Serial BIMAQUEEN – 4. Toleransi
Penulis : Uniessy
Dipublikasikan : 2017, 21 September
-::-
"Ih! Apa banget sih ini film?" dumal Queen begitu sedang menonton satu tayangan di ponsel pintarnya.
Bima, yang siang ini sedang menonton berita di televisi, menoleh. Kegiatannya ngemil lembar-lembar brownies keriuk, jadi terhenti.
"Kenapa, Ta?"
Bima sudah lumayan paham bahwa seorang Qanita yang ia nikahi ini tidak begitu suka menonton berita. Apalagi berita kekerasan. Dan sesungguhnya mereka jarang menonton televisi karena biasanya layar televisi mereka hanya memutar rekaman kajian yang mereka unduh di internet.
Jadi, jika tiba masanya Bima menonton berita, Queen akan sibuk dengan ponselnya. Berselancar di sosial media.
"Ini lho, Mas," jawab Queen, ponsel yang berada dalam genggamannya agak bergerak sedikit ke hadapan Bima. "Orang bikin film tentang toleransi, tapi isinya menyudutkan Islam!"
Bima melirik sekilas, dan langsung paham apa yang sedang diributkan oleh istrinya ini. Dia sendiri sudah menontonnya terlebih dahulu. Kemarin, di ruang dosen. Riuh ramai membahas tentang film yang dimaksud.
Film tentang toleransi. Di adegan awal diperlihatkan seorang ibu yang anaknya sakit dan mendapat nomor antrean yang masih jauh, kemudian ada orang lain yang rela menukar nomor antreannya yang sebentar lagi dipanggil untuk ibu tersebut.
Bagus, memang. Tapi adegan selanjutnya sungguh memuakkan.
Satu mobil dihentikan lajunya hanya karena ada pengajian sedang berlangsung, sementara orang sakit yang ada di dalam mobil tersebut adalah seorang nasrani.
Entah bagaimana, sepertinya si pembuat film sengaja mempertontonkan bahwa seolah-olah umat muslim hanya mementingkan kepentingannya sendiri, dan abai pada keselamatan nyawa orang lain, kendati orang tersebut nyaris mati.
Konyol.
Orang-orang berpikiran dangkal akan digiring untuk berpikir bahwa seperti itulah wajah muslim di Indonesia.
Konyol sekaligus miris.
Miris, sebab Indonesia adalah negara dengan rakyat yang mayoritas muslim, tetapi senantiasa diinjak-injak harga diri mereka hingga sedemikian rupa oleh berbagai oknum.
"Namanya juga bikinan munafik, Ta," Bima mulai merespons rasa kesal istrinya. "Udah, ngga usah digubris. Report as spam aja, selesai."
"Iya sih, Mas. Tapi kesel gitu kan," Queen masih menggerutu. "Memangnya ngga ada contoh lain apa ya?"
"Mereka kalau mau ambil contoh, mestinya bisa ambil kejadian waktu Aksi Bela Islam di 411 dulu," ucap Bima yang kemudian menon-atifkan volume suara televisi. "Itu bukan contoh fiktif. Itu real. Bukti nyata bahwa toleransi antar umat beragama benar-benar dijunjung tinggi oleh Islam."
Bola mata Queen berputar. "Emang ada?"
"Ada," sahut Bima. "Yang orang nikah itu lho. Di Katedral?"
"Oh! Iya, aku inget..." kata Queen, tampak senang. "Aku pas lihat beritanya, merinding."
Saat Aksi Bela Islam di tanggal 4 November beberapa tahun silam, ada kejadian menarik. Di tengah embusan kencang bahwa Islam adalah agama yang jauh sekali dari toleransi hanya karena menolak mengucapkan selamat natal dan lain sebagainya, Allah memberikan kesempatan umat muslim di Indonesia yang saat itu tengah membela ayat suciNya di Jakarta, untuk membuktikan diri. Bahwa Islam mengajarkan toleransi lebih dari yang lain. Bahwa Islam adalah agama damai.
Hari itu, sepasang calon mempelai tersebut mungkin tidak menyangka bahwa tanggal 4 November dipilih oleh ulama-ulama untuk menggelar aksi damai, memprotes kalimat hinaan yang diluncurkan oleh petinggi negara terhadap keyakinan umat muslim. Jadi, dengan susah payah sepasang pengantin itu menerobos kerumunan untuk tiba di Gereja Katedral yang letaknya memang berseberangan dengan Masjid Istiqlal. Masjid yang digunakan untuk titik awal long march pada 4 November.
"Kalau umat Islam itu ngga toleransi, pasti ngga bakal dikasih lewat ya, Ta," kata Bima, mengenang tanggal bersejarah bagi mereka berdua. "Buktinya mereka malah dikasih jalan. Dibantu. Ukhuwah saat itu tuh kayak zaman Nabi. Umat hidup berdampingan. Damai. Tenteram."
"Iya, Mas. Ngga ada kebencian. Adanya respect satu sama lain ya? Ngga kayak film ini nih."
Bima mengangguk. "Setiap ada yang ungkit-ungkit bahwa Islam adalah agama yang ngga toleran, aku rasanya pengin kasih lihat mereka video penting itu, Ta. Umat Islam ada jutaan, kumpul sama-sama... Tapi ngga ada tuh yang tersakiti. Ngga ada pohon atau rumput yang dirusak. Waktu itu rasanya kayak pas di tanah suci, Ta. Mau nginjek sesuatu tuh inget Allah. Mau buang sampah sembarangan aja rasanya malu ke Allah..."
Bima sih sibuk mengingat pengalamannya di 4 November. Tapi dalam pikirannya, Queen justru heboh sendiri mengingat awal pertama kali ia bertemu dengan Bima.
"Peristiwa 411 itu beneran ngasih aku banyak hal, buat dipelajari," kata Bima lagi. "Kalau ngga salah, itu kan pertama kita ketemu ya, Ta?"
Meski senang, tapi Queen bete juga karena Bima menyebut kenangan itu dengan tambahan kata 'kalau ngga salah'. Itu berarti Bima tidak benar-benar mengingat hal bersejarah tersebut.
"Iya kayaknya," kata Queen datar.
"Eh aku ngga nyangka lho, Ta, orang yang bagi-bagi minuman akhirnya jadi istri aku..."
"Ih apa sih Mas Bim?" respons Queen, ogah-ogahan. Malu-malu sebel.
Kadang dia berpikir juga, apa suaminya ini memang tidak ada hati untuknya ya ketika mereka bertemu pertama kali. Jadi, bukan cinta pada pandangan pertama gitu?
"Seinget aku, lumayan kaget juga lihat Nora ada di sana," kata Bima. "Eh tapi ada temennya. Eh temennya jadi istri aku..."
"Ih, Mas Bima apaan sih? Ngerayu ya? Mau aku masakin apa nanti sore?"
Bima mencubit pipi istrinya dan tertawa. "Nanti sore aku mau masak sarden buat kita. Kamu bersih-bersih ruang tamu. Ya?"
"Ngga mau," tolak Queen. "Aku mau ikutan masak."
"Jangan, nanti kamu nyontek resep masakan aku terus pas aku masak jadi ngga spesial karena kamu udah bisa."
"Halo? Aku kan bukan mahasiswi di kampus yang kerjaannya nyontek?"
"Kok kamu tahu mereka sering nyontek?"
"Ngga tahu ah," rajuk Queen. Tapi disambutnya juga selembar kecil brownies keriuk yang disodorkan Bima untuknya.
"Iya, iya, ikutan masak. Abis itu kamu lihatin aku bersih-bersih ruang tamu. Sambil tilawah boleh juga," Bima menggeliat pelan, melemaskan otot-ototnya. "Kamu lagi hamil, jangan capek-capek dulu, Ta."
Queen memang sedang hamil dua belas minggu. Makanya Bima memutuskan untuk di rumah saja hari ini. Beristirahat dari kesibukan ke sana ke sini
"Ngga capek kok," kata Queen. Bahkan di rumah sepanjang Ahad kali ini saja dirasanya menyenangkan. "Asal barengan Mas Bim, ngga capek kok insyaaAllah..."
Bima tertawa. Dia mendekatkan bibirnya pada telinga Queen, "Kalau gitu nanti malem aku bikin beneran capek," bisik Bima sebelum akhirnya menggigit cuping telinga istrinya. Hingga Queen mengaduh pelan.
"Mas Bim!" pekik Queen yang terkejut.
Bima melompat dari duduknya, menghindari jangkauan tangan Queen yang hendak mencubit lengannya. Didengarnya sang istri berteriak memanggil, tapi Bima lekas menuju pintu depan.
"Aku angkat jemuran dulu, Ta. Mendung!" sahut Bima. Tawanya masih terdengar.
Queen memberengut di tempatnya duduk. Dalam hati mendumal.
Kenapa ngga sekarang aja bikin aku capeknya?
[][][]
Seterah elu deh Queen! tauk gw mah kalo sama suami sendiri ganjen juga dapet pahala. Sebebasnya elu aja sama Bima! 😭😭😭
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] BIMAQUEEN
Spiritual(Sudah dicetak) (Baca aja ya selagi ada) Rumah Tangga Mas Bima dengan Qanita ?