枫 - Bab Sebelas

125 28 6
                                    


Kebas. Kebal. Kuat.

Entah berapa kata di antara itu yang memiliki makna sama; tahan, mungkin cukup untuk mendeskripsikan hati dari seorang pemilik itu. Berkat kehidupan masa lalu yang indah, Martin jadi mengerti banyak hal mengenai cinta. Tentang dasar pengenalan dan hingga akhirnya memilih terluka untuk bahagia.

Filosofi mengenai 'aku bahagia melihatnya bahagia' mungkin bukan sesuatu yang naif karena itu benar adanya.

Dan mungkin masih banyak sekali filosofi mengenai dasar cinta tentang merelakan, tetapi satu hal mengenai dirinya kenapa bertahan adalah; karena melihat senyum kedua orang yang ia sayang selalu di sana. Setidaknya, biarlah dia yang terluka, bukan seseorang yang di sayang menangis atau
pergi.

Tetapi, masa lalu memang seharusnya ada di masa lalu, bukan? Bagi Martin, mungkin itu tidak berlaku karena masa lalu sudah merengkuh jiwanya hingga hari ini. Ia tidak akan pernah bisa melupakan masa lalu. Ia tidak akan bisa meninggalkannya. Karena sekarang, keindahan itu hanya miliknya. Ya, cuma dirinya.

Koridor remang di sepanjang lobi bioskop lengang. Orang-orang baru saja masuk dari teater yang seharusnya sudah dimasuki olehnya, Ken dan Yisa. Yisa sedang pergi ke toilet, sedangkan Martin sedang menunggunya dengan gerak gusar karena Ken sama sekali tidak tersambung ke ponselnya.

Anak itu ke mana lagi?

Mungkin bagi sebagian orang, jika sahabat mereka sudah memiliki pacar, mereka akan sedikit menjauh atau setidaknya memiliki jadwal untuk kencan berdua tersendiri di setiap minggunya. Tetapi, sepertinya gagasan itu tidak berlaku bagi Ken.

Martin sudah mengenal pria itu sejak umur mereka lima tahun. Bahkan mungkin masing-masing mereka sendiri tahu hubungan itu lebih dari seorang sahabat. Ken selalu menganggapnya sebagai saudara. Bahkan dari kecil, Martin selalu merasakan keberadaan itu walau agak sulit karena permasalahan antara orang tua masing-masing pihak. Tetapi, Ken si anak orang kaya yang sangat ceria itu, tidak pernah mengeluh walau sudah tahu persis Martin seperti apa. Martin sendiri awalnya bingung, tetapi, yang namanya seorang sahabat adalah sama artiannya dengan kesatuan. Mereka melengkapi sebagian isi yang kosong. Mereka melengkapi sudut yang hampa, mengisinya dengan perbedaan yang melengkapi. Dan mungkin itu artian yang membuat Martin sampai sekarang merasakan seorang sahabat yang sesungguhnya.

Buktinya, bahkan hingga hari ini.

Ken mengangkat telepon setelah lima kali nada sambung terdengar.

"Ada di mana kau? Film kita sudah mulai!" serunya dengan wajah tetap tenang. Sebelah tangannya sedang mengepit kantung popcorn dan segelas soda di depan dadanya, matanya sibuk mencari-cari Yisa yang belum muncul setelah pergi hampir sepuluh menit.

"Maafkan aku, Martin! Sungguh! Sepertinya kencan segitiga kali ini aku tidak bisa datang! Karen---ah! Aku benar-benar kesal. Kenapa bahan portofolioku selalu mendadak?! Ah, salahku juga sih sebetulnya karena kurang perhatian dengan pemberitahuan kelompok---tapi, tunggu, aduh. Sungguh, aku tidak bisa datang, Martin. Aku benar-benar harus bergadang di kampus, mana di luar hujan---"

Martin melihat Yisa muncul dari antara kerumunan orang-orang dari depan lobi. Gadis dengan balutan t-shirt sederhana dan jins pendek dengan cardigan itu mengangkat senyum, namun sedetik senyum itu menghilang kala melihat kerutan di wajah Martin. Seperti tahu akan kabar yang kurang menyenangkan itu.

"Hm, ini sudah ketiga kalinya kau melewatkan kencan segitiga ini, Ken," gerutu Martin datar memandang teleponnya seakan memberitahu apa yang terjadi juga pada Yisa.

Maple (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang