Sayup-sayup kudengar teriakannya. Ya aku yakin itu, Dafa bersama sahabatku Gabby. Kenapa mereka ada di sini? Lalu siapa yang ada di depan? Menghajar seseorang yang tidak kukenal, hingga babak belur. Tapi dia mirip Dafa, teramat mirip malah.
Apa aku berhalusinasi? Dafa ada dua.
Sebelum kesadaranku benar-benar hilang dapat kutangkap suara isakan Gabby. Dia merengkuhku.
Selanjutnya semua menjadi gelap.
***
Author pov.
Ruang gawat darurat seperti arena pertarungan, itu kalau tatapan mata bisa digunakan sebagai senjata. Rafael tidak terima disalahkan meski awalnya memang berniat mencelakai Alana. Dia keduluan dengan orang yang sekarang diamankan pihak berwajib setelah dihajarnya habis-habisan. Sedang Gabby duduk sambil menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Gadis itu sudah lelah menangis, tampak sweeter dan rok kuning selututnya berpadu dengan noda darah yang semua tahu berasal dari kepala sahabatnya, Alana.
Gabby belum membersihkan diri hingga darah mengering di beberapa bagian tubuhnya juga. Tampak kacau.
Lalu Pras? Laki-laki yang selalu terlihat tenang itu menyenderkan diri ke dinding, matanya terpejam, bibirnya tak berhenti merapal do'a untuk keselamatan Alana.
Entah sudah berapa lama?
Hingga pintu terbuka dan semua kegiatan beralih ke arah dokter yang baru saja keluar.
"Bagaimana, Dok?" Dafa bertanya tidak sabaran. Membuat Pras menilai seperti apa laki-laki yang diagungkan Alana.
Dokter tersenyum, "kondisinya membaik. Beruntung dia segera ditangani. Anda keluarganya?"
Dafa diam, dia tidak tahu harus menjawab apa.
"Saya keluarganya, Dok." Pras yang menjawab, mendekati dokter.
"Anda, Pak Pras?" Dokter balik bertanya, dia mengenal keluarga Dirgantara tapi tidak mengenal Alana, pasien yang ditangani tadi.
"Benar. Yang di dalam Alana, adikku." Jawab Pras sambil melirik ekspresi Dafa---laki-laki 26 tahun itu terlihat terkejut dengan pernyataan barusan. Setahunya Alana anak tunggal.
"Pasien akan dipindah ke ruang perawatan, mari ikut dengan saya Pak Pras."
Pras mengekor di belakang Dokter, dia sudah tenang mendengar pernyataan tadi.
Sepeninggal Pras dan dokter, Gabby menghampiri pintu, melihat ke dalam. Alana masih ditangani oleh beberapa perawat. Rafael berniat kembali ke hotel namun tangannya dicekal Dafa.
"Apa-apan ini?" Rafael menatap benci ke arah tangannya.
"Jelaskan padaku! Semuanya." Dafa mengucapkannya penuh penekanan di tiap kata.
"Ikut denganku!" Dafa menggeret kembarannya dengan paksa
Gabby tidak berani melerai ke duanya.
Mau tak mau Rafael menurut juga. Mereka tidak mungkin membuat kekacauan di rumah sakit.
.
Lama ke duanya diam. Tidak ada yang berniat membuka suara. Mereka sekarang berada di balkon rumah sakit, Dafa tepat berdiri di pembatas sedang Rafael menatap kesibukan di bawah.
Jika orang yang melihat mungkin akan bingung membedakan ke duanya. Mereka mirip---nyaris sama. Hanya, Rafael terkesan dingin, cuek, dan menyebalkan. Maka tidak heran jika Dafa lebih banyak disukai orang.
"Kalau kau menuduhku, kau salah sasaran. Aku datang saat Ann-mu sudah ditabrak." Ungkap Rafael, dia akhirnya memutus keheningan. Kadang Dafa bisa lebih menyeramkan jika diam.
Rafael pun tak menyangkal jika punya maksud jahat pada Alana. Tapi pembalasan fisik tidak berguna menurutnya, dia mengingkan Alana sakit luar dalam.
Tapi tadi, saat melihat perempuan yang disayangi Dafa bersimbah darah entah dorongan apa yang membuatnya nekat menabrakkan mobil ke mobil yang menabrak Alana. Dia geram. Rafael bahkan tidak memerdulikan keadaan. Sekarang saja tubuhnya terasa ngilu di beberapa bagian.
Dafa yang dari tadi diam akhirnya menghela nafas frustasi. Sebenarnya dia melihat ekspresi kesakitan kembarannya, tapi ditahan untuk tidak peduli. Dia marah. Coba jika Sam tidak memberitahu soal rencana Rafael, mungkin sudah terlambat.
"Sudah kuperingatkan, jangan menyentuh Ann. Sedikit saja dia terluka, aku akan menghabisimu." Dafa hanya pura-pura menggertak. Dia tidak akan melakukannya.
"Aku hanya ingin melenyapkan kelemahanmu." Kekeh Rafael tanpa merasa bersalah
Dafa tertawa, membuat Rafael menyerngit heran.
Dafa menghentikan tawanya, mengibas tangan, lantas berlalu, "periksakan dirimu!"
Rafael merasa bodoh sekaligus geli menyadari ucapannya barusan.
"Melenyapkan kelemahan?" Bukankah dirinya termasuk kelemahannya Dafa? Pantas kembarannya tadi tertawa.
.
"Bagaimana keadaannya?" Dafa mendekati ranjang Alana, di sampingnya duduk Gabby sambil sesekali meremas jemari Alana. Gadis itu sudah dipindahkan ke ruang perawatan.
"Seperti yang kau lihat, dia belum sadar."
"Kau berantakan, By. Orang akan mengira kau habis dihajar berapa orang sampai bajumu penuh darah."
"Aku tidak akan pergi dengan usiranmu itu," dengus Gabby
Dafa menepuk pundak Gabby beberapa kali sebelum menyenderkan diri ke sofa yang berada di sudut kamar. Dia lelah, sambil melonggarkan dasinya, Dafa berusaha memejamkan mata.
Gabby mengabaikan sekitar, fokusnya pada Alana yang tertidur---terlihat damai. Seperti tidak terjadi apa-apa.
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, kemudian muncul laki-laki paruh baya yang tampak khawatir. Sangat jelas di wajahnya yang kini berganti dengan raut penuh tanda tanya saat melihat sosok tidak asing sedang tidur di kursi, tak terusik.
"Bagaimana keadaannya?" Ayah Alana mendekat, Gabby segera salim
"Dokter bilang dia baik," tak yakin akan jawabannya, Gabby bergumam lirih
"Ikutlah dengan Pras, kamu harus mengganti baju." Ayah Alana menunjuk Pras yang entah kapan berada di sebelah Dafa.
Dafa sendiri sudah bangun, dia mendapati Pras tengah mengejeknya dengan senyum yang amat kentara, membuat Dafa kesal.
Gabby menurut, dia tidak mau berada di tengah-tengah suasana persaingan. Lagi pula badannya lengket dan bau amis.
Setelah berpamitan kini di ruangan itu tinggal Dafa, Ayahnya, dan Alana yang belum sadarkan diri.
Jika menuruti ego, Ayah Alana ingin sekali menghajar Dafa. Tapi beliau tidak mau saat Alana bangun lantas membencinya. Maka ke dua laki-laki berbeda generasi itu memilih bungkam satu sama lain.
***
28 Oktober bertepatan dengan hari sumpah pemuda. Ada yang lupa?
Hay, hadir lagi nih, yang di sebelah mohon bersabar, agak sibuk belakangan ini.
Salam
LoopiesFM
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji Alana (End)
RomansaKemarin aku melihatmu. Hal yang kutakutkan tak pernah terjadi, harusnya aku bahagia. Tapi, kenapa hatiku sakit? _Alana Kemarin aku melihatmu. Hal yang kuinginkan terjadi, harusnya aku bahagia. Tapi, kenapa hatiku sakit? _Dafa