua orangtua Lamun yang juga pemulung sejak lama tiada. Lamun hidup sebatang kara di kota sejak usia 7 tahun, menjadi gelandangan, tidur di bangunan-bangunan tua tak bertuan.
Beranjak dewasa Lamun sedikit memisahkan diri dari kelompoknya. Ia tetap menjaga pergaulan dengan teman-temannya yang memulung, hanya saja ia tidak ikut lebur menjadi pemulung.
Ia punya pikiran yang sedikit melenceng. Ia tidak ingin mewarisi cara hidup dari orangtua dan lingkungannya.
Ia ingin menerobos sesuatu tapi ia tidak tahu apa dan bagaimana caranya. Pergolakan itu dimulai saat ia berusia 18 tahun.
"Masak jadi pemulung sampai tua?" pikirnya.
Ia mulai banyak berkeliling, mengamati, mencatat dalam ingatannya cara-cara orang kaya hidup.
Dan, karena ia hanya menyaksikan dari luar, dari kejauhan, ia tidak melihat benang merah antara orang kaya dan sebelum seseorang menjadi kaya.
Tak heran petualangan itu membuatnya banyak bermain dengan cemburu, iri hati. Perlahan-lahan ia menuju frustrasi.
Lamun kemudian banyak merenung dan melamun di pojok taman kota dengan berjuta kata andai.
"Andai aku anak orang kaya seperti pria itu," Lamun membatin.
Pedih ulu hati Arwah mengetahui kenyataan hidup Lamun.
Dahulu waktu masih hidup, Arwah orang kaya tapi bajingan. Saat meninggal, Arwah belum diterima di langit karena dosanya banyak. Rohnya gentayangan antara langit dan bumi. Tiada rumah baginya.
Arwah tidak pernah merasakan hidup susah sejak kecil. Ia lahir dari rahim orang kaya.
Sekarang ia baru tahu susah itu apa. Ia juga paham kini, mengapa Lamun mengingkari kenyataan hidupnya.
Arwah tergugah, Ia punya hasrat besar untuk membantu Lamun keluar dari kegetiran hidupnya. (*)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lamunan si Lamun
FantasyLamun merantau ke negeri khayali. Di sana ia berubah menjadi orang kaya raya dan menikah dengan dirinya sendiri. Tapi cinta kepada seorang wanita telah membuatnya kembali ke dunia realitas meski harus menjadi jembel.
