41 » BUKANLAH SEBUAH AKHIR

635 35 2
                                    

Cewek itu mendekat ke arah Darren. Ia meraih tangan Darren dan mengajaknya pergi. Darren hanya mengikuti terus setiap langkah cewek itu.

Ternyata Darren diajak ke taman kampus yang rindang.

"Lo beneran Nayla 'kan?" Darren menggenggam erat tangan cewek yang ia yakini itu Nayla.

"Nayla? Bukan, gue Dinara."

Darren tertawa lalu memeluk Nayla erat. "Nayla Dinara, lo makin cantik. Gue sampe pangling."

Nayla tertawa kecil lalu membalas pelukan Darren. "Lo juga tambah keren. Ganteng banget, gue sempet kaget."

"Gue kangen sama lo. Kangen banget,Nay." Darren memeluk Nayla semakin erat.

Darren menangis bahagia lalu melepas pelukannya.

"Ya ampun jangan nangis, Ren." Nayla mengusap pipi Darren lalu terkekeh kecil.

"Lo kok bisa disini Nay? Bukannya lo di Bandung?"

"Ah, gue merantau. Walau harus berdebat panjang sama bokap. Setelah lulus SMA gue milih untuk kuliah disini sekalian ketemu sama kalian. Eh ternyata malah satu kampus sama lo." Nayla terkekeh kecil.

"Lo ngekost?"

"Iya di deket kampus."

Banyak sekali hal yang ia ingin tanyakan pada Nayla. Banyak sekali. "Nay, kenapa lo nggak bisa dihubungin? Gue terus nelfon lo. Sampai tiga tahun. Tiga tahun, lo nggak bisa dihubungi, akhirnya gue nyerah."

"Serius?" Nayla merasa senang karena ternyata Darren peduli dengannya. "Sebenarnya, handphone gue hilang di bandara. Waktu gue udah dibeliin yang baru, eh gue nggak inget nomor lo, Lisa dan Indra."

"Eh, apa kabarnya mereka?" Nayla sampai lupa dengan dua teman lainnya.

"Mereka sehat. Indra sama Lisa juga masih langgeng."

"Wow, bisa langgeng juga ya. Gue pengen ketemu mereka." Nayla tersenyum lega.

"Nay..."

Nayla menatap Darren. Hati Nayla berdesir melihat Darren yang semakin dewasa. Selama ini, ia tidak pernah bisa melupakan Darren. Ia jatuh cinta dengan Darren. Dan itu juga salah satu alasan Nayla merantau. "Iya, Ren?"

"Banyak banget yang gue pengen tanya ke lo. Banyak sekali."

Nayla tertawa canggung. "Tanya aja."

"Lo masih suka sama gue?"

Nayla terlonjak kaget. Bagaimana Darren bisa tau tentang perasaannya.

"Gue yang selalu ngasih lo permen dan oreo, Nay." ujar Darren sebelum Nayla seolah-olah dapat membaca pikiran Nayla.

Nayla membulatkan matanya sampai hampir copot. "Jadi lo? Jadi... lo yang suka sama gue dari awal MOS?"

Darren hanya tersenyum.

"Ah, lo pasti udah baca surat terakhir gue di loker, 'kan?" Nayla tersenyum, ia sudah mengerti. 

"Lo... masih suka sama gue?" tanya Darren ragu.

Nayla menghela nafas pelan lalu tersenyum kecil. "Gue nggak suka lagi sama lo, Ren. Maaf."

Darren tersenyum kecut. Tentu saja. Mana mungkin Nayla masih menaruh hati padanya setelah tiga tahun tidak bertemu.

"Gue rasa gue nggak bisa lepas dari lo, Ren. Gue ngerasa ada yang kurang tanpa lo. Hati gue nuntun gue untuk nyari lo. Dan gue, berhasil. Berkat dompet lo yang jatuh. Kayaknya gue udah nggak suka lagi sama lo, tapi lebih dari itu."

"Jadi maksud lo apa?" tanya Darren sedikit tersenyum.

"Lo manusia paling bego yang pernah gue temuin." Nayla terkekeh kecil.

"Ah, gue masih bego ya. Gue rasa otak gue makin miring tiga derajat semenjak lo pergi." Darren tertawa.

Darren meraih tangan Nayla. Menarik Nayla lebih dekat. Hingga jarak keduanya hanya tinggal dua jengkal. 

"Nay..."

"Apa?"Nayla tersenyum miring.

"Setelah lama nggak ketemu, gue harap lo bisa ngasih g-gue.."

Darren tampak gugup. Nayla menahan tawanya, Darren selalu tampak lucu saat gugup.

"Kasih gue kesempatan. Maksud gue, gue mau keluar dari zona teman. Gue mau lebih deket lagi sama lo. Ah, m-maksud gue."

Darren menghela nafas. "G-gue mau hubungan kita lebih deket."

"Gue... gue harap---"

"Gue ngerti, Ren." Nayla tersenyum manis sambil menahan tawa.

Darren menghela nafas lega lalu ia tertawa pada akhirnya.

Terkadang, kepergian bukanlah sebuah akhir.

»N«

Baca author note di bab setelah epilog ya

[2] Back Again ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang