For A [9]

125 7 21
                                    

Aku akan selalu berjuang agar bisa bersamamu, meskipun semesta berulangkali menentang dan menghalangiku.

***

"Anjir, Gara, nanti gue jatoh!"

Seruan itu terdengar begitu berisik di depan kelas ipa tiga dan empat, disertai dengan suara cekikikan dan pekikan. Tentu saja suara itu berasal dari bibir Afrida yang kini tengah berada di depan kelas ipa tiga, sedangkan suara cekikikan itu berasal dari Gara.

"Gara, jahat banget sih!" Afrida berseru lagi.

Dina yang melihati Afrida hanya senyum-senyum mengejek, yang tentu saja dibalas pelototan oleh Afrida. Sedangkan Gara masih sibuk dengan usahanya menjatuhkan Afrida dengan cara menyandung kaki Afrida dari belakang sambil memegang tangan kanan Afrida.

"Kak Olvaaaaa, bantuin gue!" rengek Afrida sambil menatap Olva yang sedang mengobrol bersama Dean dengan tatapan memelas.

Olva hanya tertawa melihat Afrida yang seperti itu. Ia mengabaikan Afrida. Bukan kakak gue, sumpah deh, batin Afrida geram dengan kelakuan kakaknya.

"Kak, jahat banget sih. Bantuin kek!" Afrida manyun. "Gar, lepasin elah. Nggak bisa jatoh jug—anjir!" Gara tertawa ketika berhasil membuat Afrida oleng. Untung saja Afrida tidak jatuh karena Gara memegang tangannya. Gara tidak akan tega menjatuhkan perempuan, tidak.

"GARA!" Afrida melotot setelah Gara melepaskan cekalan tangannya dan berlari menghindari Afrida. "SINI LO!" serunya galak sambil membawa buku Dina yang berhasil ia buat tabung tanpa tutup.

"Kaga bisa wlee!" Gara malah mengejek Afrida sambil menjulurkan lidahnya.

"Bodo ih!" Afrida mendelik ketika Gara sudah masuk ke dalam kelas. Ia beralih menatap Olva yang masih asyik mengobrol. "Lo ya Kak, tega banget sih sama adek lo."

Olva hanya menatap Afrida dengan datar. "Apa dah? Lagian lo kan nggak jatoh. Lebay kan," ujar Olva.

"Bodo Kak, bodo." Afrida berjalan menuju Dina yang sedang duduk di lantai depan kelas. "Si Gara kampret banget anjir!"

"Cieee, seneng kan lo? Ngaku aja deh! Hahaha!" ejek Dina yang otomatis membuat Afrida mendelik kesal.

"Seneng apanya? Ya kali orang mau dijatohin seneng."

"Halah-halah, ngaku aja deh lo!"

"Nggak!" Afrida berseru kesal. "Udah ah, ayo masuk! Tuh, Papa udah dateng!" Ucapan Afrida disambut lirikan dari Dina. Dina mengamati guru Matematika mereka yang lebih sering disebutnya 'Papa'.

Pada akhirnya, Dina mengikuti langkah Afrida yang telah memasuki kelas dan duduk di bangkunya.

Wajah Afrida berubah berseri-seri karena melihat guru Matematika Peminatannya, yang bernama Pak Fajar itu. Pak Fajar adalah tipe guru yang sangat disukai oleh Afrida. Bukan, bukan karena guru itu masih muda, Pak Fajar bahkan sudah memiliki dua anak di rumahnya. Namun, Afrida menyukai Pak Fajar karena cara mengajar guru itu sangatlah menyenangkan baginya, padahal bagi teman-temannya, guru itu sangat ganas.

"Pak, kemarin ada tugas!" Seruan Afrida ditanggapi pelototan dari teman sekelasnya. Sontak kelas menjadi ribut untuk menyalahkan Afrida karena telah membeberkan tugas yang mereka tidak kerjakan.

"Apa? Ya terus salah siapa belom ngerjain tugas?" ucap Afrida dengan tatapan datar pada teman sekelasnya.

"Huu, dasar sok pinter!"

For ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang