"Martin, ingat tidak wanita tua yang beberapa kali sering datang ke salon kita dan selalu memarahi kita jika kita memegang kepalanya benar-benar?"Martin yang sedang membenarkan tali sepatu di depan kelas menegakkan punggung seraya berkerut, berusaha mengingat.
Beberapa detik kemudian ia menyunggingkan senyum. "Ah, ya. Bibi Temperamen. Ada apa dengannya?"
Ken melangkah bersamaan dengannya melewati jalan setapak menuju perpustakaan. Kali ini Martin tidak sempat menjemput Yisa karena sedang berurusan dengan dosennya beberapa menit yang lalu. Alhasil, Yisa tinggal berdua bersama Lily di perpustakaan menunggu Ken menjemputnya.
"Kalau tidak salah, bukannya beberapa hari yang lalu dia marah-marah karena kita kelamaan mengeringkan rambutnya, ya? Kenapa kemarin siang dia tiba-tiba menjadi baik padaku? Lihat, dia malah memberikanku giok kecil begini katanya untuk peruntungan nasib." Ken mengacungkan sebuah batu giok kecil kepada Martin yang langsung di balas cekikikan.
"Itu sebabnya kami memanggil dia bibi Temperamen. Dia itu orang tua yang ekspresif serta labil. Semua orang sudah tahu dia begitu," jelas Martin sambil menyisakan tawa, menatap wajah temannya yang meringis sedih. Maklum, Ken baru beberapa bulan menjadi asisten pemimpin dan belajar menata rambut di Jey's Cut, jadi sudah harfiah jika ia sering di omeli beberapa pelanggan akibat hasil yang memuaskan. Tapi Martin sendiri tidak pernah marah atau menyesal. Karena ia percaya semua ada prosesnya.
"Pantas saja. Tapi---" Ken mengamati batu giok yang kembali diterimanya dari Martin sambil menahan napas resah, "ini benar-benar penghinaan namanya. Masa aku harus menggunakan ini supaya nasibku baik? Apa-apaan! Shioku ayam, dan itu sudah peruntungan yang baik karena ayam adalah lambang kekayaan!" seru Ken kembali menyimpan benda itu dengan sebal. Martin tertawa kecil melihat tingkah sahabatnya itu.
"Hei, ikuti kata pepatah. Nasihat orang tua itu yang paling mujur."
Ken tertawa lesu memandangnya. "Lucu sekali. Terima kasih, shong di. Pelangganmu memang sangat bijaksana."
Keduanya melipir ke beranda perpustakaan, melepaskan sepatu lalu masuk ke dunia penuh buku itu dengan langkah hening. Ketika Yisa dan Lily nampak dari belokan lemari buku terakhir, Ken berteriak setengah berbisik memanggil Yisa.
Yang dipanggil menoleh, tersenyum lebar ke arahnya. Sebagian rambut panjangnya terbang, diterpa angin dari jendela. Di antara kelebatan sinar matahari dan batang-batang rambut itu, entah kenapa Martin merasa senyum hangat itu selalu menimpa jantung masa lalunya menuju rindu yang pilu.
Ah. . .
"Hai!" balas Yisa sambil berbisik. Mata Ken melebar takjub ketika melihat sebuah karya seni membentang di depan matanya.
Kertas gambar berukuran A3 terbentang di atas meja. Lily sedang sibuk mewarnai sebagian gambar halus dari sketsa yang sudah jelas di lukis oleh Yisa, menggunakan pensil warna. Perpaduan gradiasi warna yang halus begitu melekat pada gambar tersebut.
Sebuah pohon maple yang anggun berdiri di tengah kertas, berikut dengan tumpukan daun-daun yang diwarnai kemerahan-kekuningan oleh Lily bertebaran di tanahnya. Ia sedikit tertegun mengamati beberapa daun jatuh yang diterpa angin, membayanginya nampak bergerak dan hidup. Seakan bisa merasakan napas dan angin dingin yang menerpa, kemudian waktu-waktu lampau mulai beringsut menelisik hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maple (Sudah Terbit)
Fiksi UmumCompleted. Tersedia di Gramedia Digital (ebook). Cek ig WWG Publisher for order :) #164 in General Fiction Martin Lun menyembunyikan sesuatu. Di kamarnya yang selalu terkunci, Ken Chu, sahabat masa kecilnya itu selalu bertanya-tanya hingga sekarang...