1

1.4K 41 49
                                    

CUACA sekarang badai hujan berpetir.

Ia tak menghiraukan sambaran demi sambaran. Dengan langkah pelannya, ia berjalan menyusuri jalanan sepi di tengah perumahan. Apa yang baru saja Evelyn lihat sebelumnya benar-benar suatu trauma mendalam selama ini. Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Terlebih, ia harusnya sudah mulai bisa merasakan kebahagiaan dari seorang pria yang ia cintai selama hidupnya.

Matanya membengkak, tenggorokannya kering karena sudah cukup lupa terseduh kesedihan. Pakaiannya yang basah membuat lekuk tubuhnya menyatuh dengan kemeja putih yang ia kenakan.

"Evelyn!"

Ia tahu suara itu, namun ia tidak ingin menghadapinya sekarang. Hatinya terlalu larut dalam luka yang tergores ini. Sendirian adalah kunci untuk sedikit menutup goresan.

Wanita seumuran dengannya itu mengejarnya sambil membawa payung. Ia membagi payungnya dengan Evelyn, meski wanita itu tak merespons apapun.

"Jangan bodoh hanya karena dia. Kau terlalu berharga untuk disakiti oleh pria seperti itu."

Mulut Evelyn membisu, tak bergerak sama sekali, ia tak ingin memikirkan apapun sekarang. Yang ia rasakan saat ini hanyalah kekosongan semata.

"Ayo, pulang! Nanti kamu sakit. Cukup ragamu aja yang sakit, fisikmu harus tetap sehat, Lyn. Ingat, besok ada meeting sama client."

Evelyn terkekeh sesaat. "Bahkan dikondisi seperti ini, kau masih sempat-sempatnya membicarakan pekerjaan."

"Tentu saja! Aku tak akan membiarkan diriku diperbudak oleh yang namanya cinta. Itulah prinsipku, Nadira Laksamana."

Nadira memang satu-satunya manusia yang mengerti dengan keadaan Evelyn. Ia tak pernah gagal dalam mewarnai kehidupan Evelyn yang suram dan Hitam-Putih saja.

Nadira membukakan pintu rumah untuknya, ia segera masuk dan memberikan handuk hangat kepada sahabatnya itu.

"Jangan terlalu larut. Aku memang tidak terlalu paham dengan luka yang kau hadapi saat ini, tapi setidaknya aku ingin kau masih punya tujuan hidup."

"Apa itu?"

"Mencarikanku jodoh! Apalagi?" Evelyn bodoh! Haruskah aku mengatakan itu berulang-kali setiap ia terluka. "-ya sudah, aku hangatkan air terlebih dahulu. Cepat keringkan badanmu itu, baunya seperti air got!"

"Ah, iya." Evelyn terus membersihkan tubuhnya dari butiran hujan yang telah membasahinya. Sejenak dapat ia lupakan kejadian itu, tapi itu hanya beberapa saat saja. Evelyn terlalu banyak berpikir, kepalanya terasa berat sekarang, mungkinkah ini akhir dari segalanya?

Kejadian yang tak pernah Evelyn bayangkan dalam hidupnya. Ia memang sudah cukup sering diselingkuhi oleh Bram, tapi yang kali ini membuatnya terguncang hebat! Bagaimana mungkin Bram berselingkuh dengan istri seseorang?! Apa kata dunia melihat perilaku pacarnya itu? Bahkan Evelyn ragu untuk menganggapnya pacar atau pecundang.

Apa yang merasuki otak pria itu hingga nekat berbuat hal tak senonoh dengan wanita bersuami? Konyol sekali, harusnya hal ini bisa Evelyn jadikan alasan untuk putus dengan Bram, tapi hati kecilnya terus merontah dan seolah memohon agar ia tak mempercayai apa yang ia lihat mentah-mentah.

"Evelyn! Astaga, malah melamun."

Evelyn merespons dengan ujung matanya, ia melihat Nadira sudah memasang wajah emosi yang sudah siap ia layangkan pada Evelyn.

"Cukup, Evelyn! Aku menyarankan kau agar segera putus dengan Bram. Kau sampai serusak ini."

Evelyn melanjutkan bersih-bersihnya, seolah tak mendengarkan apa yang Nadira katakan. "Seandainya semudah itu, Nad."

It's Never Enough!!! [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang