Kembali mengenang?

1.3K 103 2
                                    

Kujejakkan lagi kaki di tempat ini. Sungguh ironis. Ternyata hanya aku yang mengenangmu.

Matahari hampir terbenam saat aku mendekati sebuah batu besar. Tempat biasa dulu kami bersandar, kemudian saling bercerita, lantas tersenyum untuk satu pengakuan yang lolos. Entah siapa yang memulai? Karena pada akhirnya kita sama-sama menangis lantas di beberapa harinya memutuskan pergi. Tidak ada kata perpisahan.

Namaku Alana Pratiwi.

***

"Berapa usiamu?" Dafa bertanya, menoleh ke arahku

"Kenapa? Ulang tahunku masih lama." Aku tak menjawab. Selama ini dia hanya tahu tanggal dan bulan lahirku, tidak dengan tahunnya. Padahal kami sudah 5 tahun saling mengenal.

"Seusia Gween?"

Gween, ah iya. Dia sepupuku. Selama ini aku tinggal di rumahnya, jauh dari Ayah dan Mama yang memilih tinggal di pedesaan asri.

Aku menggeleng. Kenyataannya memang tidak. Gween dan aku selisih setahun lebih beberapa bulan.

Jika dirunut ke belakang, Gween yang mengenalkanku pada Dafa.

"Oyyy, ... melamun!" Dafa menyentakku tiba-tiba.

Aku menepis tangannya, "tahun ini 21."

Dafa tak percaya, "21?!"

Dengan mantap aku mengangguk.

"Kau bohong, kan?" Masih tidak percaya rupanya si Tuan murah senyum ini.

Lagi-lagi aku mengangguk mantap, "21 bulan September depan."

Dafa melongo. Rasain! Siapa suruh memanggilku Kakak Ann? Sekarang tau rasa kan?

"Aku 23." Akunya

"Sudah tahu." Sahutku tidak terkejut

"Sudah seharusnya aku memikirkan hubungan yang serius," ungkapnya tiba-tiba

Kali ini aku sedikit bingung, Dafa mengucapkannya dengan senyum getir.

"Ada apa?" Tanyaku ingin tahu

"Ayah memintaku berkenalan dengan anak temannya, bisa disebut perjodohan, "

Ada rasa sakit saat mendengarnya, "tapi kamu baru 23?"

"Tidak langsung menikah, kakak Ann. Berkenalan dulu, kalo cocok 24 menikah lalu di umur 25 punya anak pertama, "

Aku tak mendengar kelanjutannya, pikiranku dipenuhi kecemasan-kecemasan mengenai hubungan kami. Mana mungkin akan sama? Dia akan menikah, lantas sibuk dengan keluarganya. Aku? Tidak akan mengusiknya lagi. Membayangkannya membuat sedih.

.

"Ann, ... "

Aku mengabaikannya. Hampir saja lolos butiran bening dari mata. Segera kuusap, tidak lucu jika aku ketahuan patah hati.

"Sebenarnya, ..." jeda cukup lama. Seperti ada sesuatu yang ingin diungkap, tapi tertahan.

"Kalo boleh jujur aku tidak suka dengan rencana Ayah. Rafa menolaknya mentah-mentah, dia tidak ingin diatur."

"Kenapa kamu nggak seperti Rafa?" Aku ingat, Dafa sering menceritakan adiknya yang memberontak apa pun yang tidak disukainya. Berbeda dengan Dafa yang penurut.

"Aku tidak mau melukai Mama,"

"Lantas bagaimana denganku?" Pertanyaan itu tidak pernah terucap. Aku keburu menangis.

Dafa menatapku. Mungkin enggan bertanya.

Dia merengkuhku. Padahal di sini, seharusnya aku yang menghiburnya.

"Aku, ... "

Dafa mengeratkan pelukannya. Tidak ada suara, hanya keheningan.

***

Udara semakin dingin. Malam akan bertandang. Sudah saatnya mengakhiri semuanya. Sekarang mungkin Dafa berbahagia dengan keluarga kecilnya? Itu jika menurut rencananya. Menjadi Ayah di usia 25. Setidaknya satu senyuman dapat kusunggingkan.

Aku menghela nafas.

Waktunya untuk pulang. Gabby pasti panik, bertanya ke mana seharian ini? Apalagi jika tahu kalau aku akan pulang larut. Perjalan setidaknya membutuhkan waktu tiga jam. Harus bergegas agar tidak ketinggalan bus.

.

Author pov.

Alana baru akan meninggalkan tempat itu namun tertahan oleh seseorang.

.

Gween menatapnya dingin. Ada kebencian terpancar dari matanya.

"Kau tidak menanyakan kabarku?" Gween memastikan kecemasannya tidak benar. Alana tidak kembali untuk merebut Dafa-nya.

Ke dua perempuan ini memesan jenis minuman yang sama. Tidak mengherankan. Dari dulu mereka selalu sama dalam hal kesukaan atau yang dibenci. Bedanya terletak di Alana yang jauh lebih cengeng.

"Kulihat kamu baik-baik saja, sehat, dan tentunya bertambah cantik. Apa semua berjalan lancar?" Alana menyindir Gween yang tetap menatapnya penuh kebencian.

"Apa maksudmu?"

Pura-pura lupa! Bukankah karena dia aku memutuskan pergi? Oh ralat! Gween yang mengusir sehingga tidak ada alasan bagiku untuk tinggal di sini.

"Aku harus pergi," aku beranjak dari duduk, menyelempangkan tas. Sedikit berbasa-basi. Bagaimana pun dia masih sepupuku

Gween bergeming hingga aku hampir sampai ke pintu keluar.

"Apa kau kembali untuk menghancurkan  pernikahanku?"

Rasanya aku sudah muak. Apa belum cukup keputusanku meninggalkan kota ini? Dianggap pengkhianat oleh seseorang yang amat kamu sayangi.

"Tiga bulan lagi kami menikah, bersikaplah seperti sepupu yang baik hati." Gween berlalu. Menyentakku dengan pengakuannya barusan.

Apa mereka belum menikah? Atau, ...

Belum sempat kukejar Gween, ponselku berbunyi. Satu panggilan masuk. Gabby sepertinya sudah panik.

Benar saja, begitu menekan layar hijau segera terdengar cuara cemprengnya. Perpaduan antara kecemasan dan syukur karena mendengar suaraku.

Baiklah. Setidaknya ada seseorang yang peduli padaku. Aku harus memegangnya erat. Juga ada kehidupan yang harus kulanjutkan.

...

Terima kasih, ...
Aku senang ada yang baca tulisan gaje ini 😄  jadi semangat buat ngelanjutinnya.

O, ya. Nggak akan bosan buat ngingetin kalo ceritanya memang flat alias datar. Tapi aku sungguh-sungguh dalam menulisnya.

Selamat menikmati
Siapkan cemilan, mblo. Hahahaha

Untuk temanku yang paling unyu,
LoopiesFM

Janji  Alana (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang