For A [13]

92 8 5
                                    

Karena aku sudah lelah hanya menjadi bayang-bayangmu dan juga menjadi selinganmu. Hidupku bahkan lebih berharga dari itu.

***

Panas terik matahari terasa membakar kulit di siang Jum'at ini. Bahkan pohon-pohon yang tumbuh di sepanjang jalan itu hanya membantu menghalau sedikit dari terik sinar matahari. Jalanan yang masih berbentuk bebatuan itu menambah kekesalan orang-orang yang melewatinya. Sudah panas, jalanan tidak rata pula.

Itulah yang dirasakan Afrida. Dengan wajah ditekuk dan pakaian pramuka lengkap yang telah melekat di badannya, ia memegang barang bawaannya dengan susah payah. Itu semua dikarenakan Afrida pergi ke lapangan bersama kakaknya, dan kakaknya tetap kekeuh menuju lapangan melalui jalan yang katanya akan lebih singkat.

Padahal, perkataan Afrida lebih benar. Karena Afrida lah yang lebih mengetahui lokasi dilakukannya perkemahan pramuka untuk menyambut tamu tegak. Dan kakaknya yang kekeuh membuat kekesalan Afrida meningkat.

Saat sudah sampai lokasi perkemahan, Afrida celingukan untuk menemukan keberadaan Dina yang katanya sudah sampai di lokasi. Afrida menemukannya dalam kecepatan kilat. Dengan malas-malasan Afrida menurunkan barang bawaannya dari motor kakaknya.

"Makasih ya, Kak!" serunya berusaha tersenyum sambil menyalami tangan kakaknya.

"Iya, hati-hati ya lo. Baik-baik disana. Nanti kapan-kapan gue jenguk," ujar Cesa, kakak Afrida seraya mengangguk.

"Iya Kak, santai aja. Eh Kak, mending lo lewat sana aja deh," Afrida menunjuk arah yang berlawanan dari asalnya datang. "Lebih deketan lewat sana, gue udah pernah lewatin soalnya."

Kakaknya memandang jalanan yang ditunjuk oleh Afrida. Dia terdiam sebentar, lantas kembali menatap Afrida. "Nggak deh, besok aja. Gue nggak tau jalannya yang bener. Ntar takutnya tersesat."

Afrida mengangguk. "Ya udah deh. Kakak hati-hati di jalan ya."

"Iya, udah sana lo sama temen lo. Gue duluan," pamit Cesa sambil menyalakan motornya dan mulai menjalankannya untuk kembali ke rumah.

Afrida dengan malas-malasan mengangkat barang bawaannya yang terbilang ringan itu ke tempat dimana Dina dan teman-teman cewek satu kelasnya berada.

Setelah semua barangnya sampai di tempat tujuan, Afrida langsung meletakkan pantatnya di rerumputan. Ia mengambil botol minum dari tasnya karena kehausan, lalu meminumnya hingga seperempat botol.

"Sumpah haus banget gue, mana kakak gue ngeyel lagi. Sebel kuadrat!" ucapnya seraya memasukkan kembali botol minumnya ke saku tas.

Dina tertawa melihat wajah sebal Afrida. Cewek itu menepuk-nepuk pundak Afrida dengan wajah sok prihatin. "Yang sabar ya, Af. Lagian, lo masih mending kayak gitu. Lah gue? Bawa-bawa semua bahan buat bikin pagar, terus pake motor pula. Ngenesan mana coba?"

"Ngenesan gue!" Afrida melirik Dina dengan sinis. "Nih liat, tadi gue dibawain roti sama mama. Lumayan lah buat ganjal perut."

"Wah, enak tuh Af. Buka dong, gue mau ikutan makan." Dina nyengir tiga jari.

"Makanan mulu yang lo pikirin," ucap Afrida sambil mendorong pelan dahi Dina. "Itu bambunya nggak dibawa ke lokasi?"

"Kan belom diundi tempatnya, Bego!" Dina balas mendorong dahi Afrida.

"Lah, iya kah?" Afrida menampilkan wajah polos yang membuat Dina semakin ingin menjedotkan dahi Afrida ke tembok.

"Iya. Tunggu makanya."

For ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang