XIV. Teen-Fic

120 12 3
                                    

Judul: Aku, Kamu, dan Keyakinan Kita
Genre: Teen fiction
     Sore itu, bertemankan senja yang mulai pudar, tergantikan malam yang merangkak datang, gadis dengan jilbab merah hatinya duduk di teras rumah orang tuanya. Satu cangkir teh hangat tersisa setengah, terabaikan di atas meja di sampingnya.

     Matanya menatap kosong taman depan rumahnya yang biasa diurus Bundanya. Bibir pucatnya menghela nafas pelan, mengingat kembali cinta tak terbalaskan dan takdir yang sedang memainkan peran.

     Satu minggu ia dirawat, satu minggu itu juga dia kehilangan sosok Ian di hidupnya. Bukan, tidak satu minggu, tapi selamanya.

     Rumahnya kosong tak berpenghuni. Ayahnya bekerja dan Bundanya keluar ke rumah saudara. Meninggalkan dirinya ditemani kegelapan dan berselimut dinginnya malam.

     Andrian Kevin Putra

     Bibirnya masih bisa merapalkan nama itu dengan sempurna. Mata hitam legamnya, wangi parfumnya, hidung tegasnya, tawanya, amarahnya, semua terputar tiba-tiba di kepalanya. Ingin rasanya dia hilang ingatan saat itu juga dan bertingkah selayaknya tak pernah terjadi pertemuan di antara keduanya. Menghilangkan rasa yang kian hari kian bertambah. Hanya tinggal menunggu waktu yang akan menghancurkan, dan hati yang akan lelah berharap karena tidak adanya kepastian.

     Dia, Nayla Putri Fajri, pernah berharap pada seseorang yang membuatnya bersemu tanpa alasan. Ketika diam-diam matanya selalu mencuri pandang pada lelaki yang membuat perutnya bergejolak tiap kali melihat sosoknya.

     Semuanya berjalan sesuai harapan, Nayla yang sengaja mengikuti ekskul marching band karena ada Ian di dalamnya, membuat dirinya memiliki alasan untuk hanya sekedar bertukar sapa atau membahas hal dari ekskulnya.

     Hingga tiba waktunya, ketika takdir memulai bagiannya, menjatuhkan Nayla pada palung laut terdalam, menginjak harapannya hanya dengan sebuah kata. Keyakinan.

     Hati Nayla patah, menyaksikan sang takdir yang memperlihatkan padanya, sosok yang ia puja memasuki rumah ibadah yang berbeda. Belum lagi tawa lelaki itu yang sengaja terlontar karena ocehan gadis cantik di sampingnya, menabur garam pada luka yang masih basah.

     Hati Nayla teriris pisau berkarat secara perlahan. Mencoba mengabaikan fakta yang menampar dirinya, bahwa mereka berbeda agama.

     Sejahat itukah takdir ketika memainkan perannya?
Salah apa Nayla dikehidupan sebelumnya hingga kini ia mendapat kejutan tak terkira?

     Ian datang dengan sejuta kebaikan, membutakan mata Nayla yang terkagum akan sosoknya yang rupawan, mengesampingkan latar belakangnya dan terfokus memperhatikan kegiatan hariannya. Hingga tiba-tiba takdir menyentil dahinya, membuatnya sadar dan membuka mata, bahwa mereka tak seagama.

     Sebuah batas tak kasat mata yang tak bisa dilewati oleh siapa pun. Sebuah kodrat yang tak bisa dilanggar, bahwa ketika dua insan berbeda keyakinan dilarang menjalin hubungan. Memang semua akan mudah jika salah satu mau merubah keyakinan. Tapi maaf, keyakinan, agama, dan Tuhan bukan hal semudah itu untuk di tinggalkan.

     Ian terlahir di sebuah keluarga yang meyakini Tuan Jesus sebagai Tuhannya. Dan Nayla terlahir di keluarga yang meyakini Allah SWT-lah sang Maha Pencipta.

     Disini, Nayla lah yang salah. Beraninya menyimpan rasa pada lelaki yang tak jelas latar belakangnya. Salah Nayla yang tak pernah mencari tahu, salah Nayla yang tak mau terbuka pada sahabatnya, salah Nayla yang tak pernah memiliki anggapan bahwa bisa saja mereka berbeda keyakinan. Dan kini, semuanya jelas sudah.

     Nayla mencoba melupakan. Tapi semakin ia memaksa, semakin dalam pula sosok lelaki itu memasuki otaknya. Seolah tak mau pergi dan tetap mempermainkan dirinya.

     Selucu itukah takdir yang tertulis untuk Nayla? Hingga tepuk tangan saja tak cukup untuk mengapresiasinya. Bagai buah simalakama, Nayla akhirnya hanya bisa diam. Menikmati alur hidupnya yang mengombang-ambingkan dirinya.

     Yang jelas, Nayla sudah memutuskan untuk mundur dari hal yang tak pernah ia mulai. Nayla tetap memilih Allah SWT sebagai Tuhannya. Membiarkan kepingan hatinya yang pasti akan tersusun lagi dengan datangnya orang baru dikehidupannya. Entah kapan hari itu tiba, tapi yang pasti, Nayla menikmati lukanya.

     Nayla hanya mampu tersenyum masam. Menyadari Ian yang mundur perlahan dan mencoba mengilang dengan pergi ke negeri orang. Nayla tahu, Ian menyadari sikapnya yang sering gugup jika berada di sampinya. Dan Nayla pun tahu, Ian tak pernah menyimpan rasa yang sama seprti yang dimiliki Nayla. Disini, Nayla berharap sendirian.

     Karena sedari awal cerita ini dimulai, Nayla hanyalah jiwa yang penuh kesendirian, dan sudah sewajarnya jika cerita ini berkahir dengan kembalinya Nayla dan kesendiriannya. Nayla tetaplah Nayla yang dengan lancangnya menyimpan rasa pada lelaki berbeda agama. Dan Ian tetaplah Ian yang dengan jahatnya tak pernah memberi tahu kebenaran dan semua inti permasalahan.

*****

Untuk kamu yang berbeda keyakinan denganku, kuberharap kita tetap menjalin hubungan pertemanan.
Karena hati ini akan sulit jika kamu tiba-tiba pergi tanpa pemberitahuan.
Biarlah hanya aku yang merasa, dan biarlah kamu tetap dengan ketidak tahuanmu, bahwa aku di sini diam-diam menanti hadirmu dalam mimpiku.

Hingga tulisan Tuhan yang akan membuatku lupa akan sosok dirimu.
biar sang waktu yang memberitahumu tentang perasaanku.
Sulit bagiku, menjadi figuran di cerita hidupmu.
Maaf karena telah lancang.
Semoga kamu tidak menjauh, walau kau tahu aku menyimpan harapan padamu.
Kuharap semuanya tetap sama, walau kau sudah tahu semuanya.

Mungkin harapanku hanya tinggal harapan.
Karena saat ini, aku sudah merasakan perubahan di dirimu.
Menjauhnya dirimu, matamu yang menghindari tatapanku, dan jarangnya sapamu untukku.

Nd
09 September 2017
Dari aku yang berbeda keyakinan denganmu

RS (Random Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang