Genap satu bulan Netha tidak pernah bertemu Daniel lagi. Hilang semua jejaknya. Tak ada kiriman bunga Daisy yang membuat hari-harinya berwarna. Semuanya kembali sepi.
Sekarang Netha lebih sering mealamun dan menangis disudut kamarnya. Menatap pemandangan kota dari kaca jendela. Rasanya persis ketika ia baru saja sadar dari koma dan mengetahui bahwa ia kehilangan kaki untuk selamanya.
"Netha, ayo siap-siap ini check up terakhir gak boleh telat." Ucap Fikri yang membuat Netha semakin sendu.
Bahkan disaat Netha memiliki kaki baru dan siap menjalani hari yang lebih baik hatinya tetap terasa hampa. Karena sosoknya yang hilang, dan tak mungkin ia temui lagi karena kurang dari satu minggu ia harus kembali ke Indonesia.
"Bang, Daniel apa kabar ya?" ucap Netha. Satu tetes mengundang ratusan tetes setelahnya.
Fikri mengelus punggung adiknya itu saat Netha menyenderkan kepala di pundaknya. Dirinya terus mencoba menenangkan hati yang sebenarnya tak akan pernah tenang.
"Kalau memang ditakdirkan bersama, keduanya tak akan pernah berpisah, sayang. Yuk kita udah ditungguin sama Dr. Smith." Ucap Fikri. Netha ikut bangkit.
Tak butuh waktu lama untuk Netha bersiap-siap dan mereka berdua sampai di rumah sakit.
"Kamu duluan aja ya Neth, abang mau ke kamar mandi dulu." Ucap Fikri. Netha masih saja diam dan menurut.
Netha kini mulai lancar berjalan dengan kaki palsunya itu. Ia berjalan santai melewati lorong demi lorong. Sampai akhirnya dia terkejut dan berhenti di persimpangan lorong. Padahal ruangan Smith tinggal sebentar lagi tapi rasanya ia ingin memutar balik dan menghampiri kakaknya untuk membatalkan jadwal check up. Nafasnya menderu, deg-degan.
Masih tak percaya, Netha membalikkan badan sebelum berlalu pergi. Orang itu benar orang yang sama, yang pernah meninggalkan Netha di masa-masa tersulitnya. Nathaniel Cartenz benar disini. Mana mungkin Nathan nekat ke Jerman? Sedangkan Netha sendiri menyembunyikan kepergiannya pada Nathan.
Netha mempercepat langkah tapi percuma, lelaki itu telah menangkap sosoknya.
"Netha!" panggil Nathan.
Netha menepuk jidat, kesal. Ia sama sekali tak berani menengok ke belakang.
"Neth! ini gue Nathan! Tunggu!" Nathan berhasil menangkap pergelangan Netha saat jalan perempuan itu terblokir oleh pasien yang baru saja dibawa dari ambulans.
Netha menutup matanya, berusaha menguatkan diri, "Maaf, gue gak kenal lo. Jadi permisi." Ucapnya yang membuat Nathan tak percaya.
"Nyatanya lo masih gak bisa bohong sama gue, Nethania." Ucap Nathan dingin, "Lo gak bisa tinggalin seseorang gitu aja. Mereka butuh alasan, dan lo gak pernah kasih tau alasan itu ke gue. Lo tau, semenjak lo pergi, Alle dan Deden bahkan ikut ninggalin gue juga. Gue gak punya siapa-siapa yang bisa membuat gue bangkit. Itu gak adil namanya."
Nathan tertunduk lesu membuat pertahanan yang sejak tadi Netha bangun kini runtuh tak bersisa.
"Kenapa lo tega sembunyiin ini semua? Dan buat gue khawatir?" tanya Nathan lagi.
Netha mulai terisak, air matanya kembali menyerbu, "Gue terpaksa. Karena gue malu, gue gak pantas sama lo."
Nathan mengangkat kepalanya menatap perempuan itu yang kini ikut menunduk, "Lo tau gak kalau selama ini gue hamil?"
Netha langsung jengkel dan mengelap air matanya kasar, bahkan disaat-saat seperti ini Nathan sama sekali tidak bisa serius, "Gak usah bercanda, lo gak mungkin hamil!" ucapnya ketus.
"Nah! Hal yang lo omongin juga sama gak mungkinnya, Neth! Lo tuh udah yang paling worth it buat gue. WORTH IT! Lo ngerti itu?!" ucap Nathan sembari menatap mata Netha tepat di iris. Mengisyaratkan pada perempuan itu bahwa ia tidak main-main dengan ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATHANNETHA
Teen FictionSemuanya berawal dari keretakan hubungan orang tua Netha, kepindahan sekolahnya sampai kejadian itu terjadi. Kini, setelah semua yang terjadi, mampukah Nathan mengembalikan kepercayaan diri Netha? Atau semuanya hanya menjadi abu-abu? "Apapun keada...