Dafa dan Alana

2.4K 96 7
                                    

Alana meluncur dengan sepedanya, menyusuri jalan yang kadang menanjak, menurun, dan datar seperti ini. Sesekali dirinya bersenandung kecil, membiarkan angin menerbangkan anak rambutnya.

Hari yang baru.

Kesibukannya akhir-akhir ini hanya membantu Ayahnya di perkebunan. Alana tidak ingin bekerja di kantor lagi, berkutat dengan berkas-berkas. Dia menikmati pekerjaannya memetik sayuran, meski kadang berkubang lumpur, atau terpanggang terik matahari. Alana menyukainya.

Sudah sebulan Alana menjalani aktifitas barunya. Setidaknya setelah Rafael menyerahkan kotak musik Dafa, dia tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan----maka menyibukkan diri menjadi pilihan.

.

"Dia sudah menuju perkebunan."

...

"Seperti biasa, dia membawa sepeda biru itu."

...

"Kenapa kamu menyusahkanku? Harusnya kamu nyuruh Rafael ja, Daf,"

...

"Ini yang terakhir, minggu depan proyekku rampung."

...

"Aku juga butuh liburan. Masa' setiap hari harus mengawasinya?"

...

"Aku tidak mau tau, hari ini hari terakhirku mengawasinya."

Damian memutus sambungan sepihak. Masa bodo dengan orang di seberang sana yang pastinya kini mengumpat.

.

Ke esokan harinya, ...

Alana meluncur dengan sepedanya, bersenandung kecil, membiarkan angin menerbangkan anak rambut. Menyenangkan. Seperti biasa.

Hanya, pagi ini menjadi tak biasa. Di jalan terlihat seorang laki-laki berdiri, seolah menunggu Alana---tidak asing. Dia menoleh sembari tersenyum dan entah mengapa ada perasaan hangat yang menyusup masuk.

Alana pun tersenyum.

.

Alana pov.

"Baik-baik saja, bukan?" Dafa mungkin bertanya mungkin juga memastikan. Rasanya aneh, seperti dia yang dulu.

"Baik," jawabku berusaha tenang. Dafa tidak boleh tahu kalau aku tengah sibuk menenangkan debar jantung serta membujuk agar bibir tidak gugup.

Ya Tuhan, kami bukan siapa-siapa lagi. Teman bukan, saudara bukan, apalagi sepasang kekasih. Meski aku berharap kami bisa bersama atau setidaknya seperti dulu. Aku merindukannya.

Hening

Tak ada percakapan. Aku sibuk memandang sekitar, mengalihkan agar tidak menatapnya, aku takut goyah, menghambur padanya seperti gadis murahan.

"Ann,"

Aku menoleh cepat. Panggilan itu lagi, panggilan yang aku rindukan.

Dafa menghembuskan nafas perlahan, menatapku dengan tatapan rindu. Aku tahu, aku tahu karena saat ini pun melakukan hal yang sama. Masa bodo dengan kesopananan dan tata krama, aku hanya ingin mendapatkan Dafa-ku kembali. Maka, tanpa memikirkan rasa malu, aku menghambur memeluknya. Mengeluarkan semua isi hatiku dalam bentuk isakan.

Aku tidak peduli jika dia menolak. Aku tidak peduli. Tapi ketidak-pedulianku ditanggapi dengan sepasang tangan yang coba melepas pelukanku, gerakan yang pelan---aku menolak, aku semakin dalam menyembunyikan muka di dadanya.

"Ann," panggilnya

"Sebentar saja!"

Tidak ada sahutan, bahkan aku merasa tangan itu mulai mengelus punggungku. Hangat.

.

"Dari sini juga bisa melihat---"

"Lebih cantik malah," potongku cepat. Kami sudah tiba di bukit bintang, duduk di atas rumput, tanpa alas. Sepeda biru terparkir tak jauh dari tempat kami. Tadi Dafa yang membonceng sampai ke sini. Dia mengeluh dengan berat badanku sepanjang jalan. Benar-benar menyebalkan. Bisakah dia pura-pura? Aku tidak seberat yang dikatakannya.

"Kamu baik-baik saja, Ann?"

Aku tengah sibuk mencabut rumput-rumput saat pertanyaan itu diajukan. Aku terus menunduk, tak berani menatapnya. Masih malu dengan tindakanku tadi yang memeluknya. Seperti gadis murahan.

"Hey, kalau ditanya itu jawab."

Aku merasa ada tangan yang mengelus rambutku.

"Baik," sahutku masih dengan posisi menunduk. Aku tidak mau tangannya yang berada di kepala ditarik. Aku merindukan hal itu, dulu dia sering melakukannya.

"Syukurlah. Kalo begitu aku bisa segera pulang,"

Aku dengan cepat menatapnya, "pulang?"

Dafa tersenyum.

"Kamu mau aku tinggal di sini?"

"Tidak," tapi hatiku menjawab kebalikannya.

Entah hanya perasaan atau ke-ge-er-anku saja. Tatapan Dafa meredup. Apa dia ingin aku menahannya? Kalau iya, kenapa kotak musikku dikembalikan?

Dafa menarik tangannya, dia berbalik dan menatap lurus ke depan. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan?

"Daf," panggilku lirih

"Apa tidak bisa diperbaiki?" Dafa tersenyum masam, dia tidak menoleh.

"Aku mengembalikan kotak musikmu agar kamu memberikannya lagi, Ann. Dengan begitu kita bisa mulai dari awal, berkenalan, bersahabat, kalau perlu dipercepat dengan saling menyukai."

Aku tercengang dengan penjelasannya.

"Aku kurang jelas ya?" Dafa akhirnya menoleh, menatapku sengit.

"Aku menurunkan harga diri dengan mencoba memaafkanmu, melupakan fakta bahwa kamu pernah dengan egois menyerahkanku pada sepupumu, pura-pura tidak ada perasaan apa-apa tapi apa? Kamu menangis saat aku akan menikah, jadi gadis yang cengeng selama dua tahun."

Aku seperti bermimpi. Dafa bisa marah. Apa sangat menyakitkan? Kupikir hanya aku yang menderita.

"Ann," panggilnya

Aku sudah menangis sekarang.

"Aku, ... "

Dafa meraih tubuhku, membawanya dalam pelukan.

"Bisa kah kita mulai lagi? Aku lelah bermain kucing-kucingan seperti kemarin."

Tidak ada jawaban karena aku menangis. Kali ini bukan air mata sedihan, melainkan terharu. Dafa-ku telah kembali.

.

End

Tolong jangan menatap seperti itu, tolong! Aku tahu aku terlalu lama menyelesaikan cerita ini. Tidak sesuai prediksi sebelumnya. Maaf banget.

Dan satu lagi, kalau kalian bertanya kok cuma begini endingnya? Jawabannya, karena ini ditulis oleh Farin Muis a.ka Loopies, hahahaha. Iya kan? Di tulisan yang mana seorang Farin membuat ending yang memuaskan pembaca? Hampir rata-rata mengeluh, "Kak, endingnya kok gini? Baru enak-enak baca loh,"

Saya jarang memuaskan pembaca dan mungkin tidak pernah. Aku akui itu, tapi kalo boleh jujur, inilah Farin. Bukan tidak mau, bisa kok aku bikin ending yang ya, happy, sesuai dengan harapan kalian. Tapi sekali lagi, kalo seperti itu aku merasa ini bukan tulisan yang kutulis, aku merasa aneh sendiri nanti.

Sekali lagi maaf.

Oke, dengan ini aku nyatakan J.A selesai.

Sampai jumpa di tulisan berikutnya.

Berdo'a semoga bisa kasih edisi spesial untuk J.A

Salam sayang, LoopiesFM  si penyuka Oreo, istrinya Akang Jihoon.

Janji  Alana (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang