Hargai mereka selagi ada. Kamu tak akan tahu bagaimana menyesalnya kamu ketika mereka telah tiada.
***
Terdengar suara adzan yang begitu nyaring dari toa masjid yang tak jauh dari rumah Afrida, beradu dengan gaduhnya suara burung-burung yang akan kembali ke sarangnya, menandakan bahwa hari telah menjelang malam.
Bintang-bintang mulai menampakkan dirinya dengan malu-malu di langit yang kali itu tampak masih terang, dengan sinar jingga di ufuk barat, membentuk perpaduan sempurna antara warna kelabu dan jingga yang terlihat begitu wah. Berbagai macam warna tampak tercampur di langit, ada warna nila, merah muda, jingga, dan juga biru dongker, yang ternyata kalau dipadukan sangat indah untuk dipandang mata.
Di salah satu rumah yang diteduhi oleh langit itu, Afrida terdiam di balkon kamarnya. Matanya menyapu daerah sekeliling, menikmati angin yang berhembus pelan membelai wajahnya. Tangannya begitu gatal untuk mengabadikan momen di mana langit berada di puncak keindahannya. Langit saat menjelang malam itu adalah suatu keindahan tersendiri bagi Afrida. Ia menyukainya.
Pikiran Afrida melayang pada kejadian saat sore tadi. Ia menurunkan ponsel yang sejak tadi berhadapan dengan wajahnya untuk mengabadikan langit yang ada di atasnya, memorinya terputar pada kejadian dimana Alvin menjemputnya di studio tadi siang.
Alvin begitu tidak terduga hari ini, begitu juga Afrida.
Tadinya, Afrida hanya berkata pada Alvin kalau dirinya sedang merancang jembatan yang akan digunakannya untuk mengikuti perlombaan di sebuah universitas. Tanpa Afrida duga, Alvin malah datang ke sekolah, sendirian dan berdiam diri di kelasnya yang Afrida pastikan sepi di saat libur seperti ini.
Afrida tak enak hati saat mengetahui Alvin sendirian di kelasnya. Namun, Afrida juga tidak dapat berbuat apa-apa. Ia harus menjadi anggota yang baik untuk kelompoknya yang hanya berjumlah tiga orang, dan orang-orang itu masih bergantung padanya. Pada akhirnya, Alvin keluar dari area sekolah saat teman-teman band-nya berdatangan dan meminta Alvin untuk segera menyusul mereka ke studio.
Afrida tahu Alvin sempat meliriknya yang saat itu sedang berada di masjid sekolah, tetapi Afrida pura-pura sibuk merancang bagian bawah jembatan, menghindari tatapan Alvin.
Afrida sempat mengatakan kepada Alvin bahwa dirinya lapar, sebelum kemudian pergi menuju ke studio untuk berlatih musik. Saat Afrida berada di studio bersama teman-temannya dan masih menunggu giliran karena studio itu penuh, Alvin datang. Memang, studio tempat Alvin dan Afrida berlatih bukan studio yang sama.
Afrida tidak tahu mengapa tangannya begitu dingin dan badannya gemetaran saat Alvin benar-benar menghampirinya tadi, semua terasa tidak terduga.
Ah, semuanya begitu tiba-tiba. Afrida menggenggam tangannya satu sama lain, merasakan sensasi saat tadi dirinya bersama dengan sahabat cowoknya itu. Ia menghela napas, pasti tadi itu gara-gara Afrida kelaparan, pasti.
Ceklek!
Afrida refleks menoleh ke arah pintu, ia menemukan mamanya yang masih memegang daun pintu. "Af, ngapain pintu balkonnya dibuka? Masuk! Udah maghrib, jangan di luar!"
Afrida menghela napas entah yang keberapa kalinya pada hari ini. Ia melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar, kemudian menutup pintu balkon dengan ogah-ogahan. Ia menyempatkan diri untuk melirik langit yang sudah menggelap, berubah menjadi warna biru kehitam-hitaman dengan titik-titik terang yang menghiasinya. Afrida tersenyum sekilas.
Afrida berniat untuk melakukan ibadah sholat maghrib, sebelum kemudian ibunya malah berseru dari balik pintu kamarnya, mengatakan bahwa sahabatnya, Anggit, datang untuk menemuinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
For A
أدب المراهقينKata orang-orang, tidak ada yang namanya persahabatan antara laki-laki dan perempuan. Yah, aku tahu itu, tapi aku tak percaya. Ada kok. Buktinya? Aku. Tapi kenyataannya, akulah yang terjatuh dalam pesona sahabatku sendiri. Demi apapun, aku menyes...