17 » HANZEL

579 26 0
                                    

bahasa bab 17 rada baku

Darren

Gue udah balik ke rumah dengan tangan kiri gue yang diperban pake kain coklat elastis---yang entah apa namanya itu gue nggak tau. Lutut gue juga diplester karena luka. Payah banget gue!

Kata dokter, tulang pergelangan tangan gue geser, beruntung nggak terlalu parah. Dan katanya butuh waktu minimal seminggu untuk sembuh. Sialan, gue jadi nggak bisa bawa motor ke sekolah dan otomatis gue bakal berangkat dan pulang sekolah sama sepupu gue, Hanzel.

Kalau sama Indra mustahil, rumahnya beda arah sama gue.

Oh iya, gue sampe lupa kalau gue lagi berdiri di depan kamar Hanzel. Kamar Hanzel disebut kamar neraka sama adik-adiknya. Bukan karena kamarnya berantakan. Kamarnya bahkan dua kali lebih bersih dan rapi dari kamar gue.

Kamar Hanzel cuma boleh dimasuki bokap sama nyokapnya, bokap sama nyokap gue, dia sendiri dan gue. Kalau ada orang selain itu masuk tanpa izin, ya siap-siap aja bakal ada amukan besar.

Gue ngebuka pintu kamar Hanzel tanpa ngetuk lebih dulu. "Hai Zel!"

Zel keliatan galau. Ah manusia ini palingan galau mikirin soal fisika. Entah apa bagusnya fisika. Fisika itu cuma soal matematika yang diribetkan! Lebih bagus ekonomi.

"Lo kenapa, Zel? Galau?" Gue lompat ke kasur Hanzel yang berakhir dengan gue ditabok pakai bantal.

Hanzel menekuk alisnya kesal. "Lo ini sakit tapi kayak orang nggak sakit."

Gue cuma terkekeh. "Lo kenapa, Zel? Galau pasti 'kan?!" Gue ngulang pertanyaan gue tadi pakai nada ngejek.

"Hmm." sahut Hanzel sambil tetap tiduran main handphone.

Ternyata bener, manusia itu lagi galau. "Tuh kan bener! Lo galau karena apa? Cewe? Eh manusia kayak lo mana bisa jatuh cint-"

"Iya!"

Eh anjir, kaget gue karena Hanzel tiba-tiba motong omongan gue.

Ya gue bingung, "Iya? Iya apa?"

"Iya gue galau. Gue suka sama seseorang!" ucap Hanzel agak pake nada tinggi. Huh! Aneh!

Btw, gue kaget sekali lagi. Hanzel suka seseorang? Sangat wow!

"Seriously? Sama siapa? Cerita aja ke gue." Gue lihat ekspresi Hanzel yang macam harimau diare. Dia keliatan sedih. Gue kayanya salah bicara. "Eh, kalau nggak mau cerita juga nggak apa." tambah gue.

Hanzel duduk bersandar dan narik nafas, lalu bercerita keseluruhannya ke gue. Ternyata dia suka sama sepupunya Erza. Gue kaget untuk yang ketiga kalinya.

"Zel, pertama, gue nggak nyangka lo bisa ermm... suka sama orang. Dan kedua, gue nggak nyangka lo berani buat bilang perasaan lo ke dia!" ucap gue seraya megang pundaknya.

"Gue bingung. Gue udah telepon dia berkali-kali tapi nggak di angkat." ucap Hanzel sambil menghela nafas pasrah. Sepertinya kisah cintanya rumit banget.

"Coba besok lo cari dia ke kelasnya dan tanya apa yang sebenarnya terjadi." saran gue.

"Hmm..."

"Sorry Zel, gue nggak bisa bantu banyak. Buat nyatain perasaan gue ke seseorang aja gue nggak berani."

Hanzel menyerngit, kataknya dia nggak tau gue sukasama seseorang.

"Siapa?"

Gue menghela napas. "Saingan gue. Nayla Dinara. Gue suka sama dia dari awal MOS."

Hanzel mengangguk paham.

Gue berpikir sejenak ternyata dua minggu lagi hari pemilihan ketua OSIS. Astaga, gue nggak sabar!

Oh iya gue sampai lupa tujuan gue kemari. "Zel, besok gue berangkat sama lo ya. Gue nggak bisa bawa motor." ucapku sambil melirik pergelangan tanganku yang di perban.

"Hmm..iya."

»TBC«
Vote and Comment

[2] Back Again ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang