Martin bangkit dari sofa ketika melihat Ken dan ayah Yisa keluar dengan seorang dokter dari kamar gadis itu. Ia langsung menghampiri ketiganya dan melihat ayah Yisa mengangguk lemah diikuti kalimat pamit dokter yang dipanggil ke rumah. Ken nampak murung, ia mendadak jadi pendiam selama beberapa jam setelah Yisa di bawa ke rumah dan memanggilkan dokter.
"Katanya ada beberapa saraf yang berkontraksi karena hal-hal psikologis. Salah satunya cerita lama," ungkap Ken lemah. Ayah Yisa beralih memandang Martin sedikit dingin, namun kembali membuang muka dan berlalu ke arah dapur.
"Setidaknya sudah tidak apa-apa," ujar pria itu acuh, berlalu ke dalam dapur. Martin menghampiri Ken mengabaikan ekspresi pria itu, tidak peduli.
"Apa yang terjadi?" tanya Martin sedikit berbisik. Ken melangkah lesu ke arah sofa di ruang tengah lalu menghempaskan diri tidak bersemangat.
"Ternyata masih ada beberapa saraf yang belum membaik," sahut Ken.
Martin mengernyit dalam. "Bukankah selama ini check-upnya berjalan penuh perkembangan?"
Ken menggeleng pelan. "Sejujurnya, tetap masih ada kemungkinan beberapa efek dari pengobatannya selama ini. Aku tidak tahu persisnya bagaimana, tapi yang pasti aku telah melakukan kesalahan."
"Apa maksudmu? Kesalahan apa?"
Ken menoleh datar ke arahnya dengan raut penyesalan. "Salah satu penyebab yang membuat sarafnya bisa berkontradiksi adalah cerita-cerita lampau yang kemungkinan bisa membuatnya sakit kepala atau bahkan pingsan. Otaknya masih lemah, tetapi tanpa ia sadari, ia memaksakan diri untuk mengingat sesuatu yang ia inginkan."
"Apa yang kau katakan padanya?"
"Aku---" Ken memandang lurus ke arahnya, namun bungkam enggan berkata, membuat Martin menjadi sedikit penasaran.
"Sebaiknya kita bicara di luar, aku takut percakapan kita semakin mengkhawatirkan paman Yu. Ayo." Ken bangkit dari sofa melangkah keluar rumah. Walaupun Martin masih agak bingung, tapi ia tetap mengikuti langkah sahabatnya itu membelah udara malam yang dingin di gang kompleks, berjalan tak tentu arah.
Bulan utuh menggantung di cakrawala hitam. Langit berawan, hendak hujan. Sambil mengeratkan sweater hitamnya berjalan melewati atap-atap rumah yang sudah gelap, Ken bersuara pelan.
"Sebetulnya aku tidak ingin mengingatkannya tentang hal apapun mengenai masa lalu. Bahkan aku tidak sengaja. Karena alasannya ini, aku takut ia kembali sakit seperti ini."
Langkah Martin sedikit terseok, ia menunduk, mengamati aspal kelabu yang lembab habis terkena air hujan.
"Kalau begitu, jangan ingatkan dia lagi. Kau sudah tahu resikonya, dan lagi pula, kau tidak ada di masa lalu, bukan? Itu lebih baik karena sekarang kau yang terpenting. Bukan dulu," jawab Martin mengangkat wajah tersenyum tenang. Ia menoleh, balas menatap wajah sahabatnya di bawah temaramnya lampu jalan.
"Kau benar. Tetapi," hening sejenak, Ken menengadah, melihat langit yang penuh gumpalan awan, menutupi berlian yang biasanya terbentang di cakrawala malam, "aku hanya seperti perlu mengetahui hidupnya yang dulu. Kau tahu, tanpa masa lalu hidup kita terasa kurang lengkap?" ujar Ken menyeringai tipis, mengoleskan sejumput luka yang mendesir dalam hatinya.
"Tetapi, tanpa masa lalu, kalian lebih baik seperti ini. Kau kan tidak tahu apakah masa lalu itu bisa berdampak atau tidak bagimu," jawab Martin yang dibalas anggukan tipis.
"Bersyukurlah selagi ia masih mengingatmu. Kau tidak akan tahu kapan ia melupakanmu, bukan?" tambah Martin sedikit menoleh, buru-buru menyembunyikan senyum kecut yang tidak pernah terlihat itu.
"Aku berharap dia tidak melupakanku."
Tanpa sadar, langkah Martin melambat. Seakan penyataan Ken menjalar membekukan kakinya hingga ke dasar masa lalu yang penuh luka.
"Terima kasih, sobat."
Martin mengangkat wajah pelan, lalu tersenyum hingga memunculkan lesung pipinya.
"Rencana besok, jadi kan? Kau sudah menelepon Jessica?" tanya Ken sementara langkah keduanya semakin mengujung dan hampir tiba di persimpangan jalan raya. Lampu-lampu kendaraan simpang siur menerangi mulut gang kompleks.
"Sudah. Katanya besok siang kita bisa bertemu dengan Jun."
Ken tersenyum lebar. "Baguslah. Akhirnya kau bisa bertemu dengan Jun ini.
Bagaimana perasaanmu? Kesempatan emas mendatangimu, shongdi!" ujarnya kembali riang, melupakan permasalahan pacarnya sejenak.Martin mengulum senyum tipis, "entahlah. Aku sendiri sulit membayangkannya."
"Aku tahu kau gugup. Tapi percaya dirilah. Jey's Cut sudah membuktikan semuanya," kata Ken menenangkannya, kemudian kembali tersenyum lebar bahkan tertawa bahagia.
Semua orang percaya ia akan sukses.
Semua orang ingin melihatnya bahagia.
Namun, kenapa hatinya tidak?
***
Hari ini kesiangan apdetnya hehe. By the way, kalau ada yang iseng mau liat works aku silakan kunjungi Tokyo Kiss yaa aku lagi rencana buat Sequel sih, tapi belum tahu kapan. Yang pasti selesain ini dulu hehe. Dan buat teman-teman yang masih baca, i wanna say thankyou so much karena cerita ini beda dari cerita lamaku yang bawa-bawa cogan. Cerita ini alurnya lambat dan penuh luka #ciah. Walau begitu, aku yakin pasti diluar sana ada orang yang pernah merasakannya dan berhasil melewati semua hari-hari itu. Yup so here this one. Hope u guys enjoy^^
Please pencet bintangnya ya^^ thank you😘
![](https://img.wattpad.com/cover/121517575-288-k143241.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Maple (Sudah Terbit)
Fiksi UmumCompleted. Tersedia di Gramedia Digital (ebook). Cek ig WWG Publisher for order :) #164 in General Fiction Martin Lun menyembunyikan sesuatu. Di kamarnya yang selalu terkunci, Ken Chu, sahabat masa kecilnya itu selalu bertanya-tanya hingga sekarang...