"Aku tak percaya kau bilang masih lapar." Suara Ken beradu dengan desing api kompor besar yang membara dari dalam food truck penjual mi ternama di Taizhong, A Bao. Pria yang kepalanya nyaris mengenai atap mobil truknya sendiri itu sedang sibuk membuat pesanan dirinya dan Ken.Yisa menyelipkan seuntai rambut ke belakang telinga lalu terkekeh pelan. Malam itu gerimis merintik kecil. Tadinya A Bao sudah hampir mau tutup karena sudah larut juga. Setelah selesai dari perayaan ulang tahun Martin, keduanya pamit pulang, tetapi pada kenyataan Yisa merasa sangat enteng dan butuh sesuatu untuk di makan. Yah, perjamuan makan malam di perayaan ulang tahun Martin tadi tidak memuaskan karena kepalanya terus-menerus tak berhenti berdenyut akibat rasa 'de javu' yang tiba-tiba itu.
"Sebetulnya aku sedikit kurang napsu, tadi," jawabnya lesu.
Ken mengerutkan alis. "Kenapa? Ada apa? Pestanya kurang seru karena kau menontoniku main adu pancu terus, ya?"
"Bukan, Ken. Aku tadi merasa aneh. . ."
Ken yang duduk di sampingnya terdiam, memandangnya penuh keheranan. "Apa yang aneh?"Di antara suara percikan gerimis, Ken mengulurkan tangan, menariknya mendekat ke kursinya. Kemudian merengkuh tangan mungilnya yang mulai membeku. Tak terasa, musim gugur akan segera tiba. Yisa beralih memandang kekasihnya, merasa tak yakin.
"Aku merasa. . . kau pernah dengar de javu?"
Ken mengeryit cukup dalam tetapi ia tidak nampak tidak paham, "oh, de javu? Seharusnya itu hal yang biasa, bukan? Jangan terlalu di pikirkan hingga membuatmu terpuruk begitu. Memang ada apa dengan de javu itu?" Ken menenangkan, tapi ia tidak merasa baik. Gejolak hatinya terus mengatakan, ia seperti pernah melakukannya, tetapi pikirannya tidak menemukan berkas-berkas itu. Tidak bisa membuktikan, dan hanya ada rasa yakin yang mendalam pada sesuatu yang tidak pernah ia ingat.
"Mungkin ini aneh, tapi baru kali ini aku merasakan de javu yang begitu kuat."
"De javu itu hal biasa, Yisa."
Mendadak suara berat dari belakang mengejutkan keduanya. Yisa menoleh cepat ke jalan gang yang remang dan sepi itu lalu menemukan bayangan hitam dari tubuh pria besar yang tidak terkena sorot sinar lampu jalanan. Tidak salah lagi, itu ayahnya sendiri.
Ken beranjak berdiri sementara Yisa mengembangkan senyumnya.
"Ayah? Kau baru pulang?"
Bersamaan dengan itu langkah pria yang memakai jaket hitam hangat itu muncul di antara sinar kuning lampu truk A Bao. Ayah Yisa mengembangkan senyum.
"Kau sendiri?"
"Paman!" sambut Ken dengan suara riang lalu beranjak merangkul pria itu dengan gerak ramah, mempersilakannya duduk di kursi kayu panjang. Dari dalam truk A Bao menoleh lalu melambai dengan sodet mi panjangnya.
"Mi jamur?" tanya A Bao tak kalah riang. Ayah Yisa membalas dengan anggukan santai yang sangat dikenali orang-orang.
"Jangan pakai bawang, ya!" balas pria itu sambil tersenyum kemudian kembali memandang Yisa.
"Dari mana, Yisa?" tanya ayah Yisa santai pada keduanya.
"Kami baru saja merayakan ulang tahun Martin tadi, tapi karena putrimu ini mendadak kelaparan, jadi aku mengajaknya ke sini saja. Paman sedang ada urusan?" sambar Ken. Yisa lega sejujurnya karena ia lolos dari pertanyaan itu. Pertanyaan yang membuatnya kembali memberi sinyal mengenai de javu itu.
Beberapa waktu yang lalu Yisa sempat mengalami hal de javu seperti ini juga. Bahkan hingga ia begitu merasa yakin kalau pernah melihat atau melakukan ini sebelumnya. Saat itu ayahnya bilang kalau de javu itu hanya perasaan atau mimpi yang bisa saja menjadi nyata. Tapi Yisa tidak percaya. Dari lubuk hatinya ia merasa sangat yakin kalau semua itu seperti pernah terjadi. Ketika itu ayah Yisa tiba-tiba membentaknya dan berkata kalau itu hanya perasaannya. Yisa harus berhenti mengatakan atau merasakan hal-hal yang berbau tentang masa lalu atau tentang pernah melakukan ini dan itu. Katanya, itu sangat tidak baik untuk kesehatannya.
Dan sampai sekarang, mungkin ayahnya terus mencemaskan dirinya yang selalu berpikir begitu.
Atau, ada hal lain yang di sembunyikannya?
Atau. . . ada sebuah kecelakaan besar yang tak ia tahu menimpa dirinya?
"Yisa, sudah berapa kali kukatakan, jangan berusaha mengingat hal-hal yang tidak bisa kau ingat. Sangat tidak baik untuk kesehatanmu."
Yisa menoleh pelan ke arah wajah pria yang sedikit mengerutkan alis itu.
"Aku tidak berusaha mengingat. Itu hanya terus mengganggu dan berkelebat tak mau pergi. Aku bisa apa kalau saraf-saraf di kepalaku mulai bersiteru begitu?" elak Yisa sambil berusaha membela diri melirik A Bao yang diam-diam mengintip dari balik meja dapur.
"Lupakan. Jika dia datang, lupakan saja. Kau sudah hidup di dunia ini. Tidak usah memperjelas sesuatu yang sudah pudar. Karena terkadang, yang terpudar, memang seharusnya pudar. Karena jika sudah jelas, bisa jadi itu merusak apa yang kau ketahui sekarang," tutur Yu Zhou sedikit murung, memandangi genangan air di pojok gang yang sempit tanpa menyadari sepasang mata yang memandanginya.
Sepasang mata A Bao yang memandanginya dengan penuh rasa penyesalan.
***
Halo apdet lagi hehe. Terima kasih kalau masih ada yang baca sampai sini, kalau berkenan, silakan votesnya di pencet ya hehe. Di part ini saya menyinggung de javu, apa ada yang setuju dengan pendapat Jielun di atas kalau de javu itu mimpi yang menjadi kenyataan? Atau ada yang punya pendapat lain? Silakan share ke sini ya! Thank you^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Maple (Sudah Terbit)
Ficção GeralCompleted. Tersedia di Gramedia Digital (ebook). Cek ig WWG Publisher for order :) #164 in General Fiction Martin Lun menyembunyikan sesuatu. Di kamarnya yang selalu terkunci, Ken Chu, sahabat masa kecilnya itu selalu bertanya-tanya hingga sekarang...