Maka izinkan semua kulepas. Tidak mengapa kan? Kita harus melangkah, entah dengan saling menggenggam atau memisahkan diri.
Sungguh. Seandainya saja dapat kuputar ulang. Tapi, mengandai tidak dibenarkan dalam hidup. Manusia harus mempertanggung-jawabkan perbuatan. Memetik buah yang ditanamnya. Sepertiku.
***
"Apa menariknya buku itu sampai aku diacuhkan?"
Pertanyaan itu sontak membuatku menoleh ke asal suara. Dafa cemberut. Kalau tidak ingat dengan sikapnya yang suka kesal sendiri aku sudah tertawa melihat mimik mukanya. Sangat menggemaskan.
Kami sedang berada di daerah berbukit, menghabiskan waktu senggang. Udara di sini sangat segar, ditambah pemandangan yang menakjubkan. Apalagi kalau malam hari, kalian bisa menyaksikan kerlip lampu dari atas. Kami sering kemari, sudah tak terhitung.
Dafa memperbaiki posisi duduknya, menatap lurus ke depan. Kali ini setelah aku kembali fokus ke padanya dia gantian mengabaikanku.
Cukup lama sampai aku kesal.
"Lupakan saja! Aku mo pulang," ucapku segera berdiri, menepuk-nepuk rok yang kotor oleh rumput kering.
Dafa bergeming. Tidak ada niat menahan.
Merasa semakin diabaikan aku bergegas ke arah mobil yang terparkir. Tapi sial. Kenapa tidak terfikir kalau kuncinya dipegang Dafa, mana bisa aku masuk dan mengendarainya? Pantas saja dia tidak menahan.
Kepalang malu. Aku tidak mau kembali ke sana.
Menuruni bukit. Sepanjang jalan aku mengomel tanpa henti. Mengutuk Dafa yang tidak kunjung menyusul. Apa dia tidak takut aku kenapa-napa? Mana sepi lagi.
Setiap lima meter berjalan, aku berhenti, menoleh ke belakang, berharap Dafa menyusul. Tapi, alangkah menyebalkannya dia. Sudah hampir seratus meter tidak ada tanda-tanda kemunculannya. Menyesal telah merajuk seperti anak kecil.
Diiitttttttttttt, ...
Aku refleks ke pinggir. Klakson tadi membuatku terkejut. Untung tidak ada riwayat penyakit jantung dalam hidupku.
Lihalah! Dafa tertawa, seakan puas setelah mengagetkanku.
"Hey cantik, ikut Abang yuk!"
Bibirku mengerucut. Sempat-sempatnya dia menggoda. Aku tetap melangkah, pura-pura jual mahal. Dafa membuka kaca depan, fokusnya terbagi antara jalan dan aku yang tidak mau berhenti.
"Cantik, ayo dong! Nanti Abang beliin ice creeam," iming-imingnya tetap tak membuatku tergiur
"Ann-ku sayang, yang paling cantik, imut, dan pipinya mbem, ..." Dafa sepertinya sadar telah mengucapkan kata-kata terlarang itu segera menutup mulut dan menghentikan mobil. Dia keluar, menghampiriku.
"Ann," panggilnya setengah berlari, mencekal tanganku.
"Lepas!" Ucapku galak
Dia tersenyum. Bodoh kamu Alana jika luluh hanya melihat senyumnya yang mempesona.
"Ann, " ucapnya dengan nada memelas
"Kamu tau kesalahanmu?" Tanyaku
Dafa mengangguk, "mengucapkan mbem dan mengabaikanmu."
"Satu lagi, tidak segera menyusul saat aku marah," imbuhku
Dafa tergelak tapi cuma sebentar setelah melihat reaksiku
"Sorry," ungkapnya
"Kalo aku kenapa-napa gimana?" Kesal sekali aku pada sikapnya yang satu ini.
Dafa menggeleng, "tidak akan. Sekali pun kamu jauh, aku tetap akan menjagamu."
Entah kenapa aku menangkap kesungguhan pada kata-katanya barusan.
"Kalo aku sangat jauh, jauh sekali sampai tidak bisa digapai?" Tanyaku. Ada yang ingin kutegaskan. Tidak bisa kusebut saat aku merasa masih baik-baik saja. Penghalang itu tidak bisa menggunakan ancamannya untuk menggertakku.
"Aku akan menjagamu, selalu!" Dafa tersenyum.
Andai Dafa tau, seberapa banyak aku menyayanginya? Mungkin aku tanpa malu sudah menghambur, memeluknya, layaknya sepasang kekasih. Nyatanya, hubungan kami hanya sebatas sahabat yang saling menjaga. Meski sering bertukar kata cinta tapi tak pernah ada ikatan.
"Hey, Ann-ku kenapa menangis?" Dafa bertanya, aku menunduk. Menyembunyikan muka yang pastinya jelas sekali mengeluarkan air mata
"Tidak!" Aku menghapus air mata, mendongak, tersenyum.
Ada jeda. Kami terdiam, saling menatap, mencari kejujuran di mata masing-masing.
"Mbem, " ucapnya tiba-tiba. Aku melotot. Dafa lagi-lagi tergelak. Mudah sekali mengubah suasana hati.
"Ayo pulang!" Ajaknya
Aku menurut saat ia membukakan pintu mobil, menyuruh duduk di sebelahnya. Dafa memutar, melakukan hal yang sama kemudian fokus menyetir.
Sepanjang jalan kami tak saling berbicara. Entah apa yang dipikirkannya? Aku? Sedang memikirkan keputusan yang akan kuambil. Orang itu memberi tenggat sebulan.
Biarlah. Biar kupikirkan nanti. Aku ingin menghabiskan sebanyak-banyaknya waktu bersama Dafa.
Aku tidak ingat apa yang terjadi selanjutnya. Mungkin karena lelah aku jatuh tertidur.
***
Holaaaaaaaa.. . ..
Bagian ke tiga. Ngucap syukur, mblo, ... hahahahaNggak akan bosen bilang kalo ceritanya emang gaje dan datar. Typo mungkin berserakan.
Betewe, terima kasih yang bisa sampai sini bacanya. Aku sangat mengapreasi kalian. Semoga selanjutnya bisa lebih baik.
Jangan lupa, dukung Loopies ya dengan cara ninggalin jejak. Biar semangat nulisnya.
Salam, LoopiesFM
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji Alana (End)
RomanceKemarin aku melihatmu. Hal yang kutakutkan tak pernah terjadi, harusnya aku bahagia. Tapi, kenapa hatiku sakit? _Alana Kemarin aku melihatmu. Hal yang kuinginkan terjadi, harusnya aku bahagia. Tapi, kenapa hatiku sakit? _Dafa