Pengalamanmu akan terlalu sempit bila kamu hanya berpetualang di dunia nyata.
***
Alvin mencuri pandang pada Afrida yang duduk di bawah, tepatnya di samping Olva yang tengah mengerjakan tugas. Di hadapan Alvin, ada Jia yang sedang bercerita panjang lebar tentang kejadian lucu yang terjadi di rumahnya kemarin siang.
Alvin merespon seperlunya. Sesekali ia tertawa melihat ekspresi wajah Jia yang lucu saat bercerita. Ia masih merasa kesal dengan perilaku Jia kemarin. Bisa-bisanya cewek itu berlaku seolah tidak ada apapun di antara mereka kemarin.
Alvin mendengus dalam hati. "Kamu mau pulang sekarang? Maaf, aku nggak bisa nganterin kamu hari ini, badan aku capek," ujar Alvin yang kemudian memakai jaketnya dan berdiri.
Jia memandangi Alvin dengan tatapan kecewa. "Kamu masih marah ya sama aku?"
Alvin diam. Ia kini menggendong tasnya. "Koreksi aja diri kamu. Aku mau pulang. Hati-hati di jalan." Kemudian, Alvin beranjak pergi setelah keadaan kelas benar-benar sepi.
Jia yang melihat sikap Alvin yang acuh tak acuh padanya mulai menangis. Hatinya sakit saat Alvin meninggalkan dirinya sendirian.
Alvin berjalan menjauh. Ia sempat melirik ke belakang, rasanya ingin berbalik karena ia tidak tega membiarkan Jia seperti itu. Alvin memantapkan hatinya untuk tetap berjalan, berusaha mengabaikan suara tangis Jia yang membuat hatinya ikutan sakit.
Alvin berjalan menuju parkiran. Ia menatap satu-satunya motor yang ada di sana, lalu menghampiri kendaraannya itu. Alvin memakai helm, menaiki motornya, kemudian melaju meninggalkan halaman parkir sekolahnya.
Pikiran Alvin melayang pada kejadian semalam. Dimana Alvin pada akhirnya mendiamkan pesan dari Jia meski gadis itu berulang kali mengirimkan pesan yang tidak dapat dibilang singkat.
Alvin mendesah pelan. Ia butuh pendengar, dan satu-satunya pendengar yang selalu mau Alvin recoki adalah Afrida. Maka dari itu, Alvin mengirimkan beberapa pesan berisi curhatan hatinya pada ruang obrolannya dengan Afrida, ketika cowok itu sudah menjatuhkan tubuhnya di kasur kamar.
Alvin menatap jam yang ada di sudut atas layar ponselnya, pukul lima sore, yang artinya butuh sekitar satu jam lagi bagi Afrida untuk membalas pesan dari Alvin karena biasanya gadis itu sibuk di jam-jam sore hari. Lagi-lagi Alvin menghela nafas. Ia memilih mengganti seragamnya menjadi kaos biasa.
Alvin menghentikan pergerakannya memakai baju ketika melewati cermin besar yang ada di kamarnya. Alvin tidak jadi memakai kaosnya, tetapi malah memperhatikan tubuhnya di pantulan cermin.
Alvin tertawa kecil, mengingat perkataan Afrida yang mengejeknya kerempeng. Afrida benar, tetapi nggak sepenuhnya benar. Alvin masih punya otot di perutnya kok! Meskipun nggak terlalu kelihatan sih.
Tertawa lagi, Alvin akhirnya memakai bajunya. Ia meraih ponsel yang tergeletak tak jauh dari tempatnya, kemudian kembali ke depan cermin. Alvin membuka fitur kamera, meletakkan kamera tersebut di depan wajahnya, sehingga terlihat di pantulan cermin jika wajahnya tertutup ponsel ber-casing hitam tersebut. Alvin memencet tombol untuk memotret. Ia tersenyum puas ketika menatap hasil fotonya di galeri.
Dengan iseng Alvin mengirimkan foto itu ke ruang obrolan Afrida.
Bawel🐷
*mengirim foto*
Gue ganteng ternyata ya, Af.
Nggak kerempeng gue tuh, tadi gue ngaca juga gue punya sixpack.
KAMU SEDANG MEMBACA
For A
Teen FictionKata orang-orang, tidak ada yang namanya persahabatan antara laki-laki dan perempuan. Yah, aku tahu itu, tapi aku tak percaya. Ada kok. Buktinya? Aku. Tapi kenyataannya, akulah yang terjatuh dalam pesona sahabatku sendiri. Demi apapun, aku menyes...