Kala hujan tak menyapa, kala itu kurasa kau, sudah benar-benar lupa.
∞Yisa Yu baru saja keluar dari kelasnya ketika ia melihat batang hidung Martin Lun yang sedang menunggunya di kursi duduk sembari membaca buku. Segerombolan mahasiswa berhamburan ke lorong kampus, Yisa berjalan mendekati Martin yang belum sadar.
"Kupikir hari ini Ken tidak terlambat," sahutnya mengejutkan pria itu. Martin beranjak berdiri dan menyimpan bukunya, tersenyum ke arah Yisa.
"Maaf. Sepertinya Ken sedang ada pembahasan tambahan untuk laporan akhir tahun. Kau tahu, senior bagian photography sangat sibuk akhir-akhir ini," ujar Martin. Yisa mengangguk, merasa perlu bertanya lebih dalam mengenai kegiatan kekasihnya akhir-akhir itu karena ia merasa mulai semakin hari, Ken semakin memudahkan posisi Martin Lun untuk menemaninya. Padahal, kenapa Ken tidak meminta bantuan orang lain saja? Kenapa Martin Lun? Si Pengusaha muda yang sedikit introvert yang memiliki tingkat kebaikan melebihi pacarnya sendiri?
Bukankah akan menjadi masalah jika kekasihnya malah lebih sering jalan bersama atau kencan berdua dengan sahabatnya sendiri?
Sebetulnya Yisa juga tidak masalah pada Martin Lun karena hal itu sudah sangat biasa untuknya. Bahkan Martin Lun sedikit memiliki peran dalam hubungan ini. Hanya terkadang Yisa sering canggung pada sikap pria itu yang seolah-olah bisa membuatnya tersipu di depan Ken. Itu sangat tidak sopan, tapi Yisa harus mengakui kalau Martin yang diam-diam itu memang memiliki pesonanya tersendiri dalam memikat hatinya.
"Mau menunggunya bersamaku dan Lily di perpustakaan?" tawaran Martin membuyarkan lamunannya.
"Oh, ya, tentu saja," jawab Yisa cepat. Ah, Lily, untung saja ada gadis riang itu.
Keduanya membelah koridor kampus yang lengang. Bangunan kampus yang lekat dengan nuansa tahun 70-an itu mengiring nostalgia lama di antara deburan angin musim gugur yang menerpa. Sebulan lagi musim gugur akan tiba. Yisa menanti kala untuk pertama kalinya menyaksikan daun pohon di depan rumahnya berubah kemerahan, jatuh ke tanah lalu menyirami pemandangan jalan dengan lautan oranye yang indah.
Hingga sampai saat ini, ia sangat menantikan hari itu tiba. Musim gugur di Taichung pasti berbeda dengan musim gugur setahun yang lalu di Wina, Austria. Kehangatan akan menelusup, merasuki pikiran dan membekas ke hati, seperti kata ayahnya. Musim gugur di Taiwan adalah salah satu yang harus disaksikan semua orang, karena setiap kenangan akan terbang dan jatuh meninggalkan kita. Tersapu oleh air mata dunia dan tenggelam, hilang dan lenyap.
Martin Lun melepas sepatu conversenya ketika sampai di teras perpustakaan samping gedung utama, di susul Yisa yang mengikutinya dari belakang. Siang itu perpustakaan sepi. Di Universitas Tunghai, bagi sebagian mahasiswa yang sering lembur atau pekerja keras, mereka akan menjadikan perpustakaan sebagai rumah kedua. Maka tak heran, jika di pojok-pojok lemari belakang sering terdengar dengkuran pelan. Waktu mereka lebih sering dihabiskan di perpustakaan dari pada di rumah.
Yisa dan Martin berjalan ke sayap kanan perpustakaan. Tempat di mana banyak meja dan kursi beserta lemari-lemari tinggi menyempil ditengahnya. Angin melesak masuk lewat jendela tingkap kayu yang terbuka. Jalan Yuenong di samping perpustakaan menghiasi dinding perpustakaan layaknya lukisan pemandangan.
Pohon-pohon di pinggir jalan masih hijau. Mereka masih bisa tertawa-tawa dalam balutan baju musim panas. Tetapi akan bungkam kala napas mereka berembus dingin menyambut musim gugur. Dari pojok ruangan, Yisa melihat Lily, gadis seumuran Martin yang gayanya lebih muda dari pada dirinya, melambai riang ke arah mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maple (Sudah Terbit)
Художественная прозаCompleted. Tersedia di Gramedia Digital (ebook). Cek ig WWG Publisher for order :) #164 in General Fiction Martin Lun menyembunyikan sesuatu. Di kamarnya yang selalu terkunci, Ken Chu, sahabat masa kecilnya itu selalu bertanya-tanya hingga sekarang...