He's Gone [END]

141 31 36
                                    

Rintihan rindu memang instrumen paling sendu bagi jiwa-jiwa yang menunggu.

Kayla terbangun dari tidurnya. Matanya membuka dan langsung tergesa melihat ke arah jam dinding. Tepat sekali. Ia melakukan kembali kesalahan yang fatal.

Ia seolah membohongi dirinya sendiri. Mana yang katanya ia berniat untuk bangun lebih awal dari pagi agar bisa melihat Rey untuk yang terakhir kalinya di Bandara?

Kayla membuka jendela kamarnya dengan penuh sesal. Matanya menatap lingkungan sekitar yang nyaman, tidak lupa dengan langit yang tiada bosan untuk dipandang.

Dilihatnya sisa purnama yang tenggelam membawa bayangan malam. Juga sang fajar yang menjanjikan harapan besar menuai rindu dan menebar damai.

Hanya kata-kata yang bisa menggambarkan indahnya pagi ini. Bagaimana bisa ku ungkapkan tentang embun pagi, tentang rerumputan, tentang terik mentari, tentang kicauan burung, tentang angin yang seolah bersatu melukis keindahan alam di pagi hari ini.

Tapi..saat aku melihat kembali jam dinding yang sudah menunjukan pukul 06:45. Semuanya seperti sirna. Bahkan dengan kata-kata pun aku tidak bisa lagi menggambarkan bagaimana perasaanku yang benar-benar kacau saat ini.

Langit pun terlihat tidak lagi indah. Ia seolah berubah warna menjadi hitam pekat sama seperti hatiku yang kini kelam. Semuanya terasa hampa tanpa suara.

*drrt (one message notification)
Rey : Bisa ke taman sekarang gak?

Kayla tersontak. Bagaimana bisa? Bukannya Rey jelas memberitahu bahwa ia akan berangkat tepat pukul 06:30?

Kayla langsung bergegas, bersiap-siap secepat kilat sebelum akhirnya ia turun ke lantai dasar, meminta agar pak Rudi dapat mengantarkannya pergi ke taman sekarang juga.

*****

Sesampainya di taman, Kayla langsung terburu mendekatkan diri kepada seorang pria yang sudah terduduk di bangku panjang berwarna putih, seperti biasanya.

"Rey.."
sapaan yang sama disetiap kali Kayla ingin memulai pembicaraan dengannya.

Pria tersebut menoleh, membuat harapan yang sangat besar sekali menjadi pupus tertanam. Semuanya seperti bunga yang layu, bahkan sudah mati. Dan bunga yang telah mati tidak akan pernah bisa tumbuh kembali.

Terkadang apa yang kita harapkan adalah yang tidak menjadi kenyataan. Pria tersebut ternyata bukan Rey, melainkan Bagas.

"Eh Kay, akhirnya lo dateng."

Bagas menggeser posisi duduknya, dan Kayla langsung terduduk di sebelahnya.

"Maaf ya."

"Maaf buat apa?" Tanya Kayla.

"Maaf kalo lo berpikir bahwa Rey yang bakalan duduk disini. Maaf kalo gue udah buat lo kecewa."

"Kecewa..karena apa?" Kayla bingung.

"Di perjalanan, lo pasti punya harapan yag besar kalo Rey itu nggak jadi pergi kan?"

Kayla mengangguk.

"Disini gue ngewakilin Rey buat minta maaf. Karena dia udah pergi."

"Maaf karena gue yang harus ada disini. Taman ini kan seharusnya jadi tempat spesial buat lo sama Rey."

"Gue kesini cuman buat menuhin tugas doang kok."

Bagas terus saja bicara. Sedangkan Kayla hanya terdiam, melamunkan kalimat-kalimat yang belum lama Bagas katakan tadi bahwa...

Rey udah pergi.

"Kay, kok lo malah bengong?"

"Eh..iya."

Seperti Musim yang Sementara [Completed]Where stories live. Discover now