25 » CURHAT

515 30 0
                                    

Tangan Darren sudah sembuh. Ia sudah kembali membawa motor ke sekolah seperti biasa.

"Indra, besok gue ke rumah lo ya!" ucap Darren sambil mengetuk-ngetuk pulpennya yang sudah tidak berisi tinta.

"Ngapain?"

Darren melempar pulpen yang ia pakai menulis sedari tadi ke dalam tong sampah lalu mengambil pulpen baru dari kotak pensil Indra. "Gue mau curhat."

"Curhat disini aja kenapa sih?"

Darren menggeleng sambil tetap menyalin tugas milik Indra, "Nggak, gue mau curhat di rumah lo."

Indra menggaruk kepalanya, "Tapi besok gue ada--"

"Besok hari Minggu dan lo nggak ada latihan basket, jadi lo pasti ada di rumah. Lo 'kan orangnya mageran. Lo nggak mungkin keluar jalan-jalan tanpa tujuan." potong Darren.

Indra hanya menghela nafas pasrah, ia memang tidak bisa mencegah Darren datang ke rumahnya. Padahal besok Indra ada kencan dengan kasur. "Oke, besok datang aja jam sepuluh pagi."

Esoknya, Darren sudah ada di depan rumah Indra jam sepuluh pagi kurang enam menit.

Darren memencet bel rumah Indra tiga kali, tapi tidak ada yang membukakan pintu. Darren semakin antusias memencet bel rumah Indra.

"Lo cuma perlu pencet bel sekali aja, Ren. Gue udah denger kok." Indra membukakan pintu dengan wajah kesal.

"Habis, lo lama banget. Gue kira lo nggak denger." Darren masuk ke dalam rumah Indra dan langsung lompat ke sofa dan berbaring disana. Darren sangat cinta dengan sofa ruang tamu Indra.

Indra mengambil bola basket yang ada di dekat sofa dan berjalan ke pintu samping. "Gue masih cuci piring tadi, Ren."

Darren mengangguk lalu berjalan mengikuti Indra. "Bokap, Nyokap lo mana?"

"Mereka lagi di kafe." Indra mengunci pintu samping.

"Oh iya, gue lupa, 'kan bokap lo punya kafe."

"Hmm."

"Kita mau kemana Ind?" tanya Darren sambil terus mengikuti Indra.

Indra tak menyahut, ia malah terus berjalan. Dan mereka sampai di sebuah lapangan basket kecil yang tak jauh dari rumah Indra.

"Curhat disini aja, Ren." ucap Indra sambil memantulkan bola basketnya ke tanah.

"Oh, okey."

Darren menarik nafas. "Nayla mau pindah sekolah."

Indra yang sedang mendribble bola basket pun terdiam. "Pindah sekolah?"

"Iya, dia ikut bokapnya dinas ke Bandung. Dia boleh nggak ikut pindah tapi ada syaratnya."

"Apa syaratnya?" tanya Indra sambil berjalan mendekat ke Darren.

"Dia harus jadi ketua OSIS."

"W-wait, jadi alasan dia nyalonin diri jadi ketua OSIS itu biar nggak pindah sekolah?" tanya Indra.

"Iya, dan gue bingung. Gue pengen banget jadi ketua OSIS tapi gue nggak mau Nayla pindah sekolah. Lo tau 'kan gue suka sama Nayla?!"

Indra mengangguk lalu melempar bola basket ke arah Darren. "Lo dan Nayla nggak bisa berbuat apa-apa. Semuanya tergantung takdir. Kalau takdir milih lo jadi ketua OSIS, ya.. Nayla harus pindah."

"Ketua OSIS, babi! Persetan sama impian gue! Gue pengen Nayla tetep disini!" Darren menendang bola basket yang tadi ia bawa.

"Itu bola basket, Ren. Bukan bola sepak." ujar Indra lalu memungut bola basket dan memasukkannya ke dalam ring lagi.

"Terus lo mau gimana?" tanya Indra sambil melempar bola dan ditangkap oleh Darren.

"Gue mau ngundurin diri sebagai calon ketua OSIS."

"Bego, lo nggak bakal bisa. Karena kandidatnya cuma dua. Lagipula pemilihan ketos 'kan minggu depan."

Darren sangat dilema. Ia ingin berteriak. Indra pernah bilang, kalau sedang bad mood, ia selalu memasukkan bola basket ke dalam ring. Katanya sih, rasanya lebih lega.

Darren ingin mencobanya. Ia memasukkan bola basket ke dalam ring di depannya. Namun, ia tidak merasa lega tapi ada sebuah ide terlintas di benak Darren.

 Namun, ia tidak merasa lega tapi ada sebuah ide terlintas di benak Darren

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ada satu cara. Gue nggak harus mengundurkan diri. Tapi gue tau, gimana caranya supaya Nayla yang kepilih jadi ketua OSIS."

"Gimana?" tanya Indra bingung.

Darren berbisik kecil ke telinga Indra. Dan Indra memukul kepala Darren segera setelah mendengar ide bodoh Darren.

"Lo nggak boleh lakuin itu. Lo bisa masuk BK, bego! Itu sih nggak seberapa, kalau bokap nyokap lo dipanggil ke sekolah gimana?!"

"Terus gue harus gimana? Gue sayang Nayla, gue nggak mau Nayla pindah. Gue takut... gue takut kalau gue kepilih jadi ketos."

Indra menepuk bahu Darren. "Biar Tuhan yang nyelesaiin semuanya. Percaya sama Tuhan aja, Ren."

»«

Gue harap omongan lo bener. Tapi tetep aja, gue harus ngelakuin sesuatu.

»TBC«
vote and comment


a/n :
Ini Short Story, tapi bab ini kok panjang ya?

[2] Back Again ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang