C i n t a ?

1.1K 86 10
                                    

Dafa pov.

.

Aku harus apa, Ann? Jujur aku takut! Aku tidak akan sanggup menghadapi kemurkaan keluarganya terlebih keluargaku jika kubatalkan pernikahan ini?

Ann, kenapa di saat seperti ini kamu malah membawa laki-laki itu. Jelas sekali dia berusaha membuatku cemburu dan sialnya itu berhasil. Ada apa denganku?

Ann, apa aku salah? Dulu kamu mengkhianatiku. Pergi dengan alasan tidak masuk akalmu itu. Padahal kamu jelas tahu seberapa inginnya aku bersamamu.

Ann, ...

.

Author pov.

Gween murka! Jelas. Dafa baru saja mengirim pesan yang sangat menyakitinya. Kenapa di saat dia merasa Dafa telah melupakan Alana, dan dengan kepercayaan yang dimilikinya, dia mempertemukan dua orang itu? Itu kesalahan besar. Seharusnya dia tetap waspada.

Gween mendorong Alana hingga jatuh. Tak pelak semua orang yang berada satu ruangan melihatnya. Gween tidak bisa menahan diri lagi.

"SEHARUSNYA KAMU NGGAK MUNCUL DI KEHIDUPANKU!!!"

Alana menangis. Bukan karena sakit setelah didorong Gween, dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Rendi ingin memisah, laki-laki ini turut andil. Bagaimana pun dia tahu yang sebenarnya, perasaan Dafa, perasaan Gween, dan tentunya Alana. Dia mengetahui ke tiganya. Tapi dia diam saja sehingga sekarang semua menjadi rumit.

"Hentikan, Gween!"  Pekik Mamanya yang baru datang, berusaha membantu Alana berdiri.

Gween terisak, Alana merasa bersalah atas apa yang terjadi. Tapi, bukankah dia sudah berusaha? Dengan menjauh apa itu kurang?

"Mama tanyakan pada pengkhianat ini! Dia, ... dia ... apa yang sudah dia lakukan?!" Suara Gween tersendat oleh isaknya.

Mama Gween menoleh pada Alana, meminta penjelasan.

Alana bungkam. Dia sungguh tidak tahu harus apa?

"Kamu nggak berani bilang kan? Sudah kuduga." Gween tersenyum getir

"Kamu menggoda tunangan sepupumu!" Penuh penekanan Gween mengucapkannya.

Alana menggeleng, "tidak Gween."

Gween menanggapinya dengan ejekan, "tidak?! Lalu kenapa tiba-tiba Dafa meninggalkanku, ha?!"

Kali ini Alana yang menangis. Dia melihat tatapan terluka dari orang tuanya, dan jujur itu menyakitkan.

"Gween, dengarkan aku!" Lirih---sangat lirih. Alana sudah tidak dapat lagi membela diri. Posisinya terpojok.

Tadi selama perjalanan Gween sudah marah besar. Jika tidak ada Dewa dan Rendi, mungkin dia sudah habis dicakar-cakar. Dia amat tahu seperti apa jika sepupunya mengamuk.

"Kau yang seharusnya mendengarkanku---bukannya menuruti perasaanmu itu!" Gween memotong cepat, "kau tahu kami akan segera menikah, bukan sekedar pacaran, Al."

"Gween, ak----"

Plakkk!

Tangan cantik itu telah menampar Alana, sepupunya sendiri. Gween tidak menyesal meski bisa saja dia terlihat seperti nenek sihir. Tapi amarahnya tak bisa dikendalikan lagi. Dia menganggap Alana sangat jauh dalam bertindak.

Mama Alana mendekat, tidak terima putri semata wayangnya diperlakukan seperti itu.

Alana dipeluk Mamanya dan Gween ditenangkan Mamanya.

"Usir dia, Ma! Usir!!! Aku tidak mau melihat tampangnya yang merasa tanpa dosa."

"Tenang Gween! Kita bisa bicara baik-baik, sayang." Mamanya berucap lembut.

Alana semakin terisak. Di depannya Gween tidak bisa ditenangkan. Dia akhirnya memilih masuk ke kamar, mengemasi barang-barangnya, dengan terburu---tanpa menyadari Mamanya ikut masuk.

"Mau ke mana, sayang?" Mamanya bertanya lirih

Alana menghapus air matanya dengan kasar, dia sudah tidak tahan. Tubuhnya luruh, sungguh, dia membutuhkan kekuatan.

Alana pov.

Pukul sembilan malam aku tiba di kontrakan. Gabby menyambutku antusias, tampak sekali kegembiraan di wajahnya, tapi aku dapat segera melihat perubahan di matanya. Ada perasaan ingin tahu, tapi Gabby adalah sahabat terbaikku. Dia selalu mengerti kapan waktu untuk bertanya, dia memilih menggandengku, membawa masuk. Diikuti oleh Mama dan Ayah. Ya, mereka juga ikut.

Setelah mempersilakan ke dua orang tuaku duduk, Gabby bergegas mengambilkan minum.

"Akhirnya kamu pulang, Al. Aku sudah kangen padamu, tiga hari rasanya setahun." Ungkap Gabby sambil menyerahkan air mineral padaku.

Aku tersenyum.

"Om, tante, maaf berantakan." Gabby kikuk, tidak tahu harus bersikap bagaimana dengan orang tua karena setahuku dia sudah tidak memilikinya sejak berusia 15 tahun.

Mama tersenyum, begitu juga dengan Ayah.

"Siapa namamu, Nak?"

"Gabby. Gabby, Tante." Ucapnya riang.

"By, aku istirahat dulu, "

"Oh, iya. Urusan Om dan Tante jangan khawatir, aku yang akan siapkan kamar. Kamu istirahat gih, pasti capek. Bentar ya, Om-tante, Gabby antar Al ke kamar." Gabby mendorongku pelan menuju kamar, beginilah dia. Hal yang membuatku nyaman meski baru dua tahun mengenalnya.

Setelah itu Gabby meninggalkanku dan kembali ke ruang tengah untuk menemani orang tuaku.

Hari ini sangat lelah. Aku bahkan tidak sempat membersihkan diri. Langsung merebahkan tubuh ke ranjang, meringkuk seperti bayi, menangis.

Entah apa yang terjadi setelahnya, aku hanya tahu jika mataku minta dipejamkan.

***

Cuap-cuap gaje malam ini cuma ingin promosiin tulisanku yang lain.


Mampir ya, ...

Oke, salam manis
LoopiesFM

Janji  Alana (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang