Terlihat seperti sebuah kejahatan saat kau secara sadar menyukai tunangan dari sepupumu---sendiri. Tapi apa boleh buat? Alana tidak bisa dengan mudah menghapus perasaannya. Bukannya dia tidak mencoba. Dia melakukan sebisanya. Pergi dari kehidupan mereka, berusaha melupakan kenangan-kenangan, juga menjadikan rasa bersalahnya semakin kuat. Untuk apa? Tentu agar perasaannya menghilang.
Semua percuma!
Dua minggu lagi Gween dan Dafa menikah. Kenyataan yang menyakiti Alana.
.
"Aku butuh bantuanmu," ucap Alana pada laki-laki yang bernama Dewa, teman baiknya sekaligus bosnya di kantor
"Apa pun untukmu!" Dewa tersenyum jahil. Dia sudah sering direpotkan oleh Alana-nya. Jika dimintai sekali lagi tentu tidak masalah.
"Terima kasih," Alana mengucapkannya dengan perasaan haru. Selama ini dia dikelilingi orang-orang baik. Seharusnya di hatinya dipenuhi syukur
"Tidak ada yang gratis, Princess."
Alana mendelik. Baru saja dia berniat untuk memeluk Dewa, laki-laki itu malah menjatuhkan bayangan dalam otaknya.
Tapi bukan Dewa namanya. Itu hanya candaan. Dia tidak mungkin meminta sesuatu dari Alana. Melalui Alana, dia bisa menemukan tujuan hidup yang sebenarnya.
"Well, apa itu?"
.
Di sinilah mereka. Berlima---
Alana dengan Dewa, Rendi, dan juga Gween beserta Dafa. Memilih busana pengantin.
Alana menggeram kesal. Dari tadi pagi dia sudah menolak untuk pergi bersama.
Gween tersenyum penuh kemenangan saat seluruh keluarga mendukung rencana tersebut. Dia memang sengaja membuat Alana ikut agar bisa memanas-manasi sekaligus menunjukkan pada sepupunya bahwa mereka adalah pasangan yang memang ditakdirkan bersama. Tidak akan ada yang bisa merubahnya.
Awalnya Rendi tidak ada dalam hitungan, tapi kakak Gween itu perlu untuk ikut meski rada ogah-ogahan, ia memikirkan hati Alana.
Hal tak terduga terjadi, Dewa---datang. Tentu setelah ditelpon Alana.
Maka begini lah posisinya, Gween terus menempel pada Dafa tanpa malu sedang Alana dan Dewa memilih duduk agak jauh, terakhir Rendi---dia mau tak mau hanya memainkan ponsel pintarnya, berpura-pura sibuk membalas chatt.
.
"Apa dia orangnya?" Dewa antusias bertanya. Dari dulu Alana tertutup soal perasaannya. Jadi, saat sahabatnya itu meminta bantuan untuk hal yang tidak sepenuhnya dia mengerti, Dewa hanya bisa mengiyakan
"Hhmmm," sahut Alana
"Seperti bukan dirimu." Dewa berdecak
"Ikhlas tidak?" Alana mulai jengah.
"Apa pun untukmu, Princess." Dewa nyengir, memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih. Sengaja kata Princess dia keraskan agar orang yang pura-pura membaca itu mendengar. Dewa tahu dari tadi ada yang mencuri dengar percakapan mereka.
Mendengar laki-laki yang bersama Alana mengucap 'Princess' , Dafa menoleh. Dia tidak suka ada orang yang bisa dekat dengan Ann-nya. Apalagi mereka terlihat begitu, intim.
Dafa mengumpat dalam hati. Niatnya untuk membalas sakit hati justru dia sendiri yang menderita sekarang.
Dafa beranjak, dia bosan di sini. Gween sedang mencoba gaun, entah sudah berapa kali tunangannya tersebut bolak-balik hanya untuk memperlihatkan baju yang akan dipakainya nanti. Padahal semua baju tadi bagus---jika yang memakainya Alana, batin Dafa.
Dafa kejam? Tentu saja. Bagaimana tidak? Dia hanya memanfaatkan kedekatannya dengan Gween untuk menyakiti Alana. Dafa tahu ini juga tidak berkerimanusiaan. Tapi salah kan kedua sepupu itu. Dia merasa disakiti. Dia menyukai Alana sejak pertama bertemu, mendekatinya perlahan, kemudian berpura-pura menjadi sahabat karena Alana tidak mau menyakiti Gween. Berharap Ann-nya secara pelan-pelan luluh oleh perhatiannya. Tapi apa? Dafa ditinggalkan.
"Bagaimana, bagus tidak?" Gween muncul dengan gaun biru yang melekat pas di tubuhnya. Tapi pertanyaannya mengambang saat orang pertama yang ingin diperlihatkannya tidak tahu ada di mana.
"Cantik." Dewa yang memuji pertama kali, disambung Alana yang tersenyum tulus, baru Rendi yang langsung mendekati adiknya sambil berdecak kagum.
Rendi memutari Gween, seolah kakaknya itu adalah juri kontes kecantikan. Gween tersipu malu, kakaknya jarang bahkan bisa dibilang tidak pernah memujinya. Mereka lebih sering ribut.
"Cantik! Aku tidak tahu kalau sicemong ini bisa bersinar seperti porselen mahal."
Mendengar itu Gween tiba-tiba manyun. Rendi malah tergelak. Dia sudah tidak tahan untuk menggoda adiknya.
"Dafa mana?" Gween bertanya, daritadi matanya tak berhenti mencari.
"Tadi tunanganmu keluar, nggak tau kemana." Dewa yang menjawab.
Tiba-tiba ponsel Gween memberi nitifikasi, satu pesan masuk. Dibantu oleh Rendi, kakaknya itu berinisiatif mengambilkannya.
Gween tak bisa menyembunyikan raut kecewanya. Pesan itu dari Dafa. Singkat dan jelas.
"Ada apa?" Rendi bertanya
"Ayo kita pulang!" Gween tak menjawab. Dia kesal, marah, dan tentu saja semakin membenci Alana.
"Gween, " panggil Rendi ketika melihat adiknya berlalu ke ruang ganti dengan langkah kesal. Dia mencoba bertanya.
Alana dan Dewa saling pandang.
***
Bagian ke 11 😊
Ada yang tanya, kenapa visualnya tidak kelihatan mukanya, sama kaya' authornya?Gini, aku suka pembaca yang menggambarkan sendiri. Membiarkan pembaca menfantasikannya.
Salam
LoopiesFM

KAMU SEDANG MEMBACA
Janji Alana (End)
RomansaKemarin aku melihatmu. Hal yang kutakutkan tak pernah terjadi, harusnya aku bahagia. Tapi, kenapa hatiku sakit? _Alana Kemarin aku melihatmu. Hal yang kuinginkan terjadi, harusnya aku bahagia. Tapi, kenapa hatiku sakit? _Dafa