XL. Cerita Penutup (2)

58 4 0
                                    

"Kamu nggak salat dulu?" tanyaku pada Sandra yang sudah memakai helmnya.

"Dirumah aja deh Kin, buru-buru soalnya. Adek aku nggak ada yang jaga."

"Yaudah, hati-hatinya."

"Assalamu'alaikum Kinan, duluan ya," seru Sandra dan berlalu pergi. Aku menjawab salam kemudain melanjutkan langkahku untuk ke masjid kampusku yang sudah terlihat di depan sana.

Aku berjalan sembari membuka ponselku yang sejak tadi pagi tak kubuka sama sekali. Memang benar apa yang dikatakan Sandra tadi.

"Katanya Kak Ahmad yang jadi imam," ucap dua temanku yang berjalan mendahuluiku.

"Imamable emang dia tuh," sahut salah satunya yang membuatku geleng-geleng kepala.

Aku meletakkan ponselku dalam tas, segera berwudlu dan mengambil shaf salat.

"Yaah, ternyata bukan kak Ahmad," keluh sebuah suara dibelakangku. Kuduga, pemilik suara itu adalah gadis yang tadi membicarakan kak Ahmad di jalan. Aku hanya tersenyum kecil. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran gadis-gadis itu.

Jika sudah seperti itu, Salatnya bukan lagi untuk Allah, namun untuk ciptaan-Nya. Padahal, hakikat salat yang sesungguhnya adalah wadah bagi kita untuk berkomunikasi dengan-Nya. Jika dari awal niatnya sudah demikian, maka sia-sia salatnya.

Astaghfirullah.

Setelah bersalam-salaman, aku langsung undur diri, mengambil barisan di belakang sendiri yang bersebelahan dengan tempatnya laki-lagi. Hanya dibatasi dinding kaca berwarna hitam saja.

Aku mendirikan salat sunnah ba'diyah isya'.

Seusai salam, kudapati seorang lelaki juga tengah salat di samping kanan ku. Aku melirik sebentar dan ternyata dia adalah Kak Ahmad.

Munafik jika aku tidak tertarik. Dia tampan, berkarisma, cara bicaranya luwes dan mudah dipahami, juga humoris. Aku jadi teringat tadi waktu Kak Ahmad menberikan joke garing yang sayangnya malah membuat seisi ruangan tertawa.

Aku gadis normal, dan wajar saja jika aku tertarik. Lebihnya, aku bisa lebih menjaga diri. Namun kurasa, ini hanya rasa kagum pada parasnya yang mungkin besok akan hilang. Lagipula kita tidak akan bertemu lagi sebab dia yang akan menempuh pendikikan S2 di kota lain.

***

Pendidikan S1 ku telah usai dua tahun lalu. Kini aku duduk diam bersama ibu dan kerabat disampingku. Tanganku sedari tadi memainkan ujung kebaya putih yang kukenakan. Ini kebaya ibuku yang dipakai beliau waktu akad dengan ayahku.

Ibuku mengelus punggungku bersama dengan kalimat penenang yang khas dari seorang ibu.

Disebrang sana, seorang pria sedang duduk berhadapan dengan Ayah tercinta. Kurasa dia sangat gugup, sama sepertiku. Namun ketika dia mengucapkan rentetan kalimat sakral itu, terdengar lantang tanpa getar.

Hingga seruan 'sah' membuatku tak kuasa menahan derai air mata. Entah apa yang membuatku sebegitu emosionalnya. Mungkin sebab status anakku telah tercabut dan terganti sebagai istri. Mungkin sebab tanggung jawab besar yang telah kuemban beberapa detik lalu.

Aku dituntun ibuku berjalan ke arah pria yang kini sudah menyandang status sebagai suamiku.

Ayahku menggenggam erat selembar sapu tangan yang beberapa kali diarahkannya ke kedua matanya. Aku menatapnya dan dibalas dengan senyuman indah seorang ayah.

Aku duduk di samping pria yang sedari tadi tak bisa menyembunyikan bahagianya. Mendengarkan dan mengamini doa yang sedang dibacakan.

Aneh rasanya memegang tangan pria selain ayah. Sebuah getar dan rasa hangat menjalar. Dibarengi dengan sebuah kecupan di keningku.

RS (Random Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang