5. Menilai Orang Lain

2.4K 320 64
                                    

Serial BIMAQUEEN – 5. Menilai Orang Lain 

Penulis : Uniessy

Dipublikasikan : 2017, 21 September 

-::-

"Bener ya, Mas, ternyata..." Queen bersuara pelan ketika ia dan Bima hendak membaringkan diri di tempat tidur. Baru pulang dari menghadiri kajian di Masjid Daarut Tauhid Jakarta Selatan.

"Bener apanya, Ta?" tanya Bima sembari keluar kamar, kemudian kembali dengan sebotol air mineral di tangan. Bima biasa menyediakan sebotol air di dekat ranjang mereka karena kahwatir tengah malam terbangun gara-gara haus.

"Itu, apa ya haditsnya, innamal a'malu..."

"Biniyat?"

"Bukan, Mas. Itu sih amal bagaimana niatnya. Ini yang amal gimana akhirnya..."

"Innamal a'malu bil khowatim?"

"Nah iya itu!"

"Terus?"

"Iya, kan tadi di kajian juga dibahas, amal itu sungguh-sungguh karena Allah, biar nanti mati dalam keadaan Islam, yang diridhai Allah..."

"Iya, terus? Kok kamu tiba-tiba mikir gitu, Ta?" Bima ikutan duduk di sebelah istrinya begitu kasur sudah dikibas oleh Queen.

"Ya aku keingetan aja, tadi pagi ada berita, artis yang meninggal dunia karena sakit kanker," kata Queen kemudian. "Sakitnya udah lama lho, Mas. Tapi memang hidayah belum sampai ke dia ya, tetep aja begitu penampilannya. Sehat seksi, sakit apalagi."

"Astaghfirullaah," kata Bima, menarik bantal yang didekap oleh Queen. "Kok kamu jadi ghibahin orang gitu?"

Queen manyun. "Aku ngga ghibah, Mas. Cuma ngomong yang sebenarnya kok. Ternyata hidayah itu mungkin udah ditebar di depan mata, tapi manusianya yang ngga sigap ngambil. Ya ngga?"

"Ngga."

"Mas Biiim!?"

"Kamu tahu dari mana dia ngga ambil hidayah?"

Bola mata Queen berputar jengah. Pasti suaminya ini mau bahas kisah sahabat Nabi yang ditegur sama Nabi karena menggal kepala musuh yang udah bersaksi bahwa Allah yang patut disembah. Pasti ujung-ujungnya, ngga ada yang tahu isi hati manusia kecuali Allah.

"Ngga tahu. Mikir aja."

"Tuh kan asal mikir aja..."

"Aku ngga asal mikir aja, Mas," elak Queen cepat. "Tapi dari pas artis ini sakit parah, aku nunggu-nunggu, kapan ini orang insyafnya? Kan bisa jadi sakitnya dia itu teguran dari Allah. Eh, bukannya tobat, tutup aurat atau apa gitu, malah makin jadi. Sekarang, meninggal dunia masih dalam keadaan begitu. Na'udzubillaahimindzaalik!"

Queen melengos, menghindari tatapan Bima ke arahnya. Pembelaannya barusan benar bukan?

"Ta, ngapain sih, kita sibuk ngurusin gimana akhir hidup seseorang?" kata Bima. Diambilnya tangan kiri Qanita. "Si artis ini begini, begitu... Bukan saat yang tepat memperbincangkan mereka yang sudah ngga ada di dunia. Apalagi membahas aib mereka. Bukankah kita mau Allah menutupi aib kita ya, kok malah asik bahas aib orang lain?"

Queen mendengus, mengutuk dirinya sendiri yang dengan bodohnya membuka pembahasan macam ini.

"Kita ngga pernah tahu, mungkin sakit yang dia derita hingga jelang akhir hayatnya itu adalah cara Allah untuk menggugurkan dosa-dosanya. Sedangkan kita?"

Terdiam, Queen rupanya tersadar juga. Mungkin saja kalimat-kalimatnya tadi itu adalah kalimat yang timbul atas rasa irinya. Queen kerap mengikuti banyak keseharian artis yang dinilainya sungguh nikmat. Kerjaan mereka hanya tertawa-tawa dan jalan-jalan ke luar negeri. Sedangkan dia? Ke Jepang saja dia belum sampai juga.

"Sedangkan kta ngga tahu akhir hayat kita nanti gimana? Apa Allah udah ampuni dosa-dosa kita saat kita kembali kepadaNya? Atau kita lagi asik bergelimang dalam keadaan sombong dan merasa selamat dari murka Allah? Na'udzubillaah... Mestinya kita menilai diri sendiri, Ta. Bukan menilai orang lain."

Queen merunduk, meremas tangan Bima yang tengah menggenggam tangannya.

"Maaf, Mas..."

"Tugas kita sebagai manusia, adalah kasih tahu ke seseorang yang melakukan kesalahan, bahwa yang dia lakukan itu salah. Kita hentikan pakai tangan kita, atau lisan kita, atau kalau ngga bisa juga ya pakai doa. Bukan malah ngegunjing dia pas dia ngga ada. Terlebih pas dia sudah tiada."

Kalimat Mas Bim ngeselin banget sih. Aku kan ngga ngegunjing siapa-siapa. Tadi tuh cuma keingetan aja...

Queen susah payah menahan air matanya. Jadi yang dia lakukan adalah meneguk ludah dan menghirup udara kuat-kuat. Kamar tidur mereka seolah menghimpitnya hingga dia agak kesulitan bernapas.

"Tadi cuma tiba-tiba keingetan berita itu sama bahasan kajian yang barusan..."

"Ngga apa-apa. Jangan diulang aja ya," kata Bima. "Inget aja, kita bukan hakim untuk orang lain. Mestinya kita hakim untuk diri sendiri, dan jadi jaksa untuk orang lain. Kita kasih uzur ke mereka, kasih pemakluman," ucap Bima pelan. Dilihatnya Queen mengangguk. "Dah, sekarang tidur ya? Mas capek banget tadi ada kelas pengganti juga."

Bima bergerak, membaringkan tubuhnya dan diikuti oleh Queen. Keduanya tidur tanpa bantal sebab Bima bilang, tidur yang sehat adalah yang tanpa bantal. Dan rasanya oke juga. Dua bulan tidur bersama Bima, Queen sudah tidak merasakan pegal di lehernya. Tapi masih pegal sih di beberapa bagian tubuhnya.

Baiklah...

Jadi, keduanya tidur berhadapan. Tangan kanan Bima melintasi pinggang Queen, sedangkan kedua tangan Queen berada di antara tubuhnya dan tubuh Bima. Dengan mata terpejam, Queen bisa mendengar embusan napas pelan Bima sekaligus merasakannya. Seraya menghirup dengan tenang aroma tubuh suaminya yang menenangkan.

Kepalanya membebat kembali ingatan berita di televisi pagi tadi.

Benar kata Mas Bima, pikir Queen. Buat apa membahas orang lain yang sudah tiada, sementara dirinya sendiri tidak tahu akan berakhir dengan cara yang bagaimana.

Bukankah ikhlas itu hanya Allah dan si manusia yang tahu?

Jika diri sendiri masih berusaha menutupi aib-aib yang terus saja diproduksi, lantas kenapa sibuk membahas aib orang lain? Tidakkah tertarik untuk menginsyafi diri sendiri?

"Ta, kamu sampoan tiap hari ya?" suara Bima terdengar lagi. "Rambut kamu wangi terus deh kayaknya."

Queen terkikik geli, mencubit pundak Bima sekilas. Membuat Bima ber-aw pelan.

"Kan kamu yang bikin aku sampoan terus?"

[][][]

Queen lama-lama gue begal ughak neh kalimatnye ambigu! 😭😭😭

[✓] BIMAQUEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang