For A [10]

119 8 15
                                    

Rindu itu memang sakit. Melihat dari kejauhan itu juga sakit. Tapi yang lebih sakit itu, kamu punya rasa dan kamu tidak bisa mengungkapkannya karena takut menghancurkan segalanya yang sudah tersusun sempurna.

***

Alvin menghela napas. Rupanya, sahabatnya itu tidak peka. Alvin kira hanya cowok yang punya sifat seperti itu, nyatanya cewek juga.

Padahal Alvin sudah berusaha untuk memberikan detail tentang perempuan yang dimaksud Alvin. Dan Afrida tetap saja tidak mengerti sedikitpun tentang maksud Alvin.

"Bego sih, Af. Yang gue maksud tuh lo!" serunya kesal yang kemudian mengacak rambutnya.

"Siapa coba cewek yang perhatian banget sama gue, suka ngerjain tugas gue, suka bantu gue ngerjain soal? Elo Af, elo! Nggak ada selain lo," Alvin terkekeh miris. "Bahkan Jia aja jarang banget perhatian sama gue."

Alvin melangkah keluar kamarnya untuk menuju balkon. Ia merasa kepalanya pusing.

Bawel🐷

Kepala gue pusing, gue tidur dulu ya, Af.
Night Af, nice dreams.

Selesai mengirimkan pesan itu, Alvin memasukkan ponsel ke saku celana pendeknya. Ia memandang ke arah langit, merasakan sensasi angin malam yang menerpa kulitnya.

Alvin menyentuh dadanya, merasakan getaran yang ada saat ia melirik Afrida siang tadi. Melihat Afrida bercanda bersama Gara entah kenapa membuat dadanya terasa panas seperti terbakar. Benarkah Alvin cemburu pada Afrida?

Alvin menghela napas. Tatapannya masih mengarah pada langit, tetapi pikirannya tidak ada pada langit itu. Lebih tepatnya, Alvin sedang menerawang dan merenungkan ucapan Afrida.

Apa iya gue sayang dia karena dia perhatian?

Entahlah, Alvin tidak peduli. Dia hanya ingin membiarkan semua ini berjalan dengan sendirinya. Kalaupun benar ia menyukai Afrida, ia harap rasa itu bisa bilang karena sepertinya Afrida merasa biasa saja dengan Alvin.

***

Blam!

Suara pintu yang ditutup dengan keras itu terdengar menganggetkan orang di sekitarnya. Dan pelaku penutupan pintu itu adalah Afrida.

Afrida segera mengunci pintu kamarnya. Cewek itu menonjok pintu berkali-kali untuk menyalurkan kekesalannya. Ia menghiraukan tangannya yang sakit dan sekarang lecet tergores pintu.

"Argh!" Afrida berlari menuju kasurnya, lantas melemparkan tubuhnya ke kasur dengan posisi tengkurap. "Salah apa sih gue? Kenapa mama selalu suka banding-bandingin gue?"

Dada Afrida berkecamuk, seperti ada sesuatu yang ingin meledak. Rasanya tidak enak, sakit, panas, dan benci. Afrida benci dirinya sendiri. Benci dirinya yang tidak pernah bisa membuat kedua orangtuanya puas. Benci dirinya yang selalu disalahkan.

"Kenapa sih hidup gue harus kayak gini? Nilai bagus nggak pernah dipuji, nilai jelek disalahin. Terus gue harus gimana?" ucap Afrida dengan lirih. "Mama sama papa belom tau aja kelakuan temen-temen gue kayak gimana di sekolah."

Afrida menarik napas dalam-dalam, ia tidak dapat menangis. Meskipun napasnya tersendat-sendat seperti orang menangis, tetap saja air mata itu sulit menetes.

For ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang