Jadilah orang yang selalu ada, meski kadang kamu tak dibutuhkan olehnya.
***
Ponsel Afrida berdering nyaring. Afrida yang sedang mandi itu berteriak, "bentar woi, bentar!" ujarnya, berharap sang penelepon tahu bahwa dirinya sedang sibuk sekarang.
Afrida akhirnya keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk pada rambutnya. Ia berdecak kesal dan berjalan menghampiri ponselnya yang masih setia berbunyi itu.
Afrida mengambil ponselnya yang ada di atas kasur. Ia melihat nama sang penelepon.
Kebo is calling...
"Duh ilah, si Kebo ganggu banget sih, gue lagi mandi juga. Nggak tahu apa ya nih anak?" gerutunya kesal.
Meskipun begitu, Afrida tetap mengangkat telepon itu.
"Halo?" sapa Afrida dengan jutek. Gadis itu duduk di atas kasurnya.
"Lama banget lo, Babi."
"Bodo. Gue lagi mandi tadi. Nggak tahu apa lo?!"
"Dih. Nggak usah galak-galak lo. Nggak cocok." Alvin yang berada di seberang sana tertawa. "Habis mandi? Duh, kok gue jadi bayangin ya."
Afrida melotot. "Bayangin apaan lo?!"
"Bayangin anu."
"Awas lo berani bayangin aneh-aneh. Mampus lo besok di sekolah!" ucap Afrida dengan sadis.
"Iya-iya, enggak."
"Terus lo ada apa nelepon gue? Tumben."
Afrida bangkit dari kasur. Cewek itu mengambil hand and body lotion dari meja riasnya, kemudian kembali duduk di kasur.
"Tumben apanya? Gue sering kali telepon lo. Lo aja yang pikun."
"Ini lo telepon niat ejekin gue ya? Gue matiin."
"Eh, enggak-enggak. Gue mau cerita. Jangan ditutup dulu."
"Mau cerita apa? Jia?" Afrida membuka tutup hand and body lotion yang ada di tangannya. Lantas menuangkan sedikit lotion itu ke tangannya.
"Iya. Gue diemin dia tadi," ujar Alvin. "Tadi gue buka instagram dia, terus disitu dia lagi chat sama si Fahmi."
"Fahmi?" Afrida menghentikan pergerakan tangannya yang semula sedang meratakan lotion tadi ke kakinya. "Yang kakak jadi-jadiannya si Jia itu?"
"Kakak jadi-jadian njer." Alvin kembali tertawa. "Iya, yang itu. Ya, gue tahu sih kalo mereka kakak adik, tapi ya, emang pantes gitu kalo kakak adik yang nggak kandung bilang kayak gitu?"
Afrida mengerutkan keningnya. "Emang mereka bilang gimana?" tanyanya yang kemudian kembali melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda.
"Tadi mereka sama-sama bilang sayang."
Afrida mengangguk-angguk tanda mengerti. Ia hafal sekali dengan sifat Alvin. Meskipun bagi Afrida itu hal yang biasa saja, mengingat Jia menganggap Fahmi adalah kakaknya, tetapi tidak bagi Alvin. Alvin adalah seorang laki-laki yang posesif, sekaligus sensitif. Sekali Afrida salah bicara padanya, maka Alvin akan menganggap bahwa tidak ada yang bisa mengerti dirinya.
"Af, menurut lo, wajar nggak sih, kakak adik yang nggak ada hubungan apa-apa, bilang sayang? Padahal Fahmi itu temen gue loh."
Afrida menarik napasnya. Ia terdiam, merangkai kata yang sebisa mungkin tidak menyakiti Alvin. Entah kenapa, Afrida dapat merasakan keresahan dalam nada bicara Alvin.
KAMU SEDANG MEMBACA
For A
Teen FictionKata orang-orang, tidak ada yang namanya persahabatan antara laki-laki dan perempuan. Yah, aku tahu itu, tapi aku tak percaya. Ada kok. Buktinya? Aku. Tapi kenyataannya, akulah yang terjatuh dalam pesona sahabatku sendiri. Demi apapun, aku menyes...