10 tahun yang lalu.
Langkah anak-anak berderap, berlarian menembus lapangan sepak bola sambil berteriak-teriak untuk pembagian tim. Siang terik, peluh keringat berkilauan membasahi kening. Tak ada semburan awan setipis pun, yang ada hanya birunya cakrawala membentang luas di atas kepala mereka.
Pulang sekolah, waktunya bermain.
"A Fu, Guahai, A Tuo, dan Weilan, ikut aku. Sisanya bersama Ken! teriak bocah bermata sipit, kepala botak yang kemejanya sudah dekil tak keruan. Keringatnya sudah bercucuran sampai punggung kemejanya basah. Yang disebut namanya mengangguk lalu setuju. Namun Ken langsung beralih melihat sisanya.
Kekurangan satu orang.
"Kami kekurangan satu pemain," ujar Ken sambil menghitung sisanya. Shulin, bocah nakal itu mengangkat bahu tidak peduli."Lalu, urusannya denganku? Aku tidak peduli uyang penting kita bermain."
Ken kecil berkerut cemas. Kalau begini ia akan kalah. Empat orang saja tidak cukup. Ia butuh satu lagi.
"Kenapa? Kau ingin menyerah saja?" seringai kecil muncul di wajah Shulin,. Darah Ken mendidih. Enak saja, seorang Ken tidak mau mengaku kalah begitu.
"Siapa takut! Aku akan membuktikan kalau kami akan menang!" ketus Ken kecil dengan berani.
"Baiklah. Jangan salahkan kami kalau kau pulang dengan air mata ibumu!" Shulin tertawa puas beserta teman-teman sekongkolnya. Ken hanya mendengus. Shulin memang terkenal sebagai anak nakal yang besar mulut, Ken tidak pernah mau kalah dengan bocah tengik itu. Maka, walau timnya kurang, ia akan bermain secara jantan. Lagi pula, Shulin kan tidak pernah menang melawan siapapun dalam bermain futsal. Hanya karena di timnya ada Weilan, si pemain belakang yang harus di waspadai, Ken tidak pernah takut untuk mencoba melawan mereka.
"Tunggu!" tahan seseorang dari luar lapangan. Serentak, semua bocah itu menoleh ke arah sumber suara.
Langkah kakinya terhenti setelah ia berteriak. Peluh menetesi pelipisnya, sambil mengendalikan napas, pemuda yang baru sampai itu melihat Ken yang tertegun.
"Jangan mulai tanpa aku."
"Martin!" pekik Ken tersenyum lebar. Seringai Shulin memudar, Martin memandangnya dengan wajah dingin, lalu ia merangkul sahabatnya itu sambil menaikan dagu dengan angkuh ke arena lapangan.
"Nah, bagaimana? Aku siap sekarang, kalian siap?" Ken bertanya dengan nada penuh menantang ke arah tim Shulin yang membisu dari tawa-tawa remehnya. Sedangkan Shulin, jelas sekali nampak cemas.
Tentu Shulin cemas.
Martin adalah pelari tercepat.
Jika ia sudah menggiring bola, jangan harap kau mendapat jatahnya.
***
"Sudah kubilang, Shulin payah sekali, kan!" ujar Ken sambil berjalan dengan senyum lebarnya yang puas berkat kemenangan pertandingan futsal atas tim Shulin hari ini. Skor seimbang, dan Ken tidak henti-hentinya mengungkapkan kegirangannya pada sahabatnya itu. Sedangkan Martin hanya tersenyum kecil sambil menggiring bola karet mahal yang menjadi hadiah kemenangan hari ini.
"Kau selalu datang tepat waktu. Eh, bagaimana kalau hari ini kau ikut bersamaku bermain di rumah? Aku ada CD game terbaru," tawar Ken sambil melompat ke depan dengan riang, menahan langkahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maple (Sudah Terbit)
Fiction généraleCompleted. Tersedia di Gramedia Digital (ebook). Cek ig WWG Publisher for order :) #164 in General Fiction Martin Lun menyembunyikan sesuatu. Di kamarnya yang selalu terkunci, Ken Chu, sahabat masa kecilnya itu selalu bertanya-tanya hingga sekarang...