Sore yang hangat menyambut hari cerah Nathan. Hari ini ia akan menemui gadis keturunan Australia yang setahun terakhir dicintainya itu, setelah kemarin menelpon dan meminta Nathan pergi bersamanya. Nathan pikir, hari ini adalah hari yang tepat untuk mengutarakan cinta—walaupun usianya masih 14—teman rasa pacar rasanya sudah memuakkan bagi Nathan, maka dari itu sore ini ia akan meresmikannya. Khas anak remaja, butuh kepastian katanya.
Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling taman dan menemukan perempuan itu sedang duduk di bangku dekat taman bermain, perempuan itu tersenyum ketika melihat beberapa balita susah payah menaiki jaring jaring kemudian jatuh lagi. Senyum itu bahkan jadi senyum favoritnya.
"Maafin Nathan yang telat ya, tadi disuruh Mama beli cabe dulu mwehehe." Ucap Nathan sambil nyengir.
Echa—panggilan akrab Ersa—hanya tersenyum tipis, "Gak apa-apa kok, Nath."
"Echa udah rapih gini tau Nathan mau nembak ya? Hehehe." ucap Nathan over PD.
"Nathan mau nembak aku? Ga...gausah Nath, aku juga mau pergi." Echa tersenyum kecut.
Keterjutan nampak jelas di wajah Nathan, "Echa mau pergi kemana lagi? Kemarin kerumah nenek sampai sebulan, terus minggu-minggu ini juga jarang ada di rumah."
"Echa juga gak tau. Tapi Nathan mau kan nungguin Echa?" ucap perempuan itu, Nathan hanya tertunduk sedih.
"Sampai kapan?" ucap Nathan. Echa hanya menggeleng samar.
"Aku pergi dulu ya, Nath. Jangan pernah bosan tunggu aku kembali ya." Ucapnya sembari melambaikan tangan. Nathan membalas lambaian tangan itu. Pikirannya mengawang jauh setelah bayangan gadis itu lepas dari penglihatannya. Entah kapan ia akan bertemu gadis pujaaannya lagi.
N a t h a n n e t h a
Hari berganti menjadi bulan, panas ataupun dinginnya hujan tak menyurutkan niatnya untuk memenuhi janji menunggu. Sahabatnya bilang penantian Nathan adalah penantian terbodoh. Menunggu tanpa kabar dan kejelasan yang pasti sudah pasti menyiksa, sampai akhirnya lima tahun sudah Nathan menyerah.
Penantiannya selama lima tahun bukanlah penantian yang sebentar. Yang seharusnya ia bisa mendapatkan masa putih abu dengan gonta-ganti pasangan, disini justru ia harus menjaga hati. Nathan sempat jengah juga saat ditengah penantiannya, Valleriena—atau yang akrab Nathan sapa Rina membicarakan omong kosong bahwa Echa adalah orang jahat yang suka mengancam akan membunuh sahabatnya itu. Awalnya Nathan tak percaya, tapi kalo sudah lima tahun begini, Nathan harus percaya siapa?
Dan tepat di hari pertama pergantian semester, bahkan Nathan masih sempat memikirkan hal ini, dan ditabrak seorang perempuan yang wajahnya sangat asing bagi Nathan.
"Sorry saya gak sengaja." ucap perempuan itu sembari sibuk membereskan dokumennya yang jatuh berantakan.
"Perasaan lo nabrak gue pelan deh, kok ampe jatuh gitu sih, lebay banget. Sini sini bangun," ucap Nathan sambil mengulurkan tangannya membantu.
Perempuan itu meraih tangan Nathan, "Mungkin badan lo kayak bounce jadi ya...gitudeh." perempuan itu tertawa kecil.
Nathan memutar bola mata jengkel, "Tau gitu gak gue tolongin loh."
"Haha sorry deh sorry," ucap si perempuan dengan sisa tawanya.
Mereka lalu berjalan bersama di koridor, "Iya gak apa-apa, gue Nathan, btw." ucapnya.
"Gue Netha." sahut si perempuan sambil tersenyum. Entah mengapa Nathan merasa hangat disekujur tubuhnya, terutama mungkin—pipinya?
"Eh kok mirip?" ucap Nathan basa-basi.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATHANNETHA
Teen FictionSemuanya berawal dari keretakan hubungan orang tua Netha, kepindahan sekolahnya sampai kejadian itu terjadi. Kini, setelah semua yang terjadi, mampukah Nathan mengembalikan kepercayaan diri Netha? Atau semuanya hanya menjadi abu-abu? "Apapun keada...