Ann

1.1K 93 1
                                    

"Kau harus melihat ini, Raf!" Ucap Damian pada Rafael  melalui sambungan telepon, sedang arah matanya menatap Alana yang tengah menikmati segelas kopi bersama seorang laki-laki, tampak akrab.

"Jika tidak penting, jangan buang waktuku!" Sahut Rafael ketus

"Ini lebih dari penting, aku melihat Ann." Ungkap Damian tanpa basa-basi sembari tersenyum penuh kemenangan. Beberapa bulan mereka mencari tapi tidak ketemu, ternyata Tuhan mempertemukannya. Ini lebih dari mudah

"Baiklah. Aku ke sana." Rafael memutus sambungan sepihak tanpa salam. Sangat tidak sopan, tapi Damian tak ambil pusing. Dia terbiasa dengan kekurang-ajaran teman-temannya.

Pandangan Damian kembali fokus ke Alana dan teman prianya.

.

"Boleh duduk di sini?" Damian bertanya pada seorang gadis yang tengah duduk sendiri.

Tentu saja. Gadis itu tersenyum, melihat Damian yang tampan dan penuh pesona dengan sopan-santun dia mengangguk, "silakan."

Damian membalas senyumnya, kemudian duduk.

"Perkenalkan, namaku Damian, aku baru tiba di sini kemarin."

Gadis itu tampak gugup, sepertinya dia jarang didekati laki-laki, "Laras."

"Laras, kau penduduk sini?"

Laras mengangguk.

"Kebetulan, aku merasa sangat asing. Mungkin kita bisa bertukar informasi karena kemungkinan aku lama di sini." Ungkap Damian, dia merasa rencananya akan berjalan mulus.

"Boleh, apa yang bisa kubantu?" Laras ingin tahu

Damian tersenyum, batinnya bersorak gembira. Keberuntungan memang berpihak padanya.

.

Alana pov.

Aku kembali menikmati udara di puncak bukit ini. Kali ini sendirian dan aku sudah meminta Kak Pras agar tidak menggangguku. Dia setuju, lagi pula dia mengaku sedang banyak pekerjaan.

Tempat ini tidak kalah indah dibanding bukit Bintang kami, Setidaknya begitu. Aku dapat menemukan hal-hal yang ada di sana, kecuali dia.

Memikirkannya lagi. Kenapa akhir-akhir ini aku menjadi lebih cengeng? Menangisi kebahagiaan orang lain serta memilih sakit sendiri. Sangat bodoh.

Ponsel di saku bergetar, satu panggilan masuk. Kutebak Gabby, bisa dipastikan seminggu dua kali dia menelpon.

"Alllllllllll,,,, ...." suaranya membuat bising telinga, aku terpaksa menjauhkannya sedikit.

"Miss me?" Tanyanya

Aku tergelak. Dia tetap tidak berubah. Sahabat terbaikku.

"Ya."

"Apa kabar?" Ada nada sendu dari pertanyaannya.

"Baik."

"Kamu tahu, aku sangat merindukanmu." Kukira di sana Gabby menahan tangis. Entah kenapa?

"Aku juga merindukanmu." Ungkapku. Itu jujur. Setiap kali aku berpikir untuk kembali ke sana. Menjalani hidup normal, belanja, nonton, makan, dan menumpahkan semua hal pada Gabby. Bukankah dia amat mengerti dan bisa diajak berbagi? Tapi setiap kali terlintas pikiran itu, bayangan Gween dan Dafa turut serta. Membuatku urung.

"Al, kamu dengar aku kan?"

Bodohnya aku mengangguk, mana mungkin Gabby melihatnya? Kami tidak sedang video-callan.

Dan satu lagi. Meski komunikasi sudah canggih, aku lebih suka telepon.

"Al, " panggilnya

"Aku mendengarmu, By."

"Kamu nggak pa-pa kan? Maksudku, tidak ada sesuatu yang aneh kan di sekitarmu?"

Meski merasa janggal dengan pertanyaan Gabby, aku menjawab baik-baik saja.

.

Author pov.

"Anda sudah dengar sendiri kan?" Ucap Gabby setelah memutus panggilannya dengan Alana

Dafa tersenyum, "terimakasih, By."

"Jangan cuma terimakasih, anda harus memberi bonus."

Dafa tergelak. Melihatnya membuat Gabby ikut senang. Beberapa bulan ini menjadi bulan yang sulit untuknya. Laki-laki di depannya itu seketika menghentikan tawa saat melihat ekspresi karyawannya.

"Bukankah makan siang ini termasuk bonus, By?" Pernyataan Dafa berhasil membuat Gabby menyesal sudah mau diajak makan oleh Bosnya. Tadi saja rekan kerjanya sampai bertanya-tanya.

"Shittt!" Umpat Gabby

Dafa semakin tergelak. Menurutnya Gabby lucu sekali. Berbeda dengan Alana yang cenderung manja.

Alana? Dia merindukannya, itu kenapa dia mengajak Gabby keluar agar bisa leluasa mencaritahu kabar terbarunya. Di kantor bisa saja orang kepercayaan Gween memata-matai, atau Rafael yang bersikeras menuntut perhitungan.

"Kenapa tidak menemuinya saja daripada menggunakanku sebagai mata-mata?" Gabby sedikit kesal

Dafa memilih diam, dia menatap ke luar, seolah memikirkan sesuatu.

Kenapa dia pengecut? Dia tidak berani mempertaruhkan keselamatan Alana. Sejak pernikahannya dengan Gween gagal, gadis itu menjadi pendendam. Gween mengancam akan menyakiti Alana. Gabby mengetahuinya, untuk apa bertanya lagi?

"Apa Rafael masih mengganggumu?" Dafa bertanya setelah puas memandang taman di depan kafe.

Gabby menggeleng, "tidak lagi. Mungkin kembaranmu itu menyerah."

"Baiklah, By. Aku harus kembali ke kantor lebih dulu. Nikmati makananmu, dan, ... terimakasih." Dafa beranjak, meninggalkan Kafe.

"Fa, " panggil Gabby,

Dafa menoleh, Gabby ternyata menghampirinya, "kalian berhak bahagia." Ucapnya tulus

Dafa tersenyum kemudian berlalu. Inilah yang disukainya dari Gabby, selain sebagai karyawan yang rajin, Gabby sudah seperti sahabat

***

Hallo, boleh aku curhat sedikit? Boleh ya? Aku cuma mo bilang, terimakasih buat kalian yang sudah baca sampai sini. Kemarin aku sempat ingin berhenti lantaran badanku drop. Tapi berkat beberapa bisikan gaib, ceileh, bahasanya 😄 akhirnya aku lanjut meski dengan curi-curi waktu di tempat kerja. Hihihihi,

Lagi-lagi aku berterimakasih pada kalian semua.

Salam
LoopiesFM

Janji  Alana (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang