Pemaksaan kencan bertiga oleh Ken baru saja dibantah keras oleh Martin setelah bersikeras dan berjanji ia akan memulai kencan segitiga itu di malam minggu.Ah, anak itu. Kenapa selalu merasa keberadaannya lebih penting dari pacarnya? Martin sampai bingung apakah sahabatnya itu memiliki kepribadian ganda. Tetapi kala itu Ken membantahnya keras-keras bahkan hampir menjitak kepalanya. Ketulusannya bahkan di luar nalar. Walau ia selalu merasa tidak enak dengan Yisa, takut secara wanita, biasanya mereka lebih terangsang pada perasaan-perasaan yang menggelitik hati.
Tapi, tunggu. Apakah kehadirannya menggelitik lubuk hati gadis itu? Ah, jangan konyol. Yisa pacar Ken, Yisa pacar Ken, Yisa pac---
Martin menghela napas, menatap layar ponselnya yang bergeming. Pikirannya mulai melancong jauh dari raganya, terbang ke beberapa harapan yang sering tumbuh namun kembali hancur lagi. Langkah kakinya membelah jalanan gang yang sepi dan sedikit basah karena bekas hujan siang tadi. Beberapa daun rontok tertimbun di antara air genangan. Martin mengamati itu sejenak.
Musim gugur tahun lalu ada sebuah harapan, tapi di musim gugur tahun ini, ia kehilangan harapan. Atau, apa ia bisa mendapatkannya kembali?
Setelah kembali dari Jey's Cut menyapa beberapa pelanggan yang sekaligus temannya, ia memilih pulang ke rumahnya yang berada tepat di belakang gedung salon tersebut. Salon Martin bukan hanya pria, tetapi model-model wanita yang lumayan terkenal sering mampir ke sana juga. Berbagai rekomendasi pun muncul dari para teman model dan aktrisnya itu, membuat nama Jey's Cut mulai dikenal di berbagai tempat. Tak ketinggalan, Ken yang selalu memiliki teman di mana-mana itu pun ikut mempromosikan.
Tetapi, keramaian itu hanya kepura-puraan untuk menutupi dirinya yang sebenarnya. Saat yang sesungguhnya adalah di mana ia duduk di tepi ranjang, menatap lantai kayu bergaya Venakular di bawahnya, lalu merasakan desing yang teramat menyakitkan hatinya karena semua yang di dengar hanya masa lalu.
Kalau hanya dengan berpura-pura ia masih bisa bahagia, kenapa tidak?
Martin mendorong gerbang tua ringkih di depan rumahnya, memasuki halaman depan rumah bergaya Vernakular itu lalu berjalan melewati lorong pendek menuju dapur hendak membuat kopi.
Ruang dapur menyatu dengan ruang tengah. Di sampingnya terdapat pintu berkusen kuno yang dibuka hingga membentang taman belakang yang sejuk. Martin sengaja tidak pernah menutupnya karena berpikir taman belakang sudah menjadi sebagian dalam rumahnya. Ia sangat nyaman dengan keberadaan angin-angin penghantar masa lalu yang sendu. Bahkan terkadang ia sering mendengar bisikan sukma yang mengatakan masa lalu adalah sebagian hidupnya, tidak bisa ditinggalkan atau disesalkan. Terjadi begitu saja dan direlakan begitu saja. Karena kenangan tetaplah sebuah kenangan.
Martin mengaduk kopinya lambat. Tanpa sadar pandangan matanya pelan-pelan keluar fokus. Interior ruangan sedikit termaram. Dinding rumah berpartisi kayu itu terpampang beberapa pajangan lukisan kuno Lanting Xu dari Wang Xizhi di sebagian tempat. Martin sangat menyukai puisi-puisi lama dari penyair kuno. Maka tak heran, rumahnya bgitu kental nuansa oriental yang hangat.
Ia membawa cangkirnya ke beranda taman belakang, duduk dan meluruskan kaki sejenak. Harum kopi susu menguar, mengisi petang di antara semilir anginnya.
Saku celana Martin mendadak sempit saat ia menekuk kakinya. Pria itu tertegun sejenak, kemudian meraba sakunya. Teringat akan benda yang ia terima dari Jessica, teman sekaligus model iklan ternama di Taiwan yang tadi meneleponnya, memberikan sebuah surat lewat postman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maple (Sudah Terbit)
Fiksi UmumCompleted. Tersedia di Gramedia Digital (ebook). Cek ig WWG Publisher for order :) #164 in General Fiction Martin Lun menyembunyikan sesuatu. Di kamarnya yang selalu terkunci, Ken Chu, sahabat masa kecilnya itu selalu bertanya-tanya hingga sekarang...