1

144K 7.7K 124
                                    

Senja, aku selalu menantikannya. Saat itu semua beban luruh jatuh ketanah. Bebas dan ringan kurasakan. Menenangkan ketika memandang langit bergradasi orange bercampur merah.

Hidup dikota yang serba sibuk, polusi dan kendaraan dimana-mana, juga pekerjaan yang tidak ada habisnya. Bukankah terlalu membosankan? Untuk itu aku membutuhkan senja nampak dimataku. Sebagai penenang sekaligus penghilang letih. Sedikit warna bagi kehidupanku yang terlalu abu-abu.

Tanpa kekasih, tanpa ketulusan sebuah keluarga. Hanya dua teman baik kupunya yang terlihat tulus dan baik padaku melebihi keluargaku sendiri.

Satu dari mereka meneruskan pendidikan bahasa inggris di salah satu Universitas ternama dan satu lagi berada dijalan asmara yang bisa membuat iri semua orang termasuk diriku. Huft..

Sebagai seorang editor novel remaja, begitu banyak imajinasi soal cinta harus kubaca untuk diedit. Mengesalkan, ketika sesaat dalam hati menginginkannya. Dicintai. Sejujurnya tak pernah kurasakan.

Bertanya soal keluarga, ada. Mereka ada. Dua sudah punya kehidupan masing-masing meski selalu merepotkan kedua orang tuanya. Dan adik yang selalu minta diberi tanpa mau memberi. Aku tidak akan berarti apa-apa tanpa uang disampingku.

Akan beda perlakuan mereka, saat aku jadi seorang pengangguran dan saat bekerja dari pagi sampai malam. Aku bersyukur memiliki pekerjaan tetap seperti ini setelah sekian tahun menunggu dan karenanya mampu membuatku mendapatkan kasih sayang walau tak setulus kelihatannya.

Tapi aku, berusaha untuk tersenyum bahagia. Jika itu yang membuat keluargaku senang. Aku rela menjadi mesin penghasil uang demi kasih sayang mereka padaku.

Namun, dalam sekilas hidupku berubah.

Sore ini, sore terburuk yang ku lalui. Hal tak terduga datang menghampiri. Membuatku berada di persimpangan jalan.

Awalnya firasat itu ada. Tapi tak ku hiraukan. Toh, ini hanya sekedar undangan untuk bertamu. Bagaimana bisa menolak ketika orang tua teman terdekat meminta bantuan? Fikirku mereka butuh bantuanku karna sebentar lagi putri mereka, teman baikku menikah. Bantuan persiapan pernikahan mungkin?

Sayangnya.. Semua itu salah.

Kejutan datang padaku. Teman baikku kabur, padahal seminggu lagi hari bahagianya berlangsung. Lebih mengejutkan lagi, dia kabur sejak dua minggu yang lalu. Pantas saja tak pernah ada kontak darinya. Kiranya karena aku dan dia sama-sama sibuk hingga tak pernah memiliki wacana kumpul bersama lagi, sejak undangan nikah sampai di tanganku. Dia sibuk mengurus pernikahan dan aku sibuk bekerja.

Dua orang yang sudah kuanggap kedua orang tuaku sendiri, berdiri dengan raut kecewa, sedih dan memohon dihadapanku, untuk menggantikan posisi putri mereka.

Kebingungan melandaku. Ingin rasanya menolak. Tapi bimbang.

Tidak cukup bagiku waktu setengah jam berpikir dalam keadaan genting seperti ini.

Sampai getar ponselku berbunyi. Membantuku menemukan sebuah jawaban, yang tidak kusukai sama sekali. Tapi, harus tetap kulakukan.

Tolong, gantikan posisiku. Ada banyak yang ingin aku ceritakan. Namun, tidak sekarang. Jaga dia untukku. Kuanggap ini sebagai balas budi darimu atas semua bantuanku selama ini. Kumohon..

Mataku memandang nanar taman penuh bunga dihadapanku. Aku merasa buruk.

"Bagaimana?" dua orang berdiri didepan pintu kamar, menunggu jawaban dariku.

Sejenak menutup mata sebelum menoleh pada mereka, "iya, jika dia menyetujuinya"

Kebahagiaan tampak diwajah keduanya, "kita akan memanggil keluarga mereka. Semoga mereka menyetujuinya. Terima kasih sudah menyelamatkan kami dari rasa malu"

Seketika itu, aku tersenyum getir pada diriku sendiri. Menghadapi kenyataan, jika aku akan menjadi pengantin pengganti dan itu untuk jangka waktu yang tidak ku ketahui sampai kapan akhirnya.

***

Marsha Allice Noir menatap seseorang yang tengah berdiri dihadapannya dengan tatapan kebencian. Seolah apa yang terjadi kini, semua salah dirinya.

"Kenapa kau menyetujuinya? Lebih baik aku menanggung malu daripada menikah denganmu?"

Rahang mengetat keras dan wajah memerah menahan amarah yang menggebu-gebu.

"Kau tidak mengerti" ucap Marsha, sedikit bergetar.

"Aku tidak peduli apapun. Yang aku tahu kau datang disini hanya untuk melihatku menderita dan membicarakannya bersama temanmu itu lalu kalian dengan seenaknya menertawakan penderitaanku begitu. IYA!"

Air mata Marsha mengalir. Cukup terkejut dengan tuduhan pria itu padanya. Dia disini korban, tapi kenapa semua orang menganggapnya sebagai tersangka?

Prangg..

"Sial, jangan menangis dihadapanku! Aku tidak butuh air mata palsumu itu"

Marsha menutup kedua matanya. Dia ketakutan. Takut terkena lemparan vas yang pria itu layangkan tadi.

"Aku membencimu!"

Brakk..

Pintu itu ditutup kasar. Marsha terduduk pasrah diatas dinginnya lantai. Lagi dan lagi ia ditinggal seorang diri.

"Tuhan, dalam do'aku aku tidak pernah menginginkan kehidupan seperti ini. Tapi kenapa takdirku begini. Kata orang bahagia itu sederhana. Sesederhana apa itu, Tuhan? Aku tidak mengerti" gumam Marsha, tidak ada tempat pengadu baginya selain Tuhan sang pencipta alam dengan segala isinya.

Drrtt..drrrttt..

Ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk. Marsha tersenyum samar kemudian menghapus air matanya.

"Hallo"

"Marsha.." suara lembut dari seberang sana, membuat Marsha harus menahan tangisnya mati-matian.

"Ya.."

"Kau baik-baik saja? Aku sungguh tidak percaya ini. Kenapa Dia melakukannya?"

Marsha menarik nafas dalam dan mengeluarkannya perlahan, "Apa kau percaya? Jika aku berkata 'aku baik-baik saja'. Ini buruk Loviyah. Aku tidak tau, Dia pergi sebelum hari pernikahannya tanpa memberitahuku ataupun kau. Begitu saja pergi. Aku.."

"Sttt.. Kuatkan dirimu. Aku tahu ini berat. Aku akan mencarinya dan membawanya kembali sebelum hari pernikahan itu berlangsung. Kau tidak seharusnya menerima hal buruk akibat dari perbuatannya" sela seseorang yang dipanggil Marsha, Loviyah. Loviyah, salah satu teman baik Marsha yang meneruskan pendidikannya mengejar Strata satu Pendidikan bahasa Inggris.

"Jaga dirimu baik-baik. Aku tahu kau bukan perempuan lemah. Aku bersamamu. Datang padaku jika kau butuh, pintuku terbuka lebar untukmu. Kau tahu itu"

Tangis Marsha pecah, "Loviyah..terimakasih"

Marsha bersyukur. Disaat orang lain tidak peduli tentang hidupnya termasuk keluarganya sendiri, masih ada teman baiknya yang peduli padanya. Layaknya film kartun, Masha and the bear. Dirinya juga punya. Beruang yang selalu ada disampingnya. Pelindungnya. Dan penyemangat baginya.

Lelah menangis, Marsha tertidur disamping ranjang yang telah di hias setengah jadi, melati tergantung apik disekitar ranjang serta lilin aroma terapi yang menenangkan ada disekitar sana meski belum tertata apik dan belum menyala. Semua dalam ruangan itu menjadi saksi, rapuh, hancur dan terlukanya seorang Marsha Allice Noir.

Malam ini menjadi malam yang kelabu untuk dirinya. Seorang Pengantin Pengganti. Judul yang pas untuk kisahnya yang akan menjadi Pengantin Pengganti sebentar lagi. Miris.

Pengganti ( Selesai ✓ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang