Karena sejatinya persahabatan itu saling menguatkan dan mendukung sahabatnya yang lain, bukan malah merubahnya menjadi orang lain.
***
Langit pagi hari ini tampak mendung, beberapa awan terlihat menggumpal dengan warna gelap. Matahari juga tidak terlihat barang seberkas sinarnya saja. Angin bertiup lembut dari arah timur, membuat orang yang tertabrak olehnya menjadi kedinginan. Tentu saja hal ini disyukuri oleh para siswa, karena cocok untuk acara hari ini yang kebetulan adalah upacara. Karena nantinya, siswa-siswa yang lain tidak perlu mengeluh karena kepanasan dan berakhir dengan pingsan.
Afrida sudah duduk di depan kelasnya sejak cuaca masih terang tadi. Ia duduk sendirian karena Dina belum juga datang, kemungkinan Dina sedang melaksanakan tugasnya sebagai anak PKS (Patroli Keamanan Sekolah).
Afrida melirik kesana-kemari, barangkali menemukan Dina yang telah kembali dari tugasnya. Melihat tidak ada tanda-tanda kedatangan Dina, ia kembali menatap ponselnya. Afrida mengusap layar ponselnya ke atas untuk meneruskan bacaannya yang ada di ponsel.
Beberapa menit membaca, ia memijat pangkat hidungnya karena merasa pusing. Matanya terasa lelah berada di hadapan ponsel terlalu lama, membuatnya yang sudah mengantuk semakin mengantuk.
"Af!!" Afrida terlonjak kaget kala bahunya ditepuk oleh Dina dari belakang.
"Kampret, Din!" Afrida menatap Dina dengan kesal. Dina tengah duduk di sampingnya sekarang.
Sementara Dina hanya menampilkan senyum lebarnya. Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, yang menunjukkan pukul enam lewat empat puluh lima menit, yang artinya lima belas menit lagi upacara pengibaran bendera akan segera dimulai.
Dina berdiri. Sontak Afrida mendongakkan kepalanya. "Mau ngapain?"
Dina mengedik pada tas punggungnya. "Naroh tas di bangku, bentar ya, jangan kangen!" Dina nyengir lebar sebelum masuk ke dalam kelasnya.
"Najis!"
Seruan Afrida dibalas tawa oleh Dina yang sedang berjalan masuk ke kelasnya.
Afrida kembali celingukan. Tak sengaja matanya menangkap langkah kaki seseorang dari lorong utama. Afrida menaikkan pandangannya menuju wajah orang itu, dan menemukan tatapan tajam mengarah padanya, yang berasal dari Alvin.
Afrida gelagapan sendiri, lantas dengan cepat mengalihkan pandangannya ke rumput-rumput yang tumbuh di halaman depan kelasnya. Ia merasakan jantungnya yang berdetak dua kali lebih cepat. Bukan, bukan karena Alvin menatapnya tajam—karena Afrida sudah sering mendapati tatapan seperti itu— tetapi karena ada sesuatu. Entahlah, Afrida tidak mengerti.
Ia sibuk melamun—pura-pura melamun lebih tepatnya—untuk menghindari bertatap muka dengan Alvin. Apalagi kelas sudah lumayan ramai, terlebih ada Jia di dalam kelas. Afrida tidak mau tertangkap basah oleh Jia kalau dia masih berhubungan dengan Alvin. Bisa tamat riwayat Alvin dan juga Afrida.
Tringg! Tringg! Saatnya upacara bendera. Diharap para siswa segera memasuki lapangan upacara.
Suara bel nyaring itu sontak membuat para murid yang ada di dalam kelas berhamburan keluar. Dengan santainya Afrida berjalan menuju kelas untuk mengambil topi yang masih tergeletak di dalam tas.
"Lama amat sih lo, Af! Cuma ambil topi juga," gerutu Dina saat Afrida sudah berada di luar kelas.
"Ngapain sih buru-buru? Hidup tuh harus dinikmatin kali, Din."
"Iya, kalo kena marah lo nikmatin ye! Gue sih ogah, ayo ah!" Dengan tidak sabaran Dina menarik Afrida agar menuju ke lapangan. Sementara itu, Afrida hanya memutar bola matanya dan mengikuti langkah Dina.
KAMU SEDANG MEMBACA
For A
Teen FictionKata orang-orang, tidak ada yang namanya persahabatan antara laki-laki dan perempuan. Yah, aku tahu itu, tapi aku tak percaya. Ada kok. Buktinya? Aku. Tapi kenyataannya, akulah yang terjatuh dalam pesona sahabatku sendiri. Demi apapun, aku menyes...