枫 - Bab Tiga

276 83 22
                                    

Terkadang aku memerlukan diriku yang terluka. Karna aku bukan seseorang yang pintar dalam menebak masa depanku nanti.

Martin menurunkan bukunya perlahan-lahan. Matanya tak berpusat pada apapun. Dia sedang tidak fokus. Pikirannya dan hatinya mulai campur aduk pada pertanyaan singkat yang muncul dari benaknya.

Apa yang ingin Yisa katakan tadi?
Dari ujung ruangan, Lily kembali dari toilet, memandang sekeliling dengan heran lalu menghampirinya.

"Ke mana sejoli itu?" ia mengambil kursi di sebrangnya, lalu menyeret buku yang tadi baru di baca sepotong.

"Sudah pergi," jawabnya singkat, menimbulkan kernyitan di dahi gadis itu.

"Kau kenapa?"

Martin tersentak pelan dari bukunya. "Kenapa apanya?"

"Kau seperti. . . kau tahu, diam-diam kemudian patah hati." Lily memajukan wajahnya semakin dekat menatapnya hati-hati.

"Ngaco," gumam Martin kembali menenggelamkan wajahnya pada buku.

Gadis itu mendesah pelan. "Jangan pura-pura Martin. Semua terlihat kalau kau menggunakan hati untuk menatapnya."

Martin menurunkan bukunya, berusaha menggubris, tapi ia malah mengalihkan perhatian sambil membalikan lembaran buku, mengacuhkan perkataan sahabat wanitanya itu. Seharusnya Lily tahu kalau ia tidak pernah bisa menyembunyikan perasannya.

Ada berbagai cara untuk menunjukkan kasih, dan ada berbagai macam kepura-puraan yang terkhianati. Dan Martin, berusaha untuk tidak menjadi yang kedua. Ia ingin mencoba tulus, setulus bagaimana Ken percaya padanya.

Setelah kejadian beberapa bulan yang lalu, ia sudah mencoba melupakan itu. Kenyataan yang tidak berhenti menghantuinya slealu membuat pikirannya terpecah belah. Tidak fokus dan selalu naif untuk memikirkan cinta tanpa merasakan perih.

Omong kosong kalau mencintai itu indah. Cinta adalah berani patah.

Dan ia masih bisa bertahan sejauh ini.

"Lily, aku tidak ingin membicarakan itu," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.

Lily menelisik perasaan Martin lewat sinar matanya. "Masalahnya, itu adalah masa lalu, berbahaya. Ingat kan perjanjiannya. Kau sendiri yang mengatakan padaku untuk tidak pernah menyinggungnya, tapi sebenarnya, kau hanya ingin menyimpan itu semua sendirian, bukan?"

Kata-kata Lily membuat mata Martin beralih memandangnya.

Sepuluh tahun yang lalu, Ken bukan lagi sahabatnya, melainkan saudaranya. Tidak ada material yang bisa membalasnya ketika ia mengingat, Ken adalah satu-satunya yang peduli terhadapnya ketika ia miskin. Saat ia kelaparan, Ken-lah yang datang memberikan sadwich telur Mahayari. Saat ia tidak memiliki ongkos pulang dan harus berjalan kaki sepanjang satu kilometer, Ken-lah yang datang membuka pintu mobilnya. Ken selalu ada ketika itu. Selalu.

Dan kini, jika ia beranii merebut kebahagiaan sahabatnya itu, Martin tidak tahu apakah ia berani menampakkan wajah ke semua orang jika itu benar terjadi.

"Mengenai perjanjian itu aku sudah tidak ingin mengingatnya," ujarnya dengan tenang, menghiraukan kekacauan dalam hatinya. Pengalihan diri adalah cara terbaik untuk menutupi luka yang sebenarnya.

"Aku hanya merasa sejak Ken pindah ke apartemen barunya, hubungan kalian seperti jauh. . ." kata Lily sambil menopangkan dagu, menatap buku.

"Kau telah salah melihat. Kami baik-baik saja. Hanya sekarang, mereka lebih banyak bersama karena memang sudah seharusnya sepasang kekasih begitu, bukan?" ungkapnya tanpa menoleh. Suara Martin datar, ia sangat ahli menyembunyikan frekuensi di tiap nada suaranya, mengolahnya menjadi sesuatu yang orang lain anggap tidak ada masalah. Namun sebetulnya, ada.

Sewaktu pertama kali Ken datang ke Taichung, malam pertamanya habis dilakukan di flat kecil miliknya, di Jey's Cut, salon lumayan terkenal di daerah Veteran Boulevard Taizong. Pemiliknya adalah dirinya sendiri. Usaha 10 tahun yang diturunkan dari ayahnya yang sekarang bekerja di Kanada. Ken menempati flat kecil yang ada di bagian atasnya sampai pria itu memiliki cukup uang untuk menyewa apartemen baru.

Ada masanya waktu berbalik berputar. Semenjak ayah Ken meninggal, pria itu terpaksa pindah ke Hongkong untuk membantu nenek dan ibunya berdagang. Tanpa tahu, seorang Ken sempat berkecil hati, bahkan menghiraukannya selama beberapa bulan. Pesan-pesannya tidak ada yang dibalas, seolah-olah Ken ingin menghilang dari Martin. Merasa dirinya telah menjadi miskin, Ken malah berbalik tidak ingin Martin membantunya di kala ia sudah mapan. Tapi, langkah terus berlanjut, Ken kembali datang dan mengatakan kalau ia membutuhkan bantuan.

"Lalu kapan kau akan mencari pacar?" iseng, Lily bertanya dengan tatapan menggoda. Martin melirik sekilas. Dalam hati ia ingin sekali menjauhi pertanyaan keramat itu. Masa lalu yang menyakitkan, rasanya masih terasa begitu melekat walau sekarang sudah tidak ada di depan mata. Martin tidak akan mudah melupakan itu walau sebetulnya ia tetap harus kembali berjalan.

"Kau ini ingin belajar atau mewawancaraiku, sih?" Alisnya terangkat, bertanya dengan sedikit resah.

Lily menangangkat bahu acuh tak acuh. "Kau tahu, jika aku jadi dirimu, mungkin aku sudah pergi dari Taichung."

Martin mengerjap sekali, seakan sadar pada kata-kata Lily barusan. Hatinya terenyuh, kenyataannya, itulah yang ia inginkan.

Tapi ia tidak bisa.

"Terkadang aku memerlukan diriku yang terluka. Karena aku bukan seseorang yang bisa menebak masa depanku nanti, apakah aku bisa bahagia tanpa terluka."

Lily menatapnya sejenak, kemudian dengan berhati-hati ia bertanya, "jadi, sampai kapan kau bertahan?"

Martin terdiam, menatap daun di pohon yang batangnya bergerak terkena angin dari luar jendela. Daun musim gugur di tahun selanjutnya, dan petanyaan yang tidak akan pernah ia ketahui jawabannya.

***

Teman-teman, mohon dukungannya dengan menekan bintang itu ya. Itu tuh, yang itu. Hehe. So far, terima kasih buat orang-orang yang udah baca dan kasih saran, itu menghangatkan nasiku. Eh# hati maksudnya😄Nextnya, part masih berangsur lambat, karena bingung juga mau ubah outline gimana lagi karena keterbatasan waktu, tapi aku harap kalian menikmati cerita ini^^
Xiexie Nimen!^^

(Revisi 15 Febuari 2018)

Maple (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang