XVII. Horor

97 11 3
                                    

Judul: Di balik Tirai
Genre: Horor

Dibalik tirai itu, aku melihat sesuatu yang tak ingin kulihat -Dera

***

"Adek, Bunda tinggal ya. Jaga rumah," ucap Bundaku dan mencium keningku.

Satu tas besar ditentengnya keluar beriringan dengan Ayah setelah mereka berpamitan padaku. Memasukkan ke dalam bagasi mobil dan melaju meninggalkan rumah.

Aku anak tunggal yang selalu ditinggal sendirian. Karena kedua orang tuaku selalu mengurusi pekerjaan yang mengharuskan mereka pergi ke luar kota, bahkan saat weekend seperti ini.

Aku membanting tubuhku di atas sofa ruang tamu. Kunyalakan volume televisi sebesar mungkin. Bi Sari sudah pulang dari pukul lima sore tadi. Dan kini tinggal aku sendirian. Tapi aku sudah menyuruh dua teman dekatku untuk menginap di rumahku, dan mereka menyetujuinya.

Tiba-tiba mataku menangkap sebuah undangan. Masih tersegel dan belum terbuka. Penasaran, aku membukanya. Ternyata sebuah undangan peringatan empat puluh hariannya Mas Jaka, tetanggaku yang meninggal karena kecelakaan.

Kalau tidak salah, dia menyukaiku. Begitu yang kudengar dari desas desus di kampusku.

Bosan pada acara tv yang itu-itu saja, aku berjalan menuju kamar untuk mengambil laptopku. Untuk sekedar menyicil tugas yang ada sembari menunggu datangnya Mita dan Putri, kedua sahabatku.

Beberapa saat kemudian samar-samar kumendengar suara ketukan pada jendela kaca depan. Aku mengecilkan volume tv dan berjalan keluar. Kubuka tirai yang menutup jendela.

Tak ada siapapun

Sudah kuduga suara tadi hanya perasaanku saja. Aku menutup tirai itu dan berbalik. Tapi tunggu, kurasa ada sesuatu yang janggal dari pekarangan rumahku.

Kubuka kembali tirai itu dan mengamati lamat-lamat pekarangan rumahku. Semuanya masih sama, tak ada apapun. Tapi satu, sesuatu berwarna putih dengan tinggi kira-kira dua meter berdiri di seberang jalan. Tak jauh dari lampu jalan. Aku menyipitkan mataku. Sialnya aku lupa memakai kaca mata minus ku.

Aku masih berdiri di tempatku ketika sesuatu itu berjalan mendekati lampu jalan. Bukan, tidak berjalan, lebih ke melayang.

Mungkin hanya anak-anak kampung yang iseng, anggapku.

Ya itu sebelum sesuatu itu berdiri tepat di bawah lampu jalan. Tiga ikatan melilit tubuhnya. Lebih tepatnya sesuatu itu adalah pocong.

Aku terdiam. Entah kenapa mataku tak bisa mengalihkan pandangan. Kepalanya yang tadi menunduk tiba-tiba menatapku.

Matanya merah.

Tiba-tiba ia menyeringai. Menampakkan semua giginya yang runcing. Air liur berwarna kehitaman keluar disela-selanya. Lengkap dengan belatung dan hewan melata lainnya.

Percayalah, aku berharap pingsan saat itu juga. Setidaknya, aku sangat ingin memjamkan mata. Tapi mataku tak dapat digerakkan.

Mas Jaka, ujar batinku tiba-tiba. Mungkinkah dia datang untuk pamit? Tapi kenapa dengan wujud seperti itu?

Hingga tiba tiba makhluk itu menghilang dan sedetik kemudian sudah ada di depanku.

Aku bisa melihat detil wajahnya. Tubuhku kaku. Dan faktanya, kita hanya terhalang selembar kaca.

*****

Nd
01 Oktober 2017

RS (Random Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang