"Tidak ada manusia yang benar-benar jahat. Semua itu tergantung sudut pandang mereka. Bukan mereka yang jahat, tetapi mereka salah dalam memilih suatu sudut pandang."
***
Afrida berdecak kala menjatuhkan buku yang dibawanya ke lantai kamar Olva. Ia kemudian menghampiri Olva yang sedang berbaring di kasur, dan ikut menjatuhkan tubuhnya di benda empuk itu.
"Lo udah ngerjain PKn? Gila, tugasnya banyak banget," keluh Afrida sambil menolehkan kepalanya ke arah Olva.
Olva merespon dengan gumaman, masih setia memelototi benda elektronik yang ada di kamarnya.
"Kaak? Gue tuh nanya, jangan dikacangin." Olva tetap diam, tak menghiraukan ucapan Afrida sedikit pun.
"Ihhh, bangun lo! Dih, gue acak-ac—" Afrida melotot ketika Olva membungkam mulutnya dengan tangan.
Afrida melepas cengkraman tangan Olva dari mulutnya dengan cepat. Ia mencubit tangan Olva.
"Tangan lo bekas apaan?! Bau banget, anjir!"
Olva melihat tangannya, lantas tertawa. "Abis cebok," ucapnya dengan cengiran.
"Najis ih!" Afrida menabok lengan Olva berkali-kali. Olva yang gemas langsung memegang kedua tangan Afrida.
"Berisik lo! Tugas apa? Sana cari sendiri."
Afrida memutar bola mata. Gadis itu lalu turun dari kasur dan berjalan menuju meja belajar Olva. Afrida mengacak-acak buku yang sudah Olva tata serapi mungkin di lemari yang ada di meja belajar itu.
"Ih, mana sih, Kak? Kok nggak adaaa?" rengek Afrida setelah mencecerkan buku-buku Olva di atas meja belajar.
Olva berdecak. Ia memilih untuk turun, mencegah Afrida yang akan mengobrak-abrik bukunya lebih parah lagi dari sebelumnya.
"Emang lo belom selese?"
Afrida dengan tampang tak berdosa menggeleng pelan sambil menunjukkan cengiran di wajahnya.
Olva menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya sarkas, menepuk-nepuk puncak kepala adiknya, kemudian dengan gemas mengusap-usap dahi Afrida sambil ditekan.
"Hobi banget nyakitin gue sih!" gerutu Afrida sambil mengusap dahinya yang menjadi korban kekerasan sepupunya.
"Tuh otak keknya udah nggak waras deh, Af," sahut Olva yang dilanjutkan dengan tawa.
Afrida mencebikkan bibir. Ia merebut buku yang tadi Olva ambil dari salah satu buku yang telah Afrida cecerkan.
"Tugas Biologi lo kemaren gimana? Udah ngerjain?"
"Belom." Afrida meletakkan buku tugas Olva ke lantai. Ia lalu menyalin tugas Olva dengan posisi tengkurap di lantai.
"Gue nggak habis pikir deh sama jalan pikiran lo. Biologi dikumpul kapan?"
"Hari Jum'at, masih besok. Dikerjain besok juga sampe."
Olva lagi-lagi menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jangan males-males, nilai lo makin turun ntar. Hp mulu yang dipelototin." Ia ikutan tengkurap di dekat Afrida sambil membawa buku tugas Biologinya. "Gue aja ngerjain ini kemarin sampe jam satu," lanjutnya.
"Eh, Kak. Hidup tuh dibuat santai aja, jangan dijadiin beban. Yang ada nanti lo malah stres, kan parah."
Olva memandang Afrida lama. Kemudian ia mengangguk-angguk, "Iya juga ya. Nanti kalo kebanyakan beban kan jadi stres gitu."
Afrida lantas tertawa melihat kakaknya yang manggut-manggut. Ia kembali fokus menulis beberapa jawaban sambil membacanya sekilas. "Kak, kok ini panjang banget sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
For A
Teen FictionKata orang-orang, tidak ada yang namanya persahabatan antara laki-laki dan perempuan. Yah, aku tahu itu, tapi aku tak percaya. Ada kok. Buktinya? Aku. Tapi kenyataannya, akulah yang terjatuh dalam pesona sahabatku sendiri. Demi apapun, aku menyes...